Primata Endemik Mentawai di Hutan Paleonan

Primata Endemik Mentawai di Hutan Paleonan

Seekor bilou, salah satu primata endemik di Mentawai. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

PENDEKATAN DENGAN WARNA BAJU

Ternyata pertemuan itu bukan yang terakhir. Hari berikutnya di atas pohon durian di belakang penginapan saya malah ada tiga ekor simakobu. Mereka juga kerap terlihat melintasi sungai sambil berayun dari pohon yang menjalar.

“Kalau tahun lalu kita mendekat, monyet itu masih sering lari, mungkin takut dimakan, sekarang mereka cuek saja, bahkan tiap kita amati mereka saling berteriak seperti sedang ngeledek,” kata Susilo yang juga dosen di Universitas Gajah Mada.

Thomas dan Susilo menggunakan beberapa cara pendekatan. Salah satunya adalah mengenakan baju dengan warna sama setiap kali masuk hutan. Susilo memakai kaos oranye sedang Thomas kaos putih. Selain itu setiap kali bertemu monyet mereka akan berteriak menyapa.

“Kami berharap monyet-monyet itu menyadari bahwa kami tidak akan menyakiti mereka,” kata Thomas.

Maklum, karena selama ini monyet-monyet itu kerap diburu penduduk tradisional Mentawai, karena dianggap santapan lezat bagi mereka. Upaya Thomas dan Susilo mulai berhasil, monyet-monyet itu tidak lagi lari, walaupun juga tidak pernah mau turun dari pohon.

Selain mengamati tingkah laku primata ini, Thomas dan Susilo juga selalu berburu kotoran hewan ini untuk diteliti. Mereka menggunakan cara penelitian yang tidak menyakiti seperti membunuh atau mengambil darah hewan.

“Dari meneliti kotorannya saja sudah bisa diketahui hormon, makanan, dan parasit mereka,” kata Thomas.

Hutan Paleonan memang rumah yang nyaman bagi keempat primata asli Mentawai itu. Mereka bisa tinggal bersama, bahkan berbagi makanan dan tempat tidur dari pohon yang sama, tanpa mengganggu yang lainnya.

Menurut Thomas, hal yang menarik yang sedang Susilo dan ia teliti adalah perbedaan dua relung antara joja dan simakobu. Teori dasarnya adalah dua spesies tidak bisa hidup bersama ketika dia menggunakan tempat yang sama. Salah satu akan menang atau kalah, bahkan musnah. Tapi kenyataannya, di Siberut keduanya bisa hidup bersama berbagi makanan dan tempat tidur. Apalagi di tempat kecil seperti Pulau Siberut.

“Yang aneh, karena dua monyet yang hidup di tempat terpencil seperti pulau kecil bisa hidup bersama, di dunia itu hanya ada di Mentawai,” kata Thomas.

Thomas mencontohkan Sumatera yang daratannya luas, sehingga monyet yang hidup di sana bisa kemana-mana mencari makanan. Begitu juga monyet-monyet di Afrika. Tapi di Mentawai, pulaunya kecil. Di areal penelitian yang luasnya hanya 4 ribu hektare, empat primata endemik itu sudah bisa hidup bersama.

Pembukaan lahan di sekitar lokasi hutan habitat primata endemik mengancam populasi. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Pembukaan lahan di sekitar lokasi hutan habitat primata endemik mengancam populasi. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

“Ibaratnya, primata ini bisa hidup berbagi dalam hidup yang relatif keras, manusia harus belajar hidup damai seperti mereka,” ujar Thomas.

Kesimpulan sementara kedua peneliti ini, keempat primata tersebut berbeda makanannya walaupun pada pohon yang sama. Ada yang memakan buah, daun, atau ranting.

Jessica Yorsinsky, gadis dari Maine, Amerika Serikat juga punya hasil penelitian yang tak kalah menarik. Ia ingin tahu reaksi Simakobu terhadap suara.

“Saat saya memperdengarkan suara harimau dari sound system Simakobu hanya duduk, tidak bereaksi, saat diganti suara babi Simakobu diam saja, bahkan tertidur, namun saat diganti suara manusia Simakobu langsung lari,” kata Jesicca kepada kami.

Selama lima hari yang selalu hujan kami hanya bisa melihat Simakobu. Namun saat melewati tanjakan hutan Paleonan dalam perjalanan pulang terdengar lantunan suara Bilou melengking dari atas pohon.

“Itu Bilounya,” kata Jessica yang berjalan di belakang saya.

Jarinya menunjuk ke pohon persis di atas kami. Selama dua  menit kami mengamati siamang kerdil mentawai itu bernyanyi. Kemudian ia berayun ke pohon lainnya meninggalkan kami.

Hello Bilou, how are you,” teriak Jessica tak membuang kesempatan untuk menyapa.

Upayanya berhasil. Terdengar kembali lengkingan suara bilou dengan nada-nada yang tinggi dan panjang seperti mengirim salam perpisahan pada kami. Si Bilou kini menghilang ditelan dedaunan pohon yang lebih tinggi. Benar-benar pengalaman yang tak terlupakan. (Febrianti/JurnalisTravel.com)

 

Tulisan dan foto-foto ini adalah hak milik JurnalisTravel.com dan dilarang mengambil atau menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak di media lain tanpa izin. Jika Anda berminat pada tulisan dan foto bisa menghubungi redaksi@jurnalistravel.com untuk keterangan lebih lanjut. Kami sangat berterima kasih jika Anda menyukai tulisan dan foto untuk diketahui orang lain dengan menyebarkan tautan (link) ke situs ini. Kutipan paling banyak dua paragraf untuk pengantar tautan kami perbolehkan. (REDAKSI)

Halaman:

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

krisis air
Krisis Air di Empat Pulau Mentawai, Kenapa Bisa Terjadi?
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
Terancam Punah, Unand-Swara Owa Survei 6 Primata Endemik Mentawai
Terancam Punah, Unand-Swara Owa Survei 6 Primata Endemik Mentawai
Bertemu Primata Langka Siberut yang Paling Terancam di Dunia
Bertemu Primata Langka Siberut yang Paling Terancam di Dunia
Toek, Pangan Lokal Pulau Sipora yang Terancam Penebangan Hutan
Pangan Lokal Toek Terancam Penebangan Hutan
Mentawai
Arat Sabulungan dan Gempuran Agama di Mentawai