Kesunyian di Kapo-Kapo Mandeh

Kesunyian di Kapo-Kapo Mandeh

Pulau Cubadak di Kawasan Mandeh. Kapo-Kapo terletak di bagian barat pulau ini. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Pulau Cubadak di Kawasan Mandeh. Kapo-Kapo terletak di bagian barat pulau ini. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Pulau Cubadak di Kawasan Mandeh. Kapo-Kapo terletak di bagian barat pulau ini. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

KAPAL Bintang Mandeh yang membawa saya dan belasan teman seperjalan perlahan meninggalkan Pelabuhan Muaro Padang pada pagi yang cerah akhir Maret 2016. Lepas dari muara Batang Arau kapal langsung mengarungi Samudera Hindia yang sedang tenang.

Tujuan kami ke Kawasan Mandeh, kawasan wisata bahari yang mulai terkenal setahun belakangan. Kawasan Mandeh terletak di Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Kawasan ini dijuluki Raja Ampat dari pantai barat Sumatera. Memiliki teluk yang tenang dengan gugusan pulau-pulau kecil yang tersebar di sekitarnya.

Rute kapal laut ini mulai terasa menarik bagi saya. Duduk di kursi penumpang di lantai dua pemandangan terbentang tanpa batas. Angin bertiup pelan, laut yang kehijauan bagai kaca. Gugusan pulau di lepas pantai Padang terlewati satu demi satu. Pulau Pisang, Pulau Sikuai, Pulau Pagang, dan Pulau Pasumpahan.

Daratan Sumatera yang berada di sebelah kiri kapal juga menyuguhkan pemandangan pantai-pantai berpasir dan bukit batu. Bahkan ada tanjung yang menjorok ke laut, nyaris seperti sebuah pulau. Namanya Pamutusan. Mungkin karena nyaris putus dari daratan Sumatera.

Untuk menuju Kapo-Kapo mesti naik boat dari Dermaga Carocok, Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Untuk menuju Kapo-Kapo mesti naik boat dari Dermaga Carocok, Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Dalam 30 menit kami memasuki kawasan Mandeh. Melewati Pulau Marak yang dari kejauhan mirip buaya. Pulau ini lima tahun lalu pernah menjadi kawasan konservasi siamang, namun kini lokasi konservasi itu sudah dipindahkan ke daratan Sumatera, karena khawatir ancaman tsunami.

Akhirnya kapal kami melewati Pulau Cubadak, Pulau Bintangor, Pulau Setan, Pulau Sironjong Besar, dan Sironjong Kecil untuk kemudian berlabuh di Dermaga Carocok, Tarusan. Kami singgah untuk makan siang dekat tempat pelelangan ikan. Ibu-ibu dari kelompok wisata Nagari Sungai Nyalo sudah menyiapkan makan siang. Beragam kuliner khas Mandeh terhidang di meja siang itu.

Ada ikan gulai jantung pisang, sampadeh ikan bawal, udang, lokan, semua serba makanan laut. Sayangnya rendang gurita yang terkenal dari Mandeh sedang tidak ada.

“Sedang tidak musim, guritanya susah di tangkap,” kata Celok, salah seorang anggota kelompok wisata kuliner dari  Batu Kalang.

Menyaksikan deratan pulau dari atas boat di Kawasan Mandeh. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Menyaksikan deratan pulau dari atas boat di Kawasan Mandeh. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Usai makan siang, kami kembali melanjutkan perjalanan di laut Mandeh. Kapal berhenti di depan Pulau Sironjong Ketek di sebelah Pulau Cubadak.

Lautnya tenang dan di depannya gugusan pulau kecil tersebar membentuk lanskap yang indah. Tidak ada ombak yang sampai di teluk itu, karena dinding-dinding bukit dan pulau-pulau kecil menghalangi ombak dari Samudera Hindia. Teluk itu sebening kaca, mirip danau yang sangat luas.

“Ini seperti Ocean Lake,” teriak teman saya.

