Primata Endemik Mentawai di Hutan Paleonan

Primata Endemik Mentawai di Hutan Paleonan

Seekor bilou, salah satu primata endemik di Mentawai. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Seekor bilou, salah satu primata endemik di Mentawai. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Seekor bilou, salah satu primata endemik di Mentawai. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

DARI DERMAGA Pokai di Muara Sikabaluan, Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai perahu motor 40 PK membawa kami membelah riak laut di tengah gerimis. Kami berenam, empat wartawan media nasional dan dua dari Conservation Internasional Indonesia akan ke hutan Paleonan, melihat tempat penelitian primata endemik Mentawai.

Sebenarnya badan masih pegal dan lelah karena semalaman tidur di kabin sempit dalam Kapal Motor Sumber Rejeki yang membawa kami dari Padang ke Siberut selama 10 jam.

Memasuki perairan paling utara Pulau Siberut, ombak mulai mengganas dan bergulung, jenis gelombang yang lebih cocok untuk surfing. Dibalut kecemasan, tangan kami makin erat mencengkeram bibir perahu agar badan tak terpental keluar.

Dua jam kemudian, sampai di mulut Muara Sigep, kami berganti perahu lebih kecil yang disebut pompong untuk menyusuri Sungai Pungut. Arus Sungai Pungut yang melebar oleh banjir tampak menyimpan beberapa pusaran yang mengancam. Bila tak hati-hati perahu bisa terbalik dimakan arus.

Peneliti Siberut Conservation Project (SCP) Susilo Hadi sedang membuat herbal. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com).

Peneliti Siberut Conservation Project (SCP) Susilo Hadi sedang membuat herbal. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Saya agak tegang karena tak begitu pandai berenang. Tapi semangat baja ingin melihat empat jenis monyet yang di dunia ini hanya ada di Mentawai, telah membunuh rasa takut.

Keempat primata itu adalah Bokkoi (Macaca siberu), Joja (Presbytis potenziani), Bilou atau Siamang kerdil (Hylobates klosii), dan Simakobu (Nasalis concolor). Mereka primata endemik Mentawai dan hanya bisa ditemukan di Kepulauan Mentawai.

Setelah menepi dan keluar dari pompong, kami menginjak lantai hutan dan berjalan di antara pohon dan perdu yang basah karena hujan. Puluhan pacet meloncat dari dedaunan hinggap di kaki dan tangan. Walau sudah waspada, ternyata beberapa tetes darah saya sempat dinikmati seekor pacet sampai kekenyangan. Jalan kaki dan menyeberang sungai ini memakan waktu 1 jam.

Menjelang senja akhirnya kami tiba jua ke stasiun riset primata. Stasiun riset ini sangat  sederhana, hanya ada enam bangunan kayu mirip uma, rumah adat Mentawai, didirikan untuk tempat pengamatan monyet dan tempat tinggal peneliti. Keenam bangunan itu dihubungkan jalan setapak dari susunan kayu.

Dermaga Pokkai. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Dermaga Pokai. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Stasiun ini letaknya di lembah di kelilingi hutan campuran, selain pohon dipterocarpase seperti meranti dan katuka. Juga ada pohon durian, pisang, pepaya, jeruk, aren, dan perdu.

Halaman:

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

krisis air
Krisis Air di Empat Pulau Mentawai, Kenapa Bisa Terjadi?
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
Terancam Punah, Unand-Swara Owa Survei 6 Primata Endemik Mentawai
Terancam Punah, Unand-Swara Owa Survei 6 Primata Endemik Mentawai
Bertemu Primata Langka Siberut yang Paling Terancam di Dunia
Bertemu Primata Langka Siberut yang Paling Terancam di Dunia
Toek, Pangan Lokal Pulau Sipora yang Terancam Penebangan Hutan
Pangan Lokal Toek Terancam Penebangan Hutan
Mentawai
Arat Sabulungan dan Gempuran Agama di Mentawai