Pergi Menangguk dengan Perempuan Simatalu

simatalu

Fika bersama perempuan Muntei, Simatalu sedang menangkap udang di sungai. (Foto: Desti Ariani)

Oleh: Desti Ariani

ADA pepatah orang Simatalu yang sebelumnya pernah saya dengar dari Kak Yanti, salah seorang kerabat yang tahun lalu sudah lebih dulu mengunjungi dan meneliti tentang Desa Simatalu. Pepatah itu, “Masua dere, masua lolokkat” yang artinya “basah kaki basah tenggorokan”.

Saya membuktikan sendiri pepatah tersebut pada saat berada di Simatalu, terutama berlaku bagi perempuan.

Simatalu

Saya bertemu dengan anak perempuan masih kecil yang juga sedang menangguk. (Foto: Desti Ariani)

Selama tinggal beberapa bulan di Simatalu, sebuah desa di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai itu, saya mengamati dan mencari tahu kepada masyarakat Simatalu, di sana siapa yang bertanggung jawab memenuhi ketersediaan pangan atau makanan untuk dikonsumsi sehari-hari.

Misalnya babag/gete’ (keladi) dan sagu (sagu). Juga lauk-pauk seperti ngomung (udang) atau toinak/iba (ikan kecil). Sesekali sayuran seperti bulug gobit (daun ubi), pulusen magok (jantung pisang), paluto (gambas), dan geiluk (pakis).

Simatalu

Kegiatan lain yang dilakukan sembari menangguk adalah bertukar cerita dan bercanda. (Foto: Desti Ariani)

PERGI MENANGGUK

“Mei sita mohamone, oi kakak” (Ayo kita pergi menangguk, kakak).

Pagi hari menjelang siang, sekitar pukul 10.30 WIB di Dusun Muntei, Desa Simatalu, saya diajak oleh Fika, seorang teman asli Dusun Muntei untuk pergi kamone atau mohamone yang artinya pergi menangguk udang.

Fika membawa alat yang biasanya digunakan oleh perempuan Dusun Muntei ketika pergi menangguk, seperti suba dan lakasan. Suba adalah alat untuk menangguk, sedangkan lakasan adalah bilah bambu yang digunakan sebagai wadah untuk menyimpan hasil tangkapan.

Ia berjalan sambil memikul suba di bahu kanan atau kiri dengan lakasan yang diletakkan di dalam suba tersebut. Begitu cara mereka membawa peralatan menangguk menuju sungai. Pemandangan aktivitas perempuan seperti ini akan dapat kita lihat setiap hari di Dusun Muntei, Desa Simatalu.

Saya pergi dari rumah hanya membawa kamera saku. Tujuannya untuk merekam aktivitas perempuan di sana selama menangguk. Ya, aktivitas menangguk itu hanya dilakukan oleh perempuan saja atau laki-laki yang masih kecil.

simatalu

Hanya mereka yang sudah terbiasa yang tahu di mana tempat persembunyian udang atau ikan. (Foto: Desti Ariani)

Sedangkan laki-laki yang dewasa pergi memancing ikan. Di Muntei aktivitas memancing ikan di laut dikenal dengan sebutan moilon. Laki laki memancing ikan di laut, dari atas tebing dengan tingkat bahaya yang tinggi. Namun tak jarang perempuan juga sering ikut memancing membantu suaminnya.

Memancing tidak dilakukan setiap hari, hanya sesekali saja jika cuaca bagus dan gelombang laut tidak tinggi. Jenis ikan yang mereka dapatkan biasannya ikan karang dan ikan hiu yang ukurannya masih kecil.

Ikan hasil tangkapan tersebut jarang mereka konsumsi sendiri sebagai lauk sehari-hari, melainkan mereka jual, kemudian ditukar untuk membeli gula, kopi, dan rokok, karena itu kebutuhan dasar bagi laki-laki di dusun Muntei. Sama seperti apa yang diungkapkan oleh Tolae,  warga Dusun Muntei,  “Ada rokok, gula, kopi, habis perkara.”

Setibanya kami di sungai ternyata sampan Fika sudah dibawa pergi. Beruntung kami bertemu dengan anak-anak yang baru saja kembali dari arah sungai dan sampan mereka kami pinjam. Kami bertiga naik sampan, saya, Fika dan seorang adik perempuannya bernama Nurbaya.

simatalu

Fika bersama perempuan Muntei, Simatalu sedang menangkap udang di sungai. (Foto: Desti Ariani)

Tidak begitu jauh mendayung, kami sampai di tempat yang menurut Fika sudah pas untuk menangguk. Saya dan Nurbaya turun lebih dulu dari atas sampan, sementara Fika masih mencari posisi untuk menepikan sampan agar tidak menghalangi jalan.

Nurbaya sibuk mencari akar atau tali untuk mengikat lakasan di pinggangnya. Fika sudah siap tempur dengan alatnya, suba dan lakasan. Sementara saya masih kesusahan mencari pijakan yang pas agar seimbang dan tidak terjatuh di antara air yang penuh lumpur sambil menimbang suba, lakasan, dan kamera.

