
Keluarga Tan Malaka di rumah gadang tokoh revolusioner tersebut di Pandan Gadang, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat pada 2015. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
PADA pagi yang masih berkabut di Bukittinggi, Sumatera Barat, kami bersiap berangkat mengunjungi rumah Tan Malaka di Pandan Gadang, Limapuluh Kota, sekitar 80 kilometer di utara Bukittinggi.
Saya duduk di sebelah sejarawan Belanda Harry A. Poeze, seorang peneliti yang mencurahkan waktu selama 30 tahun untuk Tan Malaka. Teman seperjalanan lainnya adalah Zulhasril Nasir, guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Roger Tol, direktur KITLV Jakarta dan Eri Ray, seniman Padang yang kami tumpangi mobilnya.
Sementara di belakang, dengan bus pariwisata, ada 28 peserta lain yang akan mengunjungi rumah Tan Malaka. Mulai dari sejarahwan Mestika Zed, mahasiswa sejarah, mahasiswa seni, dan guru. Keluarga Tan Malaka akan memperingati 59 tahun kematian pejuang revolusioner itu tepat hari ini, 21 Februari.

Harry A. Poeze di bekas sekolah Tan Malaka, Kweek School (Sekolah Radja) yang sekarang menjadi SMAN 2 Bukittinggi. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
Mobil dan bus mulai beriringan keluar dari halaman hotel tempat kami menginap. Tiba-tiba Harry Poeze berkata kepada Eri Ray.
”Bisakah kita sebentar ke sekolah Tan Malaka, saya ingin melihat lagi sekolah itu dan ambil beberapa gambar,” katanya.
Mobil berbelok ke SMA Negeri 2 Bukittinggi, sementara bus terus melanjutkan perjalanan ke Pandan Gadang. Gedung sekolah Tan Malaka semasa di Kweek School masih kokoh berdiri, kini berubah menjadi SMA Negeri 2 Bukittinggi.

Harry A. Poeze meninggalkan SMAN 2 Bukittinggi atau bekas sekolah Tan Malaka. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
Dulu sekolah ini juga dinamai Sekolah Raja, karena hanya anak-anak Belanda dan anak bangsawan pribumi atau anak orang kaya yang bisa bersekolah di tempat ini, salah satunya Tan Malaka. Tan Malaka sekolah di Kweek School selama enam tahun dan lulus dengan nilai baik, karena Tan anak terpintar dari semua teman sekolahnya. Ia lalu melanjutkan sekolahnya ke Belanda.
Harry turun dan memeriksa dinding ruang guru, mencari-cari sesuatu.
“Saya mencari prasasti sekolah ini dan prasasti yang menerangkan tentang Nawawi Sutan Makmur yang pernah menjadi satu-satunya guru pribumi di tempat ini,” kata Harry.

Rumah Gadang Tan Malaka di Pandan Gadang, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
Prasasti yang dicari-cari akhirnya ketemu. Prasasti yang menempel di dinding yang menerangkan pendirian Kweek School pada1873-1908. Sementara itu satu prasasti lagi yang menerangkan tentang Engku Nawawai Sutan Makmur yang pernah menjadi guru di Kweek School tersembunyi di balik lemari.
Melihat itu, Zulhasril Nasir, penulis buku “Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau” geleng-geleng kepala.
“Ini aset lho Pak Guru, kok malah ada di balik lemari, harusnya kita hargai, ini malah orang Belanda yang lebih menghargai bangsa kita,” sindirnya kepada guru-guru yang ada di ruangan itu.
SEKOLAH TAN MALAKA
Kepala SMA Negeri 2 Bukittinggi, Muslim mengatakan kepada Harry Poeze ia sendiri tidak tahu sejarah sekolahnya. Harry tersenyum mendengarnya. Budi Fitriza, guru sejarah sekolah itu malah bercerita, pernah memberi tugas kepada siswanya untuk menuliskan sejarah sekolah itu dan siswanya membuat laporan dari bahan di internet.

