Ketika Kelompok Tani Menikmati Kayu Jati

yogyakarta

tim tebangan Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (KTHKm) Sedyo Rukun sedang melakukan penebangan kayu jati. (Foto: Silvia Prima)

 

Yogyakarta

Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (KTHKm) Sedyo Rukun, Desa Banyusoco, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. (Foto: Silvia Prima)

Oleh: Silvia Prima

PAGI itu di kejauhan sayup-sayup terdengar suara mesin gergaji pemotong kayu. Itu adalah suara dari mesin pemotong kayu tim tebangan Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (KTHKm) Sedyo Rukun.

KTHKm di Desa Banyusoco, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta tersebut sudah memulai proses tebangan kedua pada Selasa, 22 September 2020. Sedangkan proses tebangan pertama sudah dilaksanakan pada Agustus 2019.

Ada dua tim penebangan pada periode kedua ini. Setiap tim terdiri dari 10 anggota kelompok. Satu orang bertugas sebagai operator gergaji mesin, seorang sebagai pengukur kayu, seorang lagi sebagai pencatat nomor kayu, tiga orang bertugas memisahkan batang kayu dengan rantingnya, dan empat orang bertugas sebagai pengangkut kayu dari lokasi tebang ke Tempat Penumpukan Kayu.

BACA JUGA: Sumber Ekonomi di Bawah Pohon Jati

Setu Haryono, 60 tahun, yang bertugas memisahkan batang kayu dengan ranting mengatakan bahwa tebangan periode kedua di Blok II tidak terlalu sulit dibanding pada saat penebangan di Blok I.

“Tebangan kali ini dari segi angkutannya cukup mudah, jarak area tebang dengan jalan yang dilalui truk tidak terlalu jauh, jadi untuk mengangkutnya pun tidak terlalu lelah”, ujarnya.

yogyakarta

tim tebangan Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (KTHKm) Sedyo Rukun sedang melakukan penebangan kayu jati. (Foto: Silvia Prima)

Sebelumnya, pada Agustus 2019 KTHKm Sedyo Rukun melakukan tebangan yang pertama pada Blok I. Tebangan tidak dapat dilaksanakan dalam sekali waktu, karena terbatas oleh masa berlakunya Ganis (Tenaga Teknis). Ganis hanya berlaku selama enam bulan.

KTHKm merupakan salah satu program negara yang bertujuan sesuai semboyan “Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera”. Artinya, kelestarian hutan yang tetap terjaga dan hasilnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Manfaat yang dimaksud dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang ikut dalam mengelolanya.

Sebagai wujud kepercayaan negara kepada masyarakat maka diberikan IUPHKm Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) pada 2017 dengan Nomor 208/KPTS/2007 kepada KTHKm Sedyo Rukun. Dengan izin tersebut anggota KTHKm Sedyo Rukun dapat memanfaatkan kawasan hutan sepenuhnya.

Dalam pengelolaan KTHKm, kelompok mempunyai tiga kelola. Satu, kelola Kawasan, yaitu menanam tanamam pokok berupa pohon jati (Tectona Grandis) dan pemanfaatan kawasan bawah tegakan. Dua, kelola kelembagaan yaitu kelompok dapat membentuk organisasi kepengurusan di dalam anggota kelompok.

Ketiga, kelola usaha. Dalam kelola usaha kelompok melakukan berbagai kegiatan usaha terkait kelola kawasan seperti mengolah tanaman bawah tegakan dan usaha pemanfaatan kayu jati atau tebangan.

“Alhamdulillah selama dua periode tebangan ini kelompok kami sudah memenuhi syarat untuk melakukan tebangan,” kata Sudarmi, ketua KTHKm Sedyo Rukun.

Ia mengatakan prosedurnya sudah diurus sejak April 2020. Karena terkenala Covid-19 rencana tebangan Agsutus diundur menjadi September 2020.

Prosedur agar dapat dilaksanakannya tebangan adalah melakukan inventarisasi kayu jati. Kemudian disahkannya RKU (Rencana Kegiatan Usaha) dan RKT (Rencana Kegiatan Tahunan) oleh KPH (Kawasan Pemangku Hutan) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya setelah RKU dan RKT disahkan maka KPH mengeluarkan surat keputusan terkait RKT.

