Orangutan di Habitat Asli Ketambe

ketambe

Turis asing dan pemandu di lokasi kemping di Hutan Ketambe. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

ketambe

Pak Ibrahim (kanan) dan peserta Jambore Nusantara melihat Orangutan. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

SAIDI, sopir mobil rental yang mengantarkan kami selama tiga hari di Ketambe memiliki kenangan pahit dengan Leonardo DiCaprio.

“Seminggu aku tidak makan dibuatnya,” katanya dari belakang setir Innova yang dibawanya.

Cara ia bercerita membuat kami tergelak. Ia sedang mengolok-olok dirinya karena telah membawa Leonardo DiCaprio dengan mobilnya selama di Ketambe pada Minggu, 27 Juli 2016. Tapi ia tidak tahu yang ia bawa adalah aktor terkenal Hollywood, pemeran utama terbaik Oscar 2016 untuk film “The Revenant”.

Bahkan bersama Leonardo juga ikut Adrien Brody, peraih Oscar 2003 untuk pemeran utama film “The Pianist” dan Fisher Stevens, peraih Oscar 2010 untuk film dokumenter “The Cove”.

“Turun dari helikopter mereka naik ke mobilku, Leonardo di belakangku, aku mengucapkan Welcome Sir, ia membalas Yes, itu saja, lalu aku bawa ke lokasi penyeberangan dekat guest house taman nasional,” kata Saidi.

Leonardo dan rombongan naik perahu menyeberangi Sungai Alas menuju Stasiun Penelitian Orangutan. Setelah dua jam di sana, Saidi kembali mengantarkan mereka ke lokasi helikopter di lapangan dekat SMA.

Saidi baru sadar yang dibawanya adalah Leonardo dan Adrien Brody setelah esoknya media ramai memberitakan Leonardo ke Ketambe.

“Tapi aku tidak memiliki bukti telah membawanya, kalau aku tahu dari awal tentu aku akan selfie-selfie dengan Leonardo,” katanya.

Saidi dan masyarakat di Ketambe pantas tidak tahu karena kunjungan Leonardo ke Ketambe sangat mendadak. Sehari sebelumnya Leonardo dan kawan-kawan berkunjung ke lokasi konservasi gajah di Aceh Timur.

Program konservasi gajah tersebut dikelola Forum Konservasi Leuser (FKL) yang salah satu pendonornya adalah Leonardo DiCaprio Foundation.

ketambe

Sungai Alas lokasi arung jeram. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Di Aceh Timur ia mendengar tentang kegiatan Stasiun Penelitian Oranguatan di Ketambe yang terletak di Aceh Tenggara. Mendadak ia memutuskan berkunjung ke sana. Saidi yang memiliki rental mobil diminta staf FKL untuk menjemput di lokasi pendaratan helikopter.

Media memberitakan Leonardo, Adrien Brody, dan Fisher Stevens sangat puas selama kunjungan singkat ke Ketambe. Di foto-foto yang beredar mereka terlihat bermain dengan anak-anak di dekat helikopter dan melambaikan tangan dari atas perahu di atas Sungai Alas.

Saya memaklumi kepuasan ketiga aktor Hollywood tersebut setelah tiga hari berada di Desa Ketambe. The Samdhana Institute dan Sekolah Ekologi Leuser menggelar Jambore Nusantara di Ketambe, 23-25 Juli 2019 dan saya diminta mengisi salah satu acara.

Peserta jambore adalah pemimpin perempuan, pemuda masyarakat adat, dan komunitas lokal dari 30 lokasi di 11 provinsi di Indonesia.

Setelah mendarat di Bandara Internasional Kualanamu, Medan, kami meneruskan perjalanan sekitar pukul 5 sore dengan mobil rental yang disediakan panitia. Mobil Innova yang masih baru tersebut berpenumpang empat orang. Selain saya ada tiga peserta dari Nusa Tenggara Barat.

Setelah melewati jalur yang berliku di Kabupaten Deli Serdang dan Sibolangit di Kabupaten Karo, kami akhirnya memasuki Aceh Tenggara dan sampai pada pukul 1 dini hari di Ketambe. Saya diantarkan ke Leuser Guest House yang terletak di tengah hutan dengan pohon-pohon yang besar, tak jauh dari jalan raya Kutacane-Blangkejeren.

Pagi hari saya terbangun oleh suara desir air dan suara benda besar berdebum beberapa kali di atap seng. Saya menyibak tirai jendela dan tidak melihat hujan, kecuali tebing rendah dengan pohon-pohon besar yang menjulang di atasnya.

ketambe

Tari Saman saat malam kesenian. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Saya pergi ke beranda bangunan berlantai kayu tersebut dan baru sadar suara desiran datang dari Sungai Alas yang besar berbatu di bawah tebing di depan penginapan yang ditutupi rimbun pepohonan.

