Benteng Fort Marlborough, Jejak Kolonisasi Inggris di Bengkulu

Benteng Fort Marlborough, Jejak Kolonisasi Inggris di Bengkulu

Benteng Marlborough dari atas gerbang pertama. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Sebuah meriam yang dapat diputar arahnya di sisi Barat Fort Marlborough mengintai pelabuhan.(Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

SEBUAH meriam yang dapat diputar arahnya di sisi Barat Fort Marlborough mengintai pelabuhan. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

BENTENG itu begitu besar dan utuh. Suasana sebuah benteng sebagai pertahanan begitu terasa. Lokasinya seluas 44 ribu meter persegi dibangun di tanah yang tinggi, mirip di atas sebuah bukit.

Berdiri di atasnya, kita bisa melihat ke arah pelabuhan dan mengawasi lautan. Sejumlah meriam dengan dudukan besi lingkar untuk mengubah arah, siap menembak musuh yang datang dari Samudera Hindia. Di sisi lain menghadap ke darat, pandangan juga bebas mengawasi kota. Meriam mengintai di tiap sudut bangunan.

Itulah Fort Marlborough, sebuah benteng yang disebut terbesar di Asia Tenggara. Peninggalan Inggris zaman East India Company (EIC) di Kota Bengkulu, di provinsi yang namanya juga sama dengan ibu kotanya. Yang membuat Anda akan berdecak kagum di sini adalah struktur benteng masih terlihat sempurna, asli, dan rapi. Padahal benteng ini sudah berusia hampir tiga abad.

Kolonisasi Inggris di Bengkulu adalah cerita perebutan sumber peppers (rempah) di Nusantara pada abad ke-17. Persaingan yang ketat antara kerajaan lokal Banten dan Aceh di pantai barat Sumatera dengan Inggris dan Belanda dari Eropa, menyebabkan Inggris lebih memilih Bengkulu.

Benteng Marlborough dari atas gerbang pertama. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

BENTENG Marlborough dari atas gerbang pertama. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Bengkulu gagal dikuasai Aceh, tetapi tidak bisa lepas dari pengaruh Kerajaan Banten. Inggris yang membidik kota-kota pesisir di wilayah Sumatera Barat, seperti Pariaman, Tiku, dan Indrapura, berhasil diusir Belanda. Belanda juga berhasil menyingkirkan Inggris dari Banten yang muncul sebagai bandar internasional transaksi lada.

Kondisi inilah menyebabkan Inggris menancapkan kukunya di Bengkulu sejak kedatangan 1685. Tapi para pendatang tidak aman dari ancaman penduduk lokal dan kekuatan luar. Sebuah benteng perlu didirikan.

Fort Marlborough dibangun selama lima tahun antara 1714 hingga 1719. Joseph Collet adalah orang di balik pembangunan benteng ini. Collet datang ke Bengkulu, waktu itu Inggris menyebutnya Bencoolen, sebagai wakil gubernur EIC untuk Timur Jauh. Gubernur EIC sendiri berkedudukan di Madras (kini Chennai, India).

Ketika datang ke Bengkulu pada 1712, Collet mendapatkan sebuah benteng tua yang akan dipimpinnya. Benteng itu bernama Fort York yang didirikan pada 1687. Fort York berdiri di atas sebuah bukit kecil di pinggir Sungai Serut yang bermuara di Kota Bengkulu, berjarak tiga kilometer dari Fort Marlborough.

Desain (plan) Fort Marlborough yang disalin dari dokumen asli 27 Februari 1712 dan halaman dalam benteng. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

DESAIN (plan) Fort Marlborough yang disalin dari dokumen asli 27 Februari 1712 dan halaman dalam benteng. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Tapi kondisi benteng ini sangat menyedihkan. Lingkungannya buruk, selain dekat sungai dan hutan mangrove, juga dikelilingi rawa. Para penghuninya banyak yang mati karena diserang malaria, disentri, dan kolera. Sebuah laporan zaman itu menyebutkan, Fort York yang kecil itu pernah dihuni lebih seratus orang, 40 di antaranya serdadu Inggris, yang dilengkapi 30 meriam.

