Siasat Guru Senior Pedesaan Mengajar di Tengah Pandemi

belajar online sika

Murid SDI Kolisia, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur sedang belajar di teras rumah. (Foto: Bernadeta Yefrita)

Oleh: Bernadeta Yefrita

DAHINYA nampak berkerut. Ia beberapa kali melirik arloji di pergelangan tangan. Menatap terik matahari, ia nampak gusar. Melangkah tergesa sesekali menatap sepatu yang ditempeli debu, terlihat kelelahan dan gelisah pada waktu bersamaan.

Senyum terbersit di wajah tuanya saat sekumpulan anak-anak berteriak.

”Yes, Ibu An datang… Ibu datang…!“

“Selamat pagi anak-anak, maaf ibu terlambat. Apa semua memakai masker? Beberapa temanmu di kelompok sebelah tidak memakai masker, mereka harus pulang dan mengambilnya sehingga kami mulai  belajar sedikit terlambat.”

Dalam sehari ia harus mengulang berkali-kali materi yang sama, menguji kesabarannya. Kesulitan yang dihadapi tidak hanya sampai di situ, tanpa papan tulis ia cukup kewalahan menerangkan materi kepada murid-muridnya. Terlebih saat belajar berhitung, anak-anak butuh lebih banyak contoh cara penyelesaiannya. Memaparkan materi secara berulang kepada satu-persatu murid sangat menguras energi tuanya.

Belum lagi bising kendaraan, kokokan ayam jago, gonggongan anjing, tawa balita, suara teriakan orang tua memanggil anak-anakanya, dan dentum pacul, sangat mengganggu konsentrasi anak didiknya. Berulang kali meminta atensi murid-muridnya juga menjadi tantangan tersendiri.

Desir angin musim panas membuat mata beberapa murid nampak sayu, belajar dengan duduk di atas lantai menjadi bergoler ria di atas lantai, terlebih bila sang guru sedang memaparkan materi secara khusus pada temannya yang belum paham.

”Apabila dijelaskan secara bersamaan maka volume suara yang dikeluarkan pun haruslah besar, terkesan seperti berteriak,” kata Maria Ana, 56 tahun.

Maria Ana guru senior di SDI Kolisia, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur yang sudah mengabdi 17 tahun lebih di lembaga pendidikan tersebut .

Setiap hari harus bolak-balik mengunjungi titik belajar yang berbeda sangat melelahkannnya. Kesulitan menemukan transportasi di wilayah pedesaan membuat berjalan kaki adalah alternatif terakhir.

“Saya harus berjalan dengan cepat kalau tidak ada kendaraan yang bisa ditumpangi, saya khawatir sudah ditunggu murid yang datang lebih awal dari jadwal yang disepkati. Aduh pusing anak-anak ini. Sudah saya ingatkan berulang-ulang agar datang sesuai kesepakatan,” kata Maria.

belajar online

Sekolah dan orang tua menyepakati sistem pembelajaran dalam bentuk kelompok belajar kecil. (Foto: Bernadeta Yefrita)

Ia juga khawatir apakah murid-muridnya mengenakan masker dengan baik dan benar. Apakah mereka menjaga jarak.

Hal itu dikarenakan banyak orang tua tidak mengindahkan kesepakatan untuk mengantar dan menjemput anaknya. Orangtua memilih berkebun sehingga anak-anak datang sendiri ke titik pembelajaran tanpa ada yang mengawasi sebelum gurunya datang.

Lain kisah Dintje, 52 tahun, guru kelas 3 SDI Kolisia yang sudah mengabdi 22 tahun lebih di Sekolah Dasar tersebut. Ia memutuskan untuk membuat titik pembelajaran hanya pada satu lokasi. Lokasi yang dipilih adalah rumahnya sendiri. Dintje merasa tertolong karena tidak harus mengunjungi titik-titik belajar yang berbeda.

“Kesulitan paling utama yang saya alami adalah waktu pembelajaran yang hanya dua jam untuk setiap kelompok dalam sekali pertemuan. Ini sangat sulit karena banyak murid saya kemampuan membacanya belum terlalu bagus. Kami diminta untuk memberi lebih banyak tugas rumah,” ujarnya.

Yang menjadi persoalan, anak murid Dintje banyak yang masih kesulitan memahami isi bacaan. Belum lagi orang tua mereka di desa yang tingkat pendidikannya rendah. Kesadaran dan pemahamannya juga masih rendah, serta sibuk berkebun.