SNORKELING PERTAMA SAYA

Kami bergegas turun dari kapal dan naik boat ke lokasi snorkling. Sebagian penumpang menunggu di kapal melihat atraksi jumping beberapa pemuda Mandeh dari tebing batu Pulau Sironjong.

Bagan nelayan yang unik terlihat dari jendela boat. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Bagan nelayan yang unik terlihat dari jendela boat. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Kami dibawa ke lokasi snorkeling melihat terumbu karang.Hari itu saya nekat belajar snorkeling, walaupun tidak bisa berenang. Melihat keindahan bawah laut merupakan impian terpendam saya yang hari itu harus diwujudkan.

Saya diajari snorkeling oleh Tanjung, pelatih selam di Mandeh. Pertama kali menggunakan snorkeling terasa mengerikan, saya langsung megap-megap karena air laut ternyata menelusup ke hidung.Terasa asin dan pahit. Tak mau menyerah, akhirnya pada ceburan keempat saya berhasil menggunakan snorkeling, lalu dibawa berenang berkeliling melihat terumbu karang yang ada di kedalaman empat meter itu.

Menakjubkan, untuk pertama kalinya saya melihat terumbu karang acropora berwarna ungu. Juga menyaksikan terumbu karang otak, ditambah dengan ikan-ikan karang yang berenang di sana. Benar-benar pengalaman pertama yang tak terlupakan. Menjelang sore kami kembali.

Dengan luas 18 ribu hektare, kawasan Mandeh tak cukup dikunjungi dalam sehari. Saya datang lagi ke Mandeh awal Juni menjelang Ramadan. Kali ini lewat jalur darat bersama empat teman, Doni, dan tiga lainnya yang menjadi  pegiat wisata di Mandeh, Siti Fatimah, Zuhrizul Chaniago dan Echa. Mereka sudah dua tahun mengabdikan diri membantu masyarakat di Mandeh mengelola pariwisata.

Turun dari boat di pantai Kapo-Kapo. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Turun dari boat di pantai Kapo-Kapo. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Dari pantai Carocok kami naik boat Pak Mijan. Saat boat melaju terlihat iring-iringan perempuan memakai sunting dan busana adat minang, juga naik boat membawa junjungan nampan ditutup kain bersulam. Kata Pak Mijan, itu para perempuan yang akan berkunjung ke rumah mertua, membawa daging, dan makanan. Ritual tahunan menjelang Ramadan di Mandeh.

Laut hari itu tak tenang. Gelombang sedang tinggi karena gravitasi bulan. Kami berlayar menunju Pulau Setan. Salah satu pulau kecil yang indah. Sampai di sana mengejutkan sekali, ternyata gelombang pasang dalam seminggu terakhir telah mengikis sebagian besar pasir putih di pulau Itu.

Saya ingat setahun lalu pernah jalan-jalan di atas pasirnya yang luas. Kini nyaris tidak ada lagi, tinggal kumpulan pohon-pohon yang ada di tengah pulau. Karena sedih, kami tidak jadi turun dan melanjutkan perjalanan ke Kapo-Kapo di Pulau Cubadak.

Kami singgah ke tempat pembesaran kerapu milik masyarakat yang berada beberapa di tengah laut. Kerapu dalam jaring apungnya besar-besar berwarna hitam. Ternyata bangunannya yang terdiri dari dua kamar mulai difungsikan untuk homestay terapung yang dikelola masyarakat. Menarik sekali, bermalam di tengah laut dikelilingi ikan kerapu.

Jalur evakuasi tsunami di Kapo-Kapo Pulau Cubadak. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Jalur evakuasi tsunami di Kapo-Kapo Pulau Cubadak. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

KAMPUNG KAPO-KAPO

Pulau Cubadak paling besar di Mandeh dengan luas 706 hektare. Juga pulau yang paling indah dan punya sumber air sendiri dari atas bukit yang mengalir menjadi sungai kecil. Saya pernah ke Pulau Cubadak sebelumnya. Ke Resor Cubadak Paradiso Village yang dikelola warga negara asing asal Italia yang berada di pantai timur pulau ini. Pulau Cubadak yang sudah lebih dulu terkenal juga ikut mengangkat pamor Kawasan Mandeh di luar negeri.