Ini pengalaman pertama saya ikut menangguk. Celana panjang saya sudah basah sampai pangkal paha karena terendam air, sementara belum ada satu ekor udang pun yang berhasil saya dapat. Udang yang berukuran kecil itu tidak terlihat oleh mata saya yang kabur, apalagi mereka berembunyi di lumpur.

Hanya mereka yang sudah terbiasa yang tahu di mana tempat persembunyiannya. Akhirnya saya memutuskan untuk memotret saja. Suba dan lakasan saya simpan di atas sampan yang letaknya tidak jauh dari kami menangguk.

Simatalu

Sesekali mereka menyantap langsung hasil tangkapan mereka. (Foto: Desti Ariani)

MOHAMONE, RUANG SOSIAL

Selama berada di sungai kami tidak hanya bertiga. Saya bertemu dengan dua anak perempuan masih kecil yang juga sedang menangguk. Berjalan lebih jauh lagi bertemu dengan kelompok mamak-mamak, ada yang sudah tua dan ada yang berumur 20-30-an tahun.

Berjalan lagi ke depan, saya bertemu dengan beberapa orang remaja yang sering menemani saya selama berada di Muntei. Biasanya mereka berjanjian untuk pergi menangguk bersama. Benar saja selama proses menangguk itu kami semua yang berada di sungai itu adalah perempuan.

Kegiatan lain yang dilakukan sembari menangguk adalah bertukar cerita, bercanda, dan bermain air. Mereka juga saling berbagi info terkini tentang keadaan kampung mereka dan sesekali menyantap langsung hasil tangkapan mereka.

Dalam kesehariannya, perempuan Simatalu mempunyai aktivitas yang sangat banyak. Mulai dari bangun pagi sekitar pukul 4.30 WIB, membersihkan rumah, memasak, memberi makan ternak, mengumpulkan kayu api, mengambil bambu, kembali lagi ke rumah untuk menyiapkan anak-anaknya berangkat ke sekolah, mencuci, ke lading, dan sebagainya.

Simatalu

Waktu itu tidak banyak hasil yang kami dapat. (Foto: Desti Ariani)

Menangguk di sungai menjadi ruang bagi mereka untuk dapat berinteraksi dengan teman, saudara, dan ibu, sambil mencari lauk untuk kebutuhan sehari-hari.

Waktu itu tidak banyak hasil yang kami dapat, hanya sedikit udang ukuran kecil. Nurbaya lebih beruntung, karena selain udang, satu ekor kepiting ukuran sedang berhasil ia dapat. Ekspresi mereka terlihat senang dan mungkin juga sambil kasihan melihat saya yang terlihat masih kesusahan berjalan di lumpur, juga menahan mual karena ikut-ikutan mencicipi kepiting mentah yang tidak pernah saya makan sebelumnya.

MEREKA YANG DATANG TELANJANG

Selagi saya masih sibuk memotret aktivitas mereka, dari kejauhan saya melihat ada satu sampan lagi yang datang. Kali ini bukan kelompok anak perempuan. Ada sekitar empat orang anak laki-laki yang masih kecil sedang asyik bercanda di atas sampan sambil mengarahkan dayungnya ke arah kami. Tidak ada satupun dari mereka yang menggunakan pakaian.

simatalu

Kali ini bukan kelompok anak perempuan. (Foto: Desti Ariani)

Wajah anak-anak itu sebagian cemong kena lumpur yang sudah mengering. Mereka melempar senyumnya kepada saya terlihat tulus sekali dan sangat menarik hati. Mereka hanya membawa satu suba, tidak ada lakasan yang terikat di pinggang. Menangguk hanya sebentar saja, selebihnya bermain, nyebur ke sungai dengan melompat dari atas sampan.

Cuaca hari itu sangat cerah, matahari sudah berada tepat di atas kepala, namun tidak terasa panas atau terik, karena ada banyak pohon yang tumbuh di sekeliling sungai sehingga terbentuk seperti kanopi.

Air sungai sudah sampai hampir setinggi dada, pertanda sudah pasang naik. Jam di tangan saya sudah menunjukan pukul 12.20 WIB, hampir dua jam sudah kami berendam di air, namun hasil yang didapat hanya sedikit.

Satu persatu orang kembali pulang. Tak lama Fika juga mengajak saya pulang. Hasil yang kami dapat dibawa pulang, di masak sebagai lauk makan siang kami. (Desti Ariani)

Desti Ariani adalah traveler asal Meulaboh, Aceh. Tulisan-tulisan petualangan alumnus Sosiologi Universitas Sumatera Utara ini juga bisa dinikmati di blognya https://pergidulubentar.blogspot.com/

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

Banjir
Banjir Lebih Sebulan Melanda Dataran Tinggi Kerinci
krisis air
Krisis Air di Empat Pulau Mentawai, Kenapa Bisa Terjadi?
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
Terancam Punah, Unand-Swara Owa Survei 6 Primata Endemik Mentawai
Terancam Punah, Unand-Swara Owa Survei 6 Primata Endemik Mentawai
Hutan Nagari
Hutan Adat Nagari Ampalu Masih Menunggu Perda Kabupaten
Kisah Kopi Londo di Nagari Sirukam
Kisah Kopi Londo di Nagari Sirukam