Harry A. Poeze di tanah kelahiran Tan Malaka. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)
“Beri alamat email Anda, nanti saya kirimkan foto-foto sekolah ini dan sejarahnya dari Belanda, sekolah ini pantas ditukar namanya menjadi Sekolah Tan Malaka,” kata Harry.
Dari informasi kepala sekolah diketahui, asrama yang pernah ditempati Tan Malaka saat bersekolah dulu masih ada, tapi kini sudah menjadi asrama polisi di belakang sekolah.
“Saya senang, sekolah ini masih tetap berdiri, tidak hancur karena perang dan gempa bumi, padahal sudah satu abad, luar biasa,” kata Harry saat kami keluar dari gerbang sekolah.

Kolam ikan di depan rumah gadang Tan Malaka. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
Kami meneruskan perjalanan ke Payakumbuh sambil mengganyang kerupuk sanjai, dakak-dakak, dan paniaram, makanan khas Payakumbuh. Harry Poeze mencicipi sepotong paniaram, kue yang terbuat dari tepung beras dan gula aren.
“Rasanya mirip salah satu kue di Belanda,” kata pencinta masakan Indonesia ini. Ia beruntung karena salah satu anak lelakinya punya istri orang Indonesia dan kini tinggal di Surabaya.
“Tiap ke sini saya diundang makan masakan tradisional Indonesia di rumah mereka,” katanya.

Bagian belakang rumah gadang Tan Malaka. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)
Perjalanan mengunjungi kampung halaman Tan Malaka bagi Harry Poeze juga seperti menapaki jejaknya sendiri. Saat pertama kali berkunjung pada 1976 ia datang bersama istrinya Henny Poeze untuk memulai penelitiannya ke kampung Tan Malaka.
“Waktu itu saat sampai di Suliki, sekitar 10 km dari Pandan Gadang, kami bertemu dua serdadu dan melarang kami ke Pandan Gadang, serdadu itu mengatakan desa itu terlarang dimasuki, tetapi saya dan Henny berpura-pura menjadi turis biasa yang tidak tahu bahasa Indonesia, akhirnya kami berhasil ke Pandan Gadang,” kenang Harry.
Di rumah Tan Malaka ia bertemu dengan kemenakan Tan Malaka yang menempati rumah tua itu. Di kampung itu ia menggali masa kecil Tan Malaka dengan penduduk yang masih mengenal tokoh tersebut.

Rumah Gadang Tan Malaka terlihat samar di balik hijau hamparan sawah dan pepohonan. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
“Tan Malaka orang yang luar biasa dan petualangannya sangat menarik, saya harus melintasi enam benua untuk mencari jejak sejarahnya, jejaknya ada di mana-mana,” kata Harry memberi alasan ketertarikannya kepada Tan Malaka.
Ia menghabiskan waktu selama 30 tahun untuk meneliti Tan Malaka. Termasuk 10 tahun untuk menulis buku “Tan Malaka, Dihujat dan Dilupakan, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949” dalam bahasa Belanda yang diluncurkan Juli 2007. Terjemahan dalam bahasa Indonesia dalam 6 jilid yang diterbitkan kemudian.
KAMPUNG TAN SEPERTI SORGA
Dari Payakumbuh, kami melewati Jalan Tan Malaka, salah satu jalan utama di Kota Payakumbuh arah ke luar kota. Jalan raya ini terbentang sepanjang 48 kilometer dari Pusat Kota Payakumbuh hingga ke Koto Tinggi di Kabupaten Limapuluh Kota. Jalan dengan aspal mulus ini akan melewati rumah Tan Malaka di Pandan Gadang.

Peresmian Museum dan Perpustakaan Tan Malaka 2008. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
Keluar dari Kota Payakumbuh, pemandangan pedalaman Ranah Minang yang asri mulai terhampar di depan mata. Roger Tol tak berhenti berdecak kagum. Pemandangan yang kami lewati memang amat menawan. Lembah dengan sawah yang menghijau terbentang di kaki bukit, dipagari pohon-pohon kelapa. Di belakangnya berlapis-lapis bukit hijau dan biru menjadi latar yang indah ditambah dengan langit berawan putih di atasnya.
“Ini seperti sorga, kenapa Tan Malaka meninggalkan tempat seindah ini?“ kata Roger Tol kepada Harry.
Harry tersenyum memandang ke luar jendela.
“Dia kan harus pergi merantau,” jawabnya.
Sampai di Pandan Gadang kami disambut keluarga besar Tan Malaka yang mengenakan pakaian adat. Henri, seorang keluarga keturunan Tan Malaka dari garis ibu, kini mewarisi gelar Datuk Tan Malaka yang menambah panjang namanya menjadi Henri Datuk Tan Malaka. Ia mengenakan pakaian datuk berwarna kuning terang.