“Sehingga sangat sulit untuk diandalkan dalam membimbing anak-anak belajar di rumah,” katanya.

Beberapa anak yang rumahnya jauh sering datang terlambat yang berdampak memperlambat proses belajar-mengajar. Dari awal pembelajaran kelompok kecil dengan mematuhi protokol kesehatan ini, beberapa anak tanpa sadar melepaskan maskernya saat pembelajaran berlangsung. Hal itu karena murid-murid belum terbiasa dengan masker.

Terlepas dari perbedaan tantangan yang dihadapi kedua guru senior SDI Kolisia selama pembelajaran di tengah pandemi Covid-19, mereka memiliki persoalan yang sama terkait ketidakmampuan menggunakan teknologi pada sistem pembelajaran daring (dalam jaringan).

“Saya tidak bisa mengunakan ponsel pintar maupun komputer untuk sistem belajar daring, saya sangat kewalahan di awal sistem pembelajaran online ini dijadikan solusi di masa pandemi,” kata Dintje.

Selain kesulitan secara pribadi, juga banyak orang tua murid tidak bisa menyiapkan peralatan teknologi yang mendukung sistem pembelajaran daring untuk anaknya.

Saat pembelajaran dengan sistem daring diumumkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dintje berpikir sistem tersebut hanya cocok untuk orang-orang di kota yang jaringan internetnya bagus dan bagi yang paham teknologi.

“Saya juga mulai meminta bantuan rekan-rekan guru muda yang paham teknologi,” ujarnya.

Beruntung sekolah dan orang tua menyepakati sistem pembelajaran dalam bentuk kelompok belajar kecil.

“Walaupun sangat menguras energi dan emosi, selama anak-anak murid masih bisa ditemui, belajar bersama, dan mengamati perkembangannya secara langsung, sudah menjadi kebahagian tersendiri bagi kami,” kata Maria.

Covid-19 yang datang pada saat teknologi sedang berada pada masa keemasannya, membuat sistem pembelajaran daring menjadi cara paling efektif menurut pemerintah untuk tetap melanjutkan proses persekolahan. Hal ini dikarenakan sekolah online sangat membantu pemerintah dalam mengurangi serta menghambat penyebaran virus korona, terutama pada klaster sekolah dan kampus.

Namun tidak semua wilayah di Indonesia siap, baik dari fasilitas maupun sumber daya manusia. Seperti yang terjadi di SDI Kolisia.

Buruknya jaringan internet, ketidakmampuan orang tua murid menyediakan fasilitas daring bagi anaknya seperti gawai dan kuota internet. Juga ditambah ketidakpahaman anak didik dan orang tua dalam mengoperasikan telepon pintar menjadi penghambatan penerapan sistem belajar online di daerah tersebut. Selain itu, keberadaan para pendidik senior yang gagap teknologi menjadikan lebih sempurnanya ketidakefektifan penerapan sistem online di daerah tersebut.

Oleh karena itu, pembentukan kelompok belajar kecil menjadi pilihan terbaik bagi beberapa guru di daerah pedesaan, seperti yang dilakukan Maria dan Dintje. Pilihan tersebut dilakukan agar anak didik mereka tak ketinggalan pelajaran.

Memang masih beresiko tinggi terhadap penularan Covid-19 karena adanya pertemuan langsung meskipun dalam kelompok yang lebih kecil. Namun, mereka harus berani melakukan itu dengan tetap mematuhi protokol kesehatan seperti yang telah diultimatumkan oleh pemerintah. (Bernadeta Yefrita)

 (Tulisan feature ini hasil Pelatihan Jurnalisme Warga yang diadakan The Samdhana Institute dengan peserta pemuda komunitas adat se-Indonesia dengan trainer Syofiardi Bachyul Jb secara online pada 31 Agustus -21 September 2020. Bernadeta Yefrita adalah aktivis di Perkumpulan Aktivis Peduli Hak Anak (PAPHA) Sikka, Nusa Tenggara Timur).

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

Nyarai
Ekowisata Nyarai Tetap Bertahan Meski Pandemi
porang
Ramai-Ramai Menanam Porang di Manggarai Timur
sinyal ponsel
Tanpa Sinyal di Lembah Tilir
mollo
Energi Adat Seorang Wanita Tua
manggarai
Tradisi Orang Kolang di NTT, Leluhurnya dari Minangkabau
porang
Magang di Jepang 9 Bulan Berkat Menanam Porang