BUKTI GANASNYA FORT YORK

Bukti ganasnya lingkungan Fort York dapat dilihat di Fort Marlborough sekarang. Dua bekas nisan pejabat penting di Fort York dipajang di sini. Satu nisan Richard Watts Esquire, lainnya nisan Mr Thomas Shaw, keduanya datang bertugas ke York pada 1699.

Richard Watts Esquire adalah Deputi Gubernur yang meninggal pada 17 Desember 1705 dalam usia 44. Sedangkan Mr. Thomas Shaw meninggal pada 25 April 1704 dalam usia 28 tahun.

Nisan Deputi Gubernur East India Company (EIC) di Bengkulu, Richard Watts Esquire yag dipajang di Fort Marlborough. Richard Watts meninggal di Fort York pada 17 Desember 1705 dalam usia 44 akhibat sakit. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

NISAN Deputi Gubernur East India Company (EIC) di Bengkulu, Richard Watts Esquire yag dipajang di Fort Marlborough. Richard Watts meninggal di Fort York pada 17 Desember 1705 dalam usia 44 akhibat sakit. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Fort York sekarang nyaris tanpa sisa dan tidak dikelola sebagai objek wisata. Jika ke sana Anda akan menemukan sebuah sekolah, SD Negeri 57 Pasar Bengkulu, sebuah kantor pemerintah, dan selusin rumah.

Sebuah bangunan bundar dari semen dengan atap kubah dari besi berdiri tak jauh dari sungai. Sepertinya bangunan itu dulu untuk penyimpan air bersih. Menurut warga setempat, ada pagar semen dan pintu masuk di sisi sungai yang sudah tenggelam karena sedimentasi Sungai Serut. Itu jelas tak bisa dilihat sama sekali sekarang, karena juga rimbun oleh semak dan pepohonan. Sebuah lantai semen beton dengan rongga ruangan di bawahnya juga bisa ditemukan dekat gerbang sekolah.

Ketika usulan Collet untuk membuat benteng baru yang lebih luas dan menghancurkan Fort York disetujui Gubernur EIC, selama lima tahun pembangunan ia bermarkas di dua tempat tersebut. Benteng baru ini dinamai Marlborough untuk penghormatan kepada John Churchill, seorang pahlawan nasional Inggris yang mendapat gelar Duke of Marlborough karena jasanya memenangkan perang di Eropa zaman itu.

Desain (plan) Fort Marlborough yang disalin dari dokumen asli 27 Februari 1712 dapat dilihat di sebuah papan pajang di Marlborough. Melihat plan ini nyaris semua bagian bangunan utuh sekarang. Kecuali satu bangunan di tengah lapangan di dalam yang hilang dan kini jadi taman. Bangunan segi empat itu adalah "The Great House" dengan sebuah pintu menghadap Timur ke jalan utama di halaman dalam benteng.

Jika dilihat sketsa-sketsa pada masa awal benteng ini, “The Great House” terlihat sebagai sebuah tower tiga tingkat paling menonjol di Marlborough yang sangat jelas terlihat dari jauh. Di atas tower terpancang bendera Inggris yang besar. Bangunan tower ini hancur oleh gempa kuat menghantam Bengkulu menjelang kehadiran Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles pada 1818.

BENTENG KURA-KURA

Fort Marlborough sekarang menyuguhkan panorama yang menakjubkan. Benteng segi empat dengan desain mirip kura-kura ini memiliki “empat kaki” seperti ujung busur panah, di atasnya terpasang meriam. Gerbang utama di Selatan terletak di bangunan segitiga sebagai “kepala kura-kura” yang untuk mencapai pintu besar dari kayu tebal mesti melewati sebuah jembatan di atas parit yang mengelilingi seluruh sisi benteng.

Jembatan itu berkerangka besi berlantai kayu sepanjang 12,8 meter lebar 3,2 meter. Di masa lalu jembatan ini bisa diangkat menggunakan rantai besi. Di balik bangunan segitiga ini, kita akan disambut sebuah jembatan lagi yang serupa untuk melewati parit menuju pintu gerbang berikutnya.