Tan Malaka berdiri dalam pigura di dinding menghadap tamu yang dihidangkan makanan oleh keluarganya. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)
Rumah Tan Malaka hanya sekitar 100 meter menuruni jalan setapak dari jalan raya. Ada rumah adat minang bergonjong dan tua. Di bagian depan teras tertulis “Tan Malaka”. Rumah itu adalah rumah adat Tan Malaka yang dihuni turun-temurun oleh keluarganya dari pihak ibu, sesuai garis keturunan materilineal di Minangkabau.
Rumah ini terletak di lembah yang subur. Suasana amat tenang, hanya suara air yang mengaliri sawah yang terdengar. Di tepi sawah dan diapit puluhan pohon kelapa yang tinggi, terpencil dari rumah lainnya. Di depan rumah terdapat 11 kolam ikan yang ditumbuhi teratai, dan berair jernih. Di depan rumah menjulang bukit yang hijau ditumbuhi pohon dan perdu.
Untuk memperingati kematian Tan Malaka, keluarga besarnya menggelar tahlilan selama satu jam. Keluarga besar Tan Malaka, KITLV, dan Pusbitdem (Pusat Studi Penerbit dan Pustaka Demokrasi) menggelar acara ini tanpa bantuan pemerintah. Sehari sebelumnya, mereka juga menggelar seminar di Bukittinggi tentang Tan Malaka.

Koleksi piringan hitam Tan Malaka di rumah gadangnya. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
“Kita mencoba menanam benih, mudah-mudahan ini tumbuh besar,” kata Asmun A Sjueib, ketua panitia.
Diawali pantun petatah-petitih Minangkabau dan irama talempong, museum sederhana itu diresmikan Direktur Nilai Sejarah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Magdalia Alfian.
KELAM JALAN KE SINI
Ini kunjungan kedua bagi saya. Enam bulan lalu rumah ini masih ditinggali Indra Ibnur Ikatama dan keluarganya. Indra satu-satunya keturunan keluarga Tan Malaka dari garis ibu yang tinggal di kampung. Indra adalah cicit saudara perempuan dari ibu Tan Malaka. Ibu Tan Malaka bernama Sinah, hanya memiliki dua anak laki-laki, Ibrahim Datuk Tan Malaka (Tan Malaka) dan adiknya Kamaruddin. Sinah hanya dua bersaudara dengan Janah, juga perempuan. Indra adalah cicit dari Janah.
Rumah bagonjong milik keluarga Tan Malaka masih kokoh berdiri. Atapnya seng bergonjong lima dengan banyak jendela berkaca patri. Beberapa kaca sudah pecah. Dindingnya kayu dan anyaman bambu. Lantainya juga kayu.

Harry A. Poeze menyerahkann buku karangannya tentang Tan Malaka seberat 5 kg. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
“Rumah ini dibangun 1826, namun Tan Malaka lahir di rumah surau yang kini sudah menjadi sawah, saat dia diangkat menjadi datuk, baru dibawa ke rumah ini,” kata Ani Zarni, keluarga Tan Malaka.
Harry Poeze disambut bak teman lama keluarga. Semua keluarga Tan Malaka sudah mengenalnya. Ia menyerahkan bukunya seberat 5 kilogram itu untuk koleksi pustaka.
“Pak Harry sering ke rumah saya di Jakarta dan tiap kali makan masakan Minang selalu minta catatkan resepnya,resep rendang, resep pangek ikan, pokoknya apa saja yang baru, saya disuruh catat,” kata Anna Yuliar, adik Ani Zarni.