Beberapa monyet berekor panjang dengan bulunya yang abu-abu terlihat di dahan pohon. Seekor muncul dari atap dan diam-diam turun melalui tiang menuju tong sampah di sudut beranda dekat tangga untuk mengais makanan. Suara tadi tentu dari monyet tersebut.

“Tadi ada yang melihat sekor Orangutan di atas pohon itu,” kata Marlis, teman sekamar saya menunjuk pohon besar arah jalan masuk.

Acara pembukaan jambore penuh dengan kegiatan budaya dan kesenian. Tuan rumah menampilkan keunikan tradisi Gayo-Alas. Para pemuda berbaris membentuk rantai mengalirkan piring-piring berisi makanan dari dapur umum ke hadapan tamu di atas Balai Adat Desa Ketambe.

Selusin pemuda berpakaian adat menampilkan Tari Saman yang energik. Malamnya acara kesenian masih berlangsung. Dua petarung Ketambe beradu pukulan sebatang bambu kecil dalam seni bela diri “Pelibat”.

Gadis-gadis menarikan Tarian Bines dengan syair yang ditujukan khusus kepada tamu. Acara diakhiri dengan kesenian “Didong”, seni bergurau dengan syair dan pantun.

Peserta dari berbagai latar budaya pun tak ketinggalan. Slamet Diharjo dan Indah dari Banyuwangi menarikan Jaran Kepang dengan cerita “cinta ditolak dukun pun bertindak”. Katarina dan Sangga dari Kabupaten Landak, Kalimantan Barat menarikan “Jubata” yang menyentak.

MELIHAT SARANG ORANGUTAN

Acara yang saya tunggu-tunggu adalah menjelajah Hutan Ketambe untuk melihat Orangutan di habitatnya. Saya ingin merasakan apa yang dirasakan Leonardo DiCaprio. Sayang jalur kami tidak sama dengan jalur Leonardo dan kawan-kawan.

Leonardo ke tempat khusus stasiun riset di seberang Sungai Alas. Sedangkan jalur kami arah sebaliknya, yaitu di atas bukit Hutan Lindung Ketambe. Ini jalur pendek tempat puluhan turis-asing dari berbagai negara setiap hari datang ke Ketambe.

ketambe

Turis asing dan pemandu di lokasi kemping di Hutan Ketambe. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Karena acara jelajah hutan dan arung jeram di Sungai Alas bersamaan, peserta disuruh memilih. Saya ikut dengan peserta jelajah hutan. Kami dibawa dengan angkutan umum ke jalan masuk tak jauh dari penginapan.

Karena peserta lebih 20 orang, Misdi yang memimpin tim pemandu membagi dua kelompok. Saya memilih kelompok yang dipandu Pak Ibrahim. Saya mendapat cerita tentang Pak Ibrahim yang digelari oleh peneliti dan aktivis lingkungan sebagai “profesor tanpa gelar”.

Konon Pak Ibrahim mengenal lebih seribu spesies tanaman dan ratusan spesies fauna di kawasan Leuser. Saya sangat beruntung meski hanya tiga jam di dalam hutan bersama Pak Ibrahim, tapi membuktikan ternyata cerita tentang lelaki 55 tahun itu bukan isapan jempol.

Pengetahuan Pak Ibrahim diawali ketika ia mendampingi peneliti asing di Ketambe pada 1986. Kegiatan itu berlanjut mendampingi banyak peneliti asing. Meski ia hanya tamat SD, ternyata ia menyerap banyak ilmu dari para peneliti tersebut sehingga ia menjadi “kamus berjalan” tentang kekayaan hutan di kawasan Leuser.

“Ini jejak babi hutan,” kata Pak Ibrahim menunjuk ke jalan yang baru kami masuki beberapa langkah.

Ia menjelaskan, selain babi hutan, di hutan tersebut masih ada badak, kijang, rusa, beruang madu, harimau, gajah, dan orangutan. Tapi lokasi gajah “mangkal” lebih jauh lagi di balik bukit yang ada datarannya.

“Bukti masih ada badak karena ada bekas pelintiran pohon kecil, itu hanya badak yang melakukannya sebagai teritori, juga bukti dari kamera trip di sini,” ujarnya.

Ternyata di jalur yang kami lewati ini sering terlihat harimau. Pemandu lain, Mahdan, menceritakan sudah empat kali bersua harimau, tapi tidak pernah mengganggu. Pertama ia bertemu harimau sedang memangsa babi hutan pada pukul 9 pagi. Terakhir ia bertemu harimau juga pukul 9 pagi bersama seekor anaknya pada 2017.

ketambe

Seekor Orangutan di habitat aslinya. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

“Saya membawa dua turis dari Swedia tracking sembilan hari, hari terakhir kami berjumpa seekor harimau dengan anaknya, jaraknya hanya 5 meter dari jalan, turisnya mengambil foto, tapi harimaunya tidak mengganggu kami, ia kemudian pergi dan kami juga pergi,” katanya.

