Pemburu Semut, Beda Buruan Dengan Densus 88

Pemburu Semut, Beda Buruan Dengan Densus 88

Heri Purwadi sedang bekerja mengambil semut. (Foto: Eddy J. Soetopo/ JurnalisTravel.com)

JANGAN membandingkan profesi pemburu yang satu ini dengan Densus (Detasemen Khusus). Meski pekerjaan mereka berburu, tetapi buruan kedua profesi berbeda. Kalau Densus 88 pekerjaan utamanya memburu teroris, sedangkan profesi yang satu ini memburu semut.

Perbedaan kedua profesi bak langit dan bumi. Bila pemburu teroris selain dilengkapi senapan laras panjang dan granat, sedangkan pemburu semut cukup membawa batang bambu.

Pekerjaan berburu semut, sering disebut ’rumut’ bukanlah pekerjaan yang banyak digemari para pencari kerja. Apalagi diburu ’head hunter’ untuk mengisi jabatan sebagai manager profesional.

Padahal bila ditekuni, hasilnya cukup lumayan, dibanding tidak memperoleh penghasilan, sehari dapat membawa pulang Rp75.000.

Menurut pengalaman Heri Purwadi, 36 tahun, si pemburu semut asal Weru, Baki, Sukoharjo, berburu semut Ngangrang dari pohon ke pohon bukanlah pekerjaan hina.

Tetapi, katanya, banyak orang mengganggap ia dan kawan-kawannya seperti pencuri. Orang-orang sering menatap curiga pada teman-teman yang sedang mencari nafkah halal.

”Padahal kami tidak mencuri, memang ke mana-mana saya dan teman-teman berburu telur semut di atas pohon membawa perlengkapan genter –bambu panjang, tapi banyak orang mengira mengambil jemuran,” ujarnya.

Lampiran Gambar

Semut-semut yang berhasill diambil dimasukkan ke dalam kantong dari kain. (Foto: Eddy J. Soetopo/ JurnalisTravel.com)

”Hasilnya lumayan, rata-rata bawa uang Rp75 ribu kotor,” tambahnya.

Apalagi, kata Heri, sebelum banyak pohon di pinggir jalan ditebang, ia mengaku memperoleh penghasilan lebih dibandingkan saat ini. Selain belum banyak orang yang ikut nyodok –istilah para pencari semut– pendapatannya sampai Rp150 ribu.

”Kalau sekarang banyak orang yang ikut-ikutan nyodok, jadi dapatnya telur semut sedikit, waktu itu bisa membawa uang 150 ribu,” katanya. ”Kalau sekarang, sampai sore tidak sampai segitu.”

Tampaknya kesenangan para pehobi burung berkicau, juga membawa berkah bagi pencari kerja korban bakar-bakaran yang terjadi di Solo tahun 1998 itu.

Dulu, cerita Heri, sebelum Solo dilanda kerusuhan bakar-bakaran Mei 1998, ia bekerja sebagai penjaga toko. Lantaran tokonya ikut dibakar massa, Heri mengaku tidak memperoleh pekerjaan selama lebih dari empat tahun.

”Padahal, saya harus membiayai keluarga dan membiayai kedua anak saya waktu itu masih sekolah, tabungan habis, cari kerjaan susah, apa boleh buat, sampai sekarang kerja seperti ini,” katanya.

Lampiran Gambar

Pemburu semut tahu di daun mana semut bersarang. (Foto: Eddy J. Soetopo/ JurnalisTravel.com)

Sebelum menjalani profesinya sebagai pemburu semut, setelah Solo terbakar waktu itu, cerita Heri Purwadi, banyak orang yang tidak memperoleh pekerjaan hingga bertahun-tahun. Bahkan, hingga sekarang, papar Heri, di wilayahnya banyak orang mengandalkan mencari makan dari telur semut.

”Hampir dapat dipastikan, kalau membawa genter, kemungkinan besar orang yang sedang berburu semut itu tetangga desa,” ujarnya.

Menurutnya, karena menjadi pemburu semut tidak memerlukan pengetahuan khusus dan sulit dipelajari. Itulah sebabnya, banyak penduduk di desanya yang berprofesi sebagai pemburu semut. Pengetahuan dasar, katanya, cukup simpel menandai sarang semut di atas pohon.

“Kalau sudah ada daun tua menggulung dan besar, di situ biasanya banyak dihuni semut sampai ribuan, bila daun yang menggulung itu telah menguning, itu tandanya sudah tidak ada lagi semut di dalamnya,” katanya. (Eddy J. Soetopo/ JurnalisTravel.com)

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

Tempoyak Jambi
Pesona Tempoyak di Sungai Telang, Jambi
gusmen heriadi
Pameran Tunggal 25 Tahun Perjalanan Seniman Gusmen Heriadi
Mentawai
Arat Sabulungan dan Gempuran Agama di Mentawai
sinyal ponsel
Tanpa Sinyal di Lembah Tilir
lukisan
Pameran Tunggal Syam Terrajana di Yogyakarta
aksara
Agar Aksara Kuno Kerinci Tidak Punah