Diayun Ombak Surfing Mentawai

Diayun Ombak Surfing Mentawai

Ombak Roniki yang terkenal. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Lampiran Gambar

Ombak surfing Burgerworld di depan Pulau Roniki, Kepulauan Mentawai. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

KEPULAUAN Mentawai terkenal dengan ombaknya yang berkelas internasional. Setiap tahun sekitar 7 ribu peselancar datang ke sana. Tak ketinggalan para profesional yang ingin menjajal ombak terbaik. Seperti apa ombak itu, saya pun ingin merasakan, meski tidak dengan papan selancar.

Perahu kayu dengan mesin tempel yang membawa kami melesat mengarungi samudera meninggalkan Tuapeijat, Pulau Sipora, ibu kota Kepulauan Mentawai. Cuaca terlihat agak mendung.

Walaupun ombak mulai tinggi, perahu dengan dua mesin temple, masing-masing berdaya 40 PK sangat bisa diandalkan. Hanya saja kami delapan orang tak leluasa di dalamnya, duduk di atas kasur tipis bersesakan bersama barang bawaan. Perahu kayu ini diberi atap dan dinding agar penumpangnya tidak kepanasan dan kehujanan.

Sea Taksi, transportasi untuk tamu surfing di resort Mentawai. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Sea Taksi, transportasi untuk tamu surfing di resort Mentawai. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Saya berangkat dengan teman-teman satu fakultas dulu yang sekarang menjadi peneliti. Mereka akan meneliti potensi Pulau Roniki, pulau kecil di Pulau Siberut bagian barat daya.

Saya sudah lama ingin jalan-jalan ke pulau-pulau kecil itu, karena di sana adalah pusat surfing dengan titik ombak terbanyak di Mentawai. Ada 70 titik ombak berkategori internasional di Mentawai dan yang paling banyak berada di sekitar pulau-pulau kecil di Siberut barat daya, tempat yang kami tuju.

Hujan mulai turun, satu-satunya bagian perahu yang terbuka ditutup terpal plastik. Hanya Agus Safri, juru mudi bersama seorang pembantunya yang berada di buritan, berbalut baju pelindung hujan dengan mata tetap awas ke depan.

Perahu bermesin tempel untuk transportasi surfing di Mentawai.(Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Perahu bermesin tempel untuk transportasi surfing di Mentawai.(Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Sosoknya yang tenang menghadapi cuaca cukup membuat kami tenang. Ombak semakin tinggi saat perahu memasuki perairan terbuka di Selat Bunga Laut, antara Pulau Sipora dan Siberut, karena berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

Satu jam kemudian, ujung daratan Pulau Siberut di bagian utara mulai terlihat. Tetapi tempat yang kami tuju masih jauh, Pulau Roniki, pulau kecil yang terletak di ujung Siberut bagian selatan. Hujan sudah berhenti, dari jendela terlihat pulau-pulau kecil yang berada di barat daya Pulau Siberut, mulai dari Pulau Karamajat, Pulau Mosokut, Pulau Botik, Pulau Nyang-Nyang, dan Pulau Silaoinak.

Di pulau-pulau kecil itu terlihat resort yang dikelola orang asing. Beberapa peselancar tampak bersantai di depan resort, belum telihat seorang pun yang bermain ombak di laut. Mungkin karena pada bulan Oktober lalu saat saya berkunjung ke sana adalah akhir dari musim ombak di Mentawai yang dimulai Maret hingga Oktober . Tidak banyak ombak lagi yang bisa ditunggangi papan selancar.

Penyelam meneliti terumbu karang di Pulau Roniki, Mentawai. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Penyelam meneliti terumbu karang di Pulau Roniki, Mentawai. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Di sekitar pulau-pulau kecil di Siberut barat daya ini terdapat  jenis ombak yang sudah dinamai di tempat ini dengan nama-nama yang asing seperti Burgerworlds, E-Bay, Pitstop Hill, Nipussi, Jon Kendi, dan Hideaway. Ombak-ombak itu masuk dalam kategori internasional.