FOTO ILUSTRASI: Tugu Thomas Par tak jauh dari Fort Marlborough. Tugu didirikan untuk mengenai kematian Residen Thomas Parr bersama asisten pribadinya, Kapten Charles Murray, yang dibunuh rakyat Bengkulu pada 23 Desember 1807.

TUGU Thomas Par tak jauh dari Fort Marlborough. Tugu didirikan untuk mengenai kematian Residen Thomas Parr bersama asisten pribadinya, Kapten Charles Murray, yang dibunuh rakyat Bengkulu pada 23 Desember 1807. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Di balik gerbang itu terdapat ruangan-ruangan berpintu jeruji besi. Di sebelah kanan ruang jaga dan sel militer. Di sel ini terdapat jendela-jendela setengah lingkaran berjeruji besi dua lapis. Di salah satu ruangan masih terlihat bekas coretan iseng seseorang yang dipenjara dalam bahasa Belanda dan gambar sebuah kompas. Diduga itu adalah coretan orang Belanda yang dipenjara saat pendudukan Jepang. Di sebelah kanan terdapat barak pegawai EIC dan di sudut bagian dalam terdapat pintu ruang bawah tanah.

Di atas bangunan bagian depan benteng ini terhampar lantai bata merah persegi empat. Di tengahnya berderet celah ke bangunan di bawah. Celah ini dulu digunakan untuk menyalurkan senapan ke atas.

Di balik bagian depan benteng terhampar lapangan rumput dengan jalan besar lurus hingga ke deretan bangunan di bagian belakang. Jalan ini menuju gerbang di utara yang juga akan melewati jembatan di atas parit.

Di bagian kanan lapangan terdapat deretan ruangan berpintu terali besi. Salah satu tertulis “Ruang Interogasi Soekarno”. Presiden RI pertama Soekarno pernah diasingkan Belanda ke Bengkulu pada 1938 dan diinterogasi di sini ketika benteng ini dikuasai Belanda. Ruangan-ruangan lain memajang meriam-meriam berbagai ukuran dan belasan bekas pelurunya.

Bangunan bagian belakang adalah bangunan kantor EIC dengan delapan ruangan. Di sudut kiri terdapat gudang mesiu. Sedangkan di sisi Barat benteng tidak terdapat bangunan. Meriam berderet di lapangan menghadap ke pelabuhan.

Pengunjung yang ingin berwisata ke Fort Marlborough mesti membeli karcis masuk Rp2.500 (ini harga 2013). Tapi jangan kaget, ketika Anda seorang jurnalis mesti membayar tiket Rp150 ribu sesuai dengan peraturan daerah Provinsi Bengkulu sejak 2010. Peraturan tidak masuk akal yang sudah sering diprotes koran lokal. Penjaga mengalah ketika kami menolak masuk sebagai jurnalis dan memilih sebagai pengunjung biasa.

ANAK-ANAK RAFFLES

Kekuasaan Inggris berakhir di Bengkulu ketika Traktat London pada 17 Maret 1824 dengan Belanda. Inggris menyerahkan Bengkulu kepada Belanda dan Belanda menyerahkan Singapura kepada Inggris. Sir Thomas Stamford Raffles adalah Letnan Gubernur (Lieutenant-Governor) Inggris terkenal di Bengkulu di pengujung kekuasaan Inggris pada 1818-1824. Empat dari lima anak-anak Raffles meninggal di sini karena sakit.

Jejak kolonisasi Inggris selama 137 tahun di Bengkulu tentu tak hanya Fort Marlborough. Di depan terdapat bekas gudang garam yang cuma tinggal tembok tebal, tinggi dan panjang. Bangunan ini satu komplek dengan kawasan pecinaan yang muncul setelah benteng didirikan.

Ruang interogasi Soekarno di Fort Marlborough. Seokarno pernah diinterogasi Kolonial Belanda ketika dibuang ke Bengkulu pada 1938. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

RUANG interogasi Soekarno di Fort Marlborough. Seokarno pernah diinterogasi Kolonial Belanda ketika dibuang ke Bengkulu pada 1938. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Melangkah sekitar seratus meter dari benteng kita bisa jumpai Tugu Peringatan Thomas Parr di sudut jalan. Residen Thomas Parr bersama asisten pribadinya, Kapten Charles Murray, dibunuh rakyat setempat dalam protes menetang kebijakan pada 23 Desember 1807. Sedangkan kuburan keduanya terdapat dalam benteng Fort Marlborough.