Foto Tan Malaka bersama Soekarno. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
Saat naik ke rumah ini, menaiki undakan setinggi 1,5 meter, ruang tamu dan ruang keluarga terlihat sudah menyatu tanpa sekat. Di dalamnya kini ada lemari kaca yang menyimpan buku-buku Tan Malaka dan buku-buku yang membahas Tan Malaka. Koleksi lainnya adalah baju Tan Malaka saat menjadi datuk, piringan hitam, dan pemutarnya, tempat tidur, dan foto-foto Tan Malaka.
Menurut Ani Zarni, pada masa pemberontakan PRRI, rumah gadang ini pernah menjadi dapur umum untuk pejuang PRRI.
“Saya masih ingat saat itu berumur 10 tahun, kami lari ke bukit dan saya dipaksa menembakkan senapan dari atas bukit,” kata Ani.

Prasasti peresmian rumah gadang Tan Malaka sebagai museum dan pustaka. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)
Dimasa itulah buku-buku dan barang pribadi Tan Malaka terpaksa banyak yang dibakar untuk menghilangkan jejak agar tidak disangka pemberontak.
Untuk memastikan kematian Tan Malaka, keluarga Tan Malaka sudah sepenuhnya menyerahkannya kepada Harry Poeze untuk mengurusnya.
“Tahun lalu saya sudah tanyakan tentang kemungkinan pembongkaran kuburan yang kita duga kuburan Tan Malaka dan pihak keluarga sudah setuju, Menteri membentuk tim, tapi sampai kini masih belum ada penyelesaian,” kata Harry.

Kamar dan tempat tidur di rumah gadang Tan Malaka. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
Sejarawan Profesor Mestika Zed yang ikut dalam rombongan, mengaku terkesan melihat rumah Tan Malaka, karena ini kedatangannya yang pertama.
“Saya termasuk orang yang kelam jalan ke sini dan tempat ini sangat indah, sebuah lembah yang punya ruangan yang sangat sehat dan lingkungan yang jarang didapat, saya terkesan dengan lingkungan ini, tapi juga punya korelasi dengan si tokoh dalam arti memberikan inspirasi untuk seorang tokoh, saya kira lingkungan seperti ini akan melahirkan generasi yang sehat karena lingkungannya enak,” katanya.
Lewat tengah hari kami pulang. Harry mengaku senang sekali karena rumah Tan Malaka kini sudah dijadikan museum.

Pakaian penghulu yang ditemukan dalam peti tua di rumah gadang Tan Malaka yang kemungkinan pernah digunakan Tan. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
“Berarti ada kemajuan dan lebih mudah mengumpulkan barang-barang yang berhubungan dengan Tan Malaka,” katanya.
Dalam perjalanan pulang beberapa kali ia minta berhenti dan memotret kampung halaman Tan Malaka yang indah itu.
PEREMPUAN YANG DITAKSIR TAN
Pernahkah Tan Malaka mencintai wanita? Pertanyaan seperti ini banyak menggoda setiap orang. Selama ini Tan Malaka lebih dikenal sebagi pejuang revolusioner yang tidak pernah terlihat dekat dengan wanita. Jarang sekali kehidupan pribadinya dibicarakan, apalagi yang berkaitan dengan wanita. Bahkan di Belanda, ada yang mengira mungkin Tan Malaka seorang gay.

Peti buku Tan Malaka. (Foto: Febranti/ JurnalisTravel.com)
“Dan itu saya kira tidak benar, karena dalam riwayat hidupnya ada beberapa wanita yang singgah di hatinya,” kata Harry A. Poeze.
Wanita pertama, kata Harry, adalah Syaripah Nawawi, teman sekolah Tan Malaka semasa di Kweek School di Bukittinggi. Syaripah adalah anak Nawawi Sutan Makmur, guru bahasa Melayu dan satu-satunya guru pribumi di sekolah itu. Syaripah juga satu-satunya perempuan pribumi yang bersekolah di tempat itu.
“Tan Malaka jatuh cinta kepada Syaripah, kemungkinan karena ini Tan Malaka menolak bertunangan dengan gadis di kampungnya, Pandan Gadang, saat ia akan berangkat ke Belanda,” kata Harry.