Sekitar setengah jam tiba-tiba Mahdan setengah berbisik kepada kami memberitahukan ada Mawas. Mawas adalah nama lokal untuk Orangutan sumatra (Pongo pygmaeus abelii). Ternyata di lokasi itu sudah ada belasan turis asing bersama pemandu lokal mereka sedang menengok ke atas kayu besar yang rindang. Ada yang meneropong dan ada juga yang memotret.

Dari atas buah-buahan bekas makanan jatuh, mirip kepundung. Seekor Orangutan sebesar manusia dewasa terlihat sedang duduk di dahan. Tak jauh darinya terlihat seperti sarang burung berukuran raksasa dari susunan ranting. Itulah sarang Orangutan.

Puas melihat Orangutan kami melanjutkan perjalanan dan melewati sebatang pohon unik yang dari bawah seperti dua batang, tapi ternyata di atas adalah sebatang pohon. Pohon besar ini sering dijadikan lokasi berfoto oleh turis asing.

Pak Ibrahim mengatakan itu adalah pohon Ficus yang di Ketambe disebut Ramunggrembel, dalam Bahasa Aceh disebut Pohon Ara, dan Bahasa Indonesia-nya Rambung Merah. Usianya sekitar 70-80 tahun.

Ia menjelaskan juga perbedaan pohon meranti yang kami temukan di perjalanan. Ketika bertemu pohon gaharu kami mendapatkan kisah yang sangat menarik. Gaharu, kata Pak Ibrahim, memiliki teras yang tercipta dari bekas dahan yang lapuk. Teras tersebut digunakan untuk wangi-wangian, parfum, dupa, dan sejenis kemenyan. Harga untuk kualitas super 1 kg bisa Rp70 juta.

“Mencari gaharu dilarang karena orang akan merusak pohonnya,” katanya.

Pak Ibrahim menceritakan masih ada pemburu gaharu yang pergi ke hutan satu hingga dua bulan. Mereka sekaligus menjerat dan menembak burung, terutama rangkong. Inilah yang menyebabkan rangkong gading punah di Leuser karena diburu. Tinggal rangkong jenis lainnya.

ketabe

Pohon Ficus atau Pohon Ara tempat pengunjung biasa berfoto. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Kami sampai di lokasi kemping di pinggir sungai yang jernih. Saya dan Katerina meminum langsung air sungainya. Rasanya segar sekali.

Beberapa turis asing dan pemandu lokal terlihat beristirahat di depan tenda dari plastik.

Pulangnya kami memilih jalur sedikit mendaki dan sebelum keluar dari hutan, kami melihat beberapa Kedih, monyet berekor panjang dengan bulu putih dan hitam. Mereka lincah sekali.

Karinna mengacungkan pisang seakan di kebun binatang. Ia tentu bercanda melepas letih.

“Itu jauh sekali, Karinna, tidak mungkin mereka mendatangimu,” kata saya. (Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

TIPS KE KETAMBE

  • Rute terdekat ke Desa Ketambe di Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara dari Medan. Anda bisa menyewa mobil travel dari Bandara Internasional Kualanamu dengan tarif Rp280 ribu per orang dengan lama perjalanan 7-8 jam.
  • Di Ketambe ada 9 penginapan yang rata-rata memiliki 8-10 kamar dengan tarif per kamar Rp200 ribu per kamar. Ingin lebih murah bisa pesan via online Rp70 ribu sampai Rp100 ribu per malam di luar makan.
  • Di Ketambe banyak pemandu lokal yang tarifnya Rp250 ribu dan porter Rp150 ribu per hari.
  • Anda bisa mengikuti arung jeram di Sungai Alas dengan tarif Rp1,2 juta untuk kapasitas maksimal 6 orang. (*)

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

seniman
Cara Unik Empat Seniman Indonesia Mengatasi Krisis Sosial Ekologi
sawah art space
Slamet Diharjo Gunakan Sawahnya untuk Menyelamatkan Seni Tradisi
cok sawitri
Cok Sawitri Aktivis Bali yang Kritis Terhadap Krisis Air
adat
Gerakan Pulang Kampung SAS untuk Ketahanan Pangan
charles toto
Komunitas PJCC Kenalkan Kuliner Papua ke Kancah Dunia
lakoat kujawas
Pendekatan Warga Aktif, Komunitas Lakoat.Kujawas Bumikan Potensi Lokal