Sekitar seratus meter dari Tugu Thomas Parr terdapat Rumah Dinas Gubernur Bengkulu yang merupakan bangunan peninggalan Inggris. Rumah ini pernah digunakan Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles sebagai kantor dan kediaman. Bangunan khas Eropa terlihat mencolok dengan halaman berumput yang luas dengan sekelompok rusa bermain di sana.

Bangunan lain yang terkenal adalah Tugu Robert Hamilton untuk memperingati tewasnya kapten angkatan laut Inggris tersebut di tangan rakyat Bengkulu pada 15 Desember 1793. Tugu ini terletak di pertigaan jalan tak jauh dari Pantai Panjang.

British Cementary tak sampai satu kilometer di Timur benteng, merupakan sebuah kawasan makam tempat orang-orang Inggris, Belanda, dan Eropa lainnya dikuburkan sejak 1775 hingga 1940. Keempat anak Raffles dari istri keduanya, Sophia Hull, yang meninggal di bawah usia 4 tahun juga dimakamkan di sini.

Ada satu lagi bekas benteng Inggris di Provinsi Bengkulu, yaitu Benteng Anna (Fort Anne) di Muko-Muko, 276 km di utara Kota Bengkulu. Benteng ini didirikan pada 1798 sebagai pusat dagang dan pertahanan pendukung Fort Marlborough. Namun bekas bangunan hanya tersisa sedikit dan tidak memadai untuk dilihat dengan naik kendaraan 6 jam dari Kota Bengkulu.

Kehadiran Raffles dan tentara Sepoy asal India sebagai bagian tentara Inggris di Bengkulu, kini meninggalkan jejak kuat dan menjadi identitas provinsi itu. Nama Raffles bersama Dr. Joseph Arnold, ahli bedah angkatan laut dan ahli botani, diabadikan untuk nama bunga besar di dunia endemik Sumatera, “Rafflesia Arnoldy” sejak mereka perkenalkan ke masyarakat internasional. Bunga itu kini menjadi maskot Bengkulu.

Pagelaran budaya tradisonal “Tabot” setiap tahun pada 10 Muharram dalam penanggalan hijriyah, merupakan pengaruh budaya muslim Syiah yang dibawa prajurit Inggris asal Sepoy. Tabot kini menjadi daya tarik pariwisata Bengkulu. (Syofiardi Bachyul Jb / JurnalisTravel.com)

Tulisan ini merupakan liputan dan penulisan pada Mei 2013

Tulisan dan foto-foto ini adalah hak milik JurnalisTravel.com dan dilarang mengambil atau menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak di media lain tanpa izin. Jika Anda berminat pada tulisan dan foto bisa menghubungi redaksi@jurnalistravel.com untuk keterangan lebih lanjut. Kami sangat berterima kasih jika Anda menyukai tulisan dan foto untuk diketahui orang lain dengan menyebarkan tautan (link) ke situs ini. Kutipan paling banyak dua paragraf untuk pengantar tautan kami perbolehkan. (REDAKSI)

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

Khasiat Air Sumur Rumah Bung Karno yang Dipercaya Orang
Khasiat Air Sumur Rumah Bung Karno yang Dipercaya Orang
Melompat ke Masa Lalu di Pulau Cingkuak
Melompat ke Masa Lalu di Pulau Cingkuak
Sepenggal Kisah Cinta Soekarno di Bengkulu
Sepenggal Kisah Cinta Soekarno di Bengkulu
rumah pagadih
Nagari Pagadih dalam Kisah Perjuangan PDRI
marie thomas
Kisah Lengkap Marie E Thomas, Dokter Perempuan Pertama di Indonesia yang Meninggal di Bukittinggi
Mengangkat Kemegahan Dharmasraya
Mengangkat Kemegahan Dharmasraya