Ranji keluarga Tan Malaka di rumah gadangnya. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)
Pada waktu Tan pergi ke Belanda ia kirim sepucuk surat kepada Syaripah dan mengataka ia mencintai Syaripah dan berharap Syaripah mau menunggunya. Namun surat-surat itu tidak dibalas. Tan Malaka bertepuk sebelah tangan. Ternyata Syaripah tidak mencintainya.
“Saya pernah bertemu Syaripah 1980-an, sebelum beliau meninggal, Syaripah yang menceritakan isi surat Tan Malaka itu kepada saya, saya menanyakan kenapa Syaripah tidak mencintai Tan Malaka, Syaripah mengatakan bahwa Tan Malaka orang yang aneh,” ujarnya.
Karena Syaripah tidak pernah membalas suratnya, Tan berhenti menulis surat kepadanya. Syaripah akhirnya menikah dengan seorang Regen di Bandung.
“Ini sejarah yang sedikit tragis dan lucu,” ujar Harry.

Syaripah, nomor empat dari kanan, teman sekolah yang ditaksir Tan Malaka. (Foto: Dok. Herry A. Poeze)
Di Belanda, saat bersekolah, Tan Malaka juga pernah punya pacar, namanya Fenny Struyuenberg, seorang mahasiswa kedokteran.
“Namun saya tidak sempat menemui Fenny, karena Fenny sudah meninggal sebelum penelitian saya dimulai,” katanya.
Di dalam satu surat kabar lama di Rusia juga pernah disebutkan Tan Malaka memiliki kekasih gadis Rusia, tetapi tidak disebutkan namanya, apalagi fotonya.
Setelah 20 tahun mengembara, pulang ke Indonesia pada 1945, Tan Malaka bertemu dengan Paramita Abdul Rahman. Paramita adalah keponakan Subarjo Djoyohadisuryo, Menteri Luar Negeri saat itu. Paramita adalah ketua Palang Merah Indonesia ketika itu.

Tiga pelanjut gelar Datuk Tan Malaka setelah Ibrahim (Tan Malaka). (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
Paramita dianggap tunangan Tan Malaka, namun pertunangan ini akhirnya kandas.
“Ketika saya temui, Paramita mengatakan Tan Malaka seorang yang tidak sanggup melihat wanita seperti wanita biasa, tetapi wanita itu harus seperti R. A. Kartini dan dalam tingkah laku harus ada simbol wanita Indonesia, akhirnya pertunangan itu batal.”
Bagi Paramita yang mencintai Tan Malaka, ini peristiwa yang sangat sulit dan sukar dibicarakan.
“Kata SK Trimurti kepada saya, dalam bidang wanita Tan Malaka adalah orang yang sangat bersih, dia amat menghormati wanita dan tidak pernah berkata-kata kotor pada wanita, ini berbeda sekali dengan Soekarno,” kata Harry.

Foto Tan Malaka yang populer ketika ditangkap polisi di Filipina. (Foto: Dok. Herry A. Poeze)
Namun dalam surat yang ditulis Tan Malaka, Tan bilang dalam hidupnya hanya ada satu tujuan, memerdekakan Indonesia dari Belanda.
“Saya kira Tan Malaka seperti beberapa orang revolusioner lainnya di dunia, yang hanya punya satu tujuan dalam hidupnya, tidak untuk wanita,”katanya.
Dalam kesimpulan ini, lanjut Harry, Tan tidak punya waktu untuk wanita. Tujuannya hanya revolusi.
“Mungkin sesudah revolusi baru ada tempat untuk wanita, tetapi ia meninggal sebelum revolusi selesai.” (Febrianti/ JurnalisTravel.com)
Tulisan ini liputan dan ditulis pada 2008, diperbarui Desember 2016. Sedangkan beberapa foto Agustus 2015 dan 2008.
Tulisan dan foto-foto ini adalah hak milik JurnalisTravel.com dan dilarang mengambil atau menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak di media lain tanpa izin. Jika Anda berminat pada tulisan dan foto bisa menghubungi redaksi@jurnalistravel.com untuk keterangan lebih lanjut. Kami sangat berterima kasih jika Anda menyukai tulisan dan foto untuk diketahui orang lain dengan menyebarkan tautan (link) ke situs ini. Kutipan paling banyak dua paragraf untuk pengantar tautan kami perbolehkan. (REDAKSI)