Sejak awal 1993 Kepulauan Mentawai mulai dikenal sebagai salah satu lokasi surfing terbaik di dunia. Hingga saat ini dikunjungi sedikitnya tujuh ribu peselancar asing setiap tahun pada musim ombak.

PENGHUNI PULAU RONIKI

Akhirnya Pulau Roniki sudah terlihat di depan mata. Pulau kecil itu dipenuhi rimbunan pohon kelapa dengan pasir yang putih dikelilingi air laut yang biru kehijauan dengan ombak yang tenang. Mesin perahu dimatikan sebelum mendarat ke pantai. Pasirnya terasa lembut.

Sebagian tim kembali ke laut di depan pulau, bersiap menyelam meneliti ikan dan terumbu karang. Sebagian lagi tinggal di pulau menghitung potensi dan keragaman hayati di pantai.

Ombak Roniki yang terkenal. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Ombak Roniki yang terkenal. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Ternyata Pulau Roniki ini berpenghuni. Di balik rimbunnya pohon-pohon kelapa terlihat pondok-pondok kecil dari kayu. Seorang perempuan paruh baya terlihat sedang mencungkil daging kelapa. Kami berkenalan. Namanya Eti Sabag, warga Desa Taileleu di Siberut. Pagi hingga sore dia mengolah kopra di Roniki dan sore kembali ke Taileleu dengan sampan.

Ribuan pohon di Roniki adalah warisan turun-temurun yang didapat Eti dari orang tuanya. Kelapa ini dikelola banyak keluarga secara bergiliran. Eti Sabag, 50 tahun, sangat cekatan mencungkil daging kelapa tua yang putih dan tebal dengan pisau tajam di tangannya. Daging kelapa itu ia masukkan ke dalam keranjang rotan. Ratusan kelapa tua yang sudah dibelah teronggok di dekatnya.

Di tempat penyalaian terlihat tumpukan besar daging kelapa kering berwarna kecoklatan yang sudah menjadi kopra yang akan dibeli pedagang kopra yang datang dengan  kapal setiap bulan. Dalam sebulan Eti rata-rata menjual 300 kilogram kopra. Tapi Eti masih mengeluh.

“Kami di sini banyak utang, sering kami berutang kepada orang kapal yang membeli kopra, akhirnya saat menjual kopra, uang yang didapat tetap sedikit,” katanya.

Pasir putih dan ombak Roniki, Mentawai. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Pasir putih dan ombak Roniki, Mentawai. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Dua cangkang penyu hijau yang tergantung di dinding pondok kayu milik tetangga Eti menarik perhatian Harfiandri, teman seperjalanan saya, peneliti penyu yang juga kandidat doktor. Dia langsung mengukur panjang dan lebar cangkang penyu yang membuat Mikael Siriobak pemiliknya heran.

Mikael bercerita cangkang penyu paling besar yang berukuran satu meter ia dapat sebulan sebelumnya secara tak sengaja pada malam hari ada penyu yang mendarat di pantai yang tak jauh dari pondoknya. Penyu yang akan bertelur itu langsung ditangkap dan dibawa lima orang kerabatnya ke pondok Mikael. Penyu dibunuh, daging dan telur yang masih ada dalam tubuhnya dibagi-bagi.

Makan daging penyu sesuatu yang biasa di Mentawai. Dalam beberapa kali perjalanan ke Pulau Siberut, sangat sering saya melihat cangkang penyu yang digantung di uma, rumah tradisional di Mentawai untuk hiasan, terutama di daerah pesisir. Daging penyu wajib ada ketika mengadakan punen atau pesta adat membuat sampan baru, membuka ladang, mendirikan uma atau rumah tradisional, dan pengobatan.