Kali ini saya ke kampung Kapo-Kapo di bagian barat Pulau Cubadak. Terdapat pemukiman nelayan dengan 17 kepala keluarga. Ini baru pertama kalinya saya ke Kapo-Kapo. Jalan masuknya melewati teluk yang penuh mangrove di kanan-kiri.

Begitu sampai, kami mendarat di dataran berumput yang rapi. Ada beberapa rumah kayu keluarga nelayan. Warganya yang cuma sedikit sore itu tampak bersantai di bawah pohon. Di bukit sebelah kiri terlihat ada jalur evakuasi tsunami dan bangunan tempat evakuasi yang dibuat pemerintah setahun lalu.

Saya langsung naik ke bukit mengikuti jalur evakuasi, sambil melihat lanskap Pulau Cubadak dari atas. Ternyata sangat indah, laut yang biru berkilau keperakan karena pantulan matahari yang mulai condong.

Saya berjalan menyusuri garis pantai di Kapo-Kapo. Rasanya jauh lebih alami dari Resor Cubadak Paradiso di pantai timur yang sudah tertata rapi.

Di depan Cottage Kapo-Kapo. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Di depan Cottage Kapo-Kapo. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Di pantai Kapo-Kapo yang berpasir putih itu banyak pohon yang tumbuh liar dengan batangnya yang meliuk dan condong ke arah laut. Beda dengan laut di pantai timur yang sangat tenang. Laut di depan Kapo-Kapo sore itu bergelora, mirip laut Mentawai. Mungkin karena angin sedang kencang, selain itu pantai barat ini juga berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

“Dari sini tiap sore kita bisa menyaksikan sunset,” kata Zuhrizul Chaniago saat kami menikmati teh di atas tikar yang terbentang di atas rumput.

Kami bersantai di depan cottage kayu yang sedang ia siapkan untuk wisatawan ke Kapo-Kapo.

Kami tak menunggu sunset di Kapo-Kapo karena tak bermalam. Menjelang matahari terbenam kami meninggalkan Kapo-Kapo dan melayari laut Mandeh yang  mulai berwana sephia. Begitu juga warna langitnya.

Dalam perjalanan berlayar kami melihat matahari  yang turun perlahan berwarna kuning keemasan. Beda dengan bulan Februari pada kunjungan saya tahun lalu, matahari yang turun berwarna merah. Saya kini menandai perbedaannya. (Febrianti/JurnalisTravel.com)

 

Tulisan dan foto-foto ini adalah hak milik JurnalisTravel.com dan dilarang mengambil atau menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak di media lain tanpa izin. Jika Anda berminat pada tulisan dan foto bisa menghubungi redaksi@jurnalistravel.com untuk keterangan lebih lanjut. Kami sangat berterima kasih jika Anda menyukai tulisan dan foto untuk diketahui orang lain dengan menyebarkan tautan (link) ke situs ini. Kutipan paling banyak dua paragraf untuk pengantar tautan kami perbolehkan. (REDAKSI)

 

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

Memancing Kupu-Kupu di Dangau Saribu
Memancing Kupu-Kupu di Dangau Saribu
Bukik Sakura Maninjau
Melihat Bulat Danau Maninjau di Bukit Sakura
Singkarak
Nagari Sumpu Jadikan “Manjalo Ikan Bilih” Sebagai Atraksi Wisata
Air Terjun Lubuak Bulan
Air Terjun Lubuak Bulan, Air Terjun Unik yang Ditelan Bumi
Nyarai
Ekowisata Nyarai Tetap Bertahan Meski Pandemi
Wisata Bonjol
Potensi Ekowisata Lubuk Ngungun di Bonjol Akan Dikelola