Proses Pembuatan Tato Mentawai

Proses Pembuatan Tato Mentawai

Jarum ditusukkan ke kulit dengan memukul-mukul lembut dengan kayu kecil. Kadang darah keluar, namun lebih banyak darah bercampur dengan tinta hitam. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

ORANG Mentawai yang tinggal di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat terkenal sebagai satu dari tiga suku bangsa di Indonesia yang memiliki budaya menato tubuh. Dua lainnya adalah Dayak di Kalimantan dan Suku Moi di Papua Barat.

Saat ini tradisi menato tubuh di Mentawai yang disebut “titi” hanya tinggal di Pulau Siberut. Sedangkan di tiga pulau besar lainnya, seperti Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan sudah lama hilang. Penyebab hilang adalah pemberangusan oleh pemerintah seiring dengan masuknya agama modern.

Lampiran Gambar

Aman Lauklauk mengeluarkan jelaga dari dalam botol yang selalu digantungnya di pinggang ke dalam tempurung. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Di sejumlah kampung di Siberut pedalaman, seni menato tubuh sudah mulai berkurang. Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang yang mahir menato atau yang disebut “sipatiti”. Hanya sedikit orang berusia di bawah 40 tahun saat ini yang masih menato tubuh.

Meski sejak Era Reformasi tidak ada lagi pelarangan tubuh bertato di Mentawai, namun banyak orang Mentawai tak mau lagi di tato. Selain merasa akan menyulitkan bergaul dengan masyarakat luar, juga karena ditato itu sakitnya minta ampun.

Lampiran Gambar

Air perasan tebu untuk campuran pengencer jelaga. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Pada Festival Pesona Mentawai 2016 yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Mentawai dan didukung Kementerian Pariwisata pada 20 April di Mapadeggat, Tuapejat, Pulau Sipora ditampilkan proses penatoan tradisional Mentawai.

Josep Teuki Ogok Salakirat, 60 tahun, seorang sikerei dari Buttui, Siberut Selatan yang juga ahli menato memperagakan keahliannya. Dibantu anaknya, Lauklauk Manai Salakirat, ia menato dua pria dan seorang wanita Mentawai yang mau dijadikan “kelinci percobaan”.

Lampiran Gambar

Campuran jelaga dengan air tebu diaduk dengan jari. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

BAHAN DAN ALAT MENATO

Bahan pewarna tato adalah olahan jelaga bekas asap tungku dapur dicampur air tebu. Sedangkan penusuknya adalah jarum yang diikatkan ke sebatang kayu kecil. Lalu dipukul-pukul dengan kayu kecil lainnya untuk menusukkan ke kulit.

Lampiran Gambar

Kulit yang hendak ditato digambar dulu dengan spidol. Dulu cukup dengan arang. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Tapi jarum diolesi cairan pewarna dulu sebelum ditusukkan. Zaman dulu pembuatan pola dilakukan dengan arang, tapi sekarang bisa dengan balpoin, karena lebih mudah.

“Sakitnya minta ampun,” kata Ruslianus Sabelau yang juga pegawai pemerintah di Mentawai setelah tato lambang matahari menempel di bahunya.

Lampiran Gambar

Jarum dipukul-pukul teratur dengan lembut, tapi hingga menembus kulit tentunya. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Tentu saja sakit, karena kulit tidak diolesi obat apapun untuk pengurang rasa sakit.

Josep Teuki yang akrab dipanggil “Aman Lauk-Lauk” (artinya Ayah di Lauk-Lauk) mengatakan, untuk menjadi sipatiti perlu latihan pertama kali kepada kulit batang pisang. Itu untuk melatih kedalaman tusukan jarum. Perlu kemahiran merajahkan jarum, tentunya, terutama jika tatonya berada di leher seperti milik orang Mentawai tradisional.

Lampiran Gambar

Tanpa obat penghilang rasa nyeri atau bius, sakitnya minta ampun.(Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

“Bunyinya jika menato pangkal leher terdengar seperti memukul pipa paralon,” kata seorang sikerei kepada JurnalisTravel.com.

Jika ditato satu lambang matahari saja sakitnya minta ampun, betapa luar biasanya orang Mentawai yang bertato di sekujur tubuh.

Lampiran Gambar

Agar warna tato tahan lama, arang perlu diolesnya berkali-kali ke ujung jarum. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Menurut Aman Lauk-Lauk, tidak banyak perbedaan tato antara satu kampung dengan kampung lainnya di Mentawai. Kadangkala perbedaan terjadi karena kreasi sipatiti atau keinginan yang ditato agar tampil sedikit beda.

Namun garis bermakna nyaris sama yang melambangkan keuletan orang Mentawai. Misalnya gambar lambang panah di dada yang bermakna orang Mentawai seperti panah. Sabetan parang di pipi yang melambangkan orang Mentawai mahir menggunakan parang untuk pekerjaan sehari-hari.

Lampiran Gambar

Mateus Lajo, pegawai negeri di Pemkab Mentawai memperlihatkan tato barunya. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Duri manau di lengan penanda apa yang dikerjakan bisa selesai. Kail di punggung telapak tangan sebagai lambang kedua tangan yang siap mendapatkan sesuatu untuk hidup. (Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Lampiran Gambar

Josep Teuki Ogok Salakirat atau Aman Lauklauk menjelaskan makna tato di pipinya. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

CATATAN: Tulisan dan foto-foto (berlogo) ini adalah milik JurnalisTravel.com. Dilarang menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak tanpa izin. Jika berminat bisa menghubungi redaksi@jurnalistravel.com. Terima kasih untuk anda bantu bagikan dengan tautan.(REDAKSI)

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

krisis air
Krisis Air di Empat Pulau Mentawai, Kenapa Bisa Terjadi?
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
Terancam Punah, Unand-Swara Owa Survei 6 Primata Endemik Mentawai
Terancam Punah, Unand-Swara Owa Survei 6 Primata Endemik Mentawai
Bertemu Primata Langka Siberut yang Paling Terancam di Dunia
Bertemu Primata Langka Siberut yang Paling Terancam di Dunia
Toek, Pangan Lokal Pulau Sipora yang Terancam Penebangan Hutan
Pangan Lokal Toek Terancam Penebangan Hutan
Mentawai
Arat Sabulungan dan Gempuran Agama di Mentawai