Prosedur selanjutnya adalah rekomendasi dari Balai Pengelolaan Hutan Produksi yang berada di Denpasar, Bali tentang pinjam pakai Ganis (Tenaga Teknis). Terakhir adanya LHC (Laporan Hasil Cruising) yang disahkan Ganis.

“Selain melakukan prosedur tebangan dengan benar, ada juga syarat agar dapat dilakukan tebangan,” kata Sudarmi.

Syarat tersebut adalah izin dari beberapa pihak terkait. Pohon jati yang akan ditebang berusia minimal 15 tahun, kayu jati atau pohonnya memiliki diameter minimal 7 cm, dan tebangan dilakukan dengan dua sistem, yaitu penjarangan (tebang pilih) dan tebang habis.

Kemudian dalam satu periode waktu tebangan disesuaikan dengan masa berlakunya pinjam pakai Ganis, yaitu selama enam bulan. Jika sudah melebihi enam bulan maka tebangan harus dihentikan. Kemudian dilanjutkan tahun depan bersamaan dengan periode tebangan ketiga pada Blok III.

“Pengelolaan hasil tebangan sampai saat ini dilakukan sendiri oleh KTHKm Sedyo Rukun,” ujarnya.

Hasil tebangan dijual dalam bentuk kayu log atau kayu bulat utuh. Panjang kayu bervariasi, mulai 1 meter hingga 4 meter sesuai kebutuhan pembeli kayu.

Pembagian keuntungan yang diperoleh anggota KTHKm Sedyo Rukun adalah 60:40. Sebanyak 60 persen digunakan untuk membiayai operasional tebangan dan pajak negara. Sedangkan 40 persen menjadi milik anggota kelompok. Jumlah yang diperoleh masing-masing anggota tidak sama, tergantung andil yang mereka peroleh.

Meski berada di bawah naungan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, KTHKm Sedyo Rukun tidak berkontribusi secara langsung, karena sudah dibayarkan langsung melalui pajak negara.

“Andil saya di kelompok ini ada pada Blok I, jumlah uang yang diterima oleh para anggota yang ada di Blok I kisaran Rp4 juta sampai Rp5 juta, bahkan ada yang menerima lebih,” kata Wakiran, anggota tebang.

Dalam penjualan kayu log KTHKm Sedyo Rukun memilih mitra pembeli kayu CV Yolla Sono Gemilang yang merupakan mitra jual beli hasil tebangan KTHKM Sedyo Rukun. Perusahaan tersebut dipilih karena mengajukan penawaran tertinggi untuk tiap kubiknya.

Selain itu CV Yolla Sono Gemilang juga sudah terdaftar dalam SIPUHH (Sistem Informasi Penata Usahaan Hasil Hutan). Terdaftar dalam SIPUHH adalah syarat utama dari calon pembeli hasil tebangan.

Setelah kayu Log terjual, maka sisa potongan kayu yang tidak ikut terjual menjadi hak pengelola. Sedangkan ranting pohon menjadi hak anggota kelompok yang terlibat penebangan. Ranting biasanya mereka kumpulkan menjadi kayu bakar. Bahkan ada beberapa dari mereka yang membuat beberapa ikatan ranting untuk dijual ke pasar.

Meskipun pada hasil tebangan periode pertama masih banyak kekurangan, tetapi Sudarmi berharap tebangan periode kedua berjalan lancar.

“Petani zaman now harus melek informasi, jangan tahunya hanya cangkul saja,” katanya disertai tawa riang. (Silvia Prima)

(Tulisan feature ini hasil Pelatihan Jurnalisme Warga yang diadakan The Samdhana Institute dengan peserta pemuda komunitas adat se-Indonesia dengan trainer Syofiardi Bachyul Jb secara online pada 31 Agustus -21 September 2020. Silvia Prima adalah pegiat KTHKm Sedyo Rukun di Desa Banyusoco, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta)

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

Hutan Nagari
Hutan Adat Nagari Ampalu Masih Menunggu Perda Kabupaten
Wisata Bonjol
Potensi Ekowisata Lubuk Ngungun di Bonjol Akan Dikelola
gusmen heriadi
Pameran Tunggal 25 Tahun Perjalanan Seniman Gusmen Heriadi
lukisan
Pameran Tunggal Syam Terrajana di Yogyakarta
seniman
Cara Unik Empat Seniman Indonesia Mengatasi Krisis Sosial Ekologi
yogyakarta
Sumber Ekonomi di Bawah Pohon Jati