Sedangkan untuk pesta perkawinan biasanya hanya menu tambahan pendamping  daging babi. Dalam setiap kali punen biasanya ditangkap 20 ekor penyu untuk disantap. Penyu terus ditangkap, walaupun sudah banyak kasus keracunan penyu yang memakan korban jiwa di sana.

Mikael juga tidak begitu mudah percaya saat Harfiandri menjelaskan bahaya makan penyu, karena penyu banyak mengandung racun arsenik dari pencemaran perairan yang berbahaya bagi manusia.

“Itu kalau pantangannya dilanggar, baru ada yang mati, tetapi kalau memakannya terlalu banyak, kepala saya juga jadi pusing,” kata Mikael.

Ia juga tidak percaya penyu akan habis.

“Mana mungkin habis, penyu selalu banyak datang ke sini dan mereka juga selalu bertelur,” katanya tertawa.

MENAIKI OMBAK BURGERWORLD

Kami beristirahat di naungan pohon kelapa, memakan bekal makan siang yang dibawa dari Tuapeijat. Mikael menyuguhkan kelapa muda yang airnya rasa minuman bersoda. Kami menjulukinya air kelapa rasa Sprite.

Siangnya kami mulai mengelilingi Pulau Roniki yang dimulai dari pantai timur ke arah utara. Pantai berpasur putih bersih dari sampah plastik, hanya ada potongan-potongan terumbu karang mati karena  hempasan ombak. Tunggul-tunggul kayu yang mati di sepanjang pantai juga menambah kealamian tempat ini.

Di bagian utara, pantainya ternyata penuh karang dan ombaknya lebih kuat. Menjelang sore ombaknya yang bergulung ke pantai semakin besar, di puncak-puncak gelombang itu terkadang timbul buih air seperti mahkota. Pulau Roniki seluas 64 hektare tak terkelilingi hari itu dan dilanjutkan keesokan harinya.

Hari kedua saya ikut tim selam. Perahu mesin membuang jangkar di tengah laut sekitar 500 meter dari Pulau Roniki. Satu persatu terjun ke dalam laut. Saya menunggu di perahu, sekali-kali ikut membantu melemparkan alat pengukur kecerahan air. Dua kali saya melihat penyu hijau yang sedang berenang dan muncul ke permukaan.

Laut sedang bergejolak, membuat perahu terombang-ambing. Saya duduk di buritan kapal, melihat dari kejauhan ombak tinggi yang memecah di pantai bagian tenggara Pulau Roniki.

“Sayang sekali tidak ada yang surfer, kalau mereka tahu pasti sudah bersenang-senang surfing di sini,” kata Agus, pengemudi perahu kami yang ternyata juga pemandu peselancar.

Ombak yang saya lihat itu tenyata bernama Burgerworld, ada yang memecah ke kiri dan ada yang memecah ke kanan. Ini ombak khusus di Pulau Roniki. Agus juga tidak tahu kenapa dinamai Burgerworld.

Namun menurutnya, ombak ini cukup berbahaya karena di bawahnya karang-karang tajam.

Ombak surfing Burgerworld di depan Pulau Roniki. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Ombak surfing Burgerworld di depan Pulau Roniki. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

“Saat belajar surfing dulu celana saya pernah tersangkut di batu karang di sana, kaki juga sudah beberapa kali tertusuk karang,” kata Agus.

Agus yang berasal dari Sagulubbek di Siberut bagian barat mulai belajar surfing dari turis Australia pada 2005 yang datang ke Mentawai dan memberinya papan surfing. Sejak itu dia menjadi pemandu yang mengantar peselancar asing dengan perahunya yang kami naiki kini.

Dia sudah menguasai berbagai lokasi titik ombak di Mentawai, bahkan mengaku punya ombak rahasia yang tidak diketahui peselancar lainnya.

“Pemain surfing itu gila-gila, bahkan pada malam hari, saat bulan purnama mereka juga berani main surfing, katanya di Mentawai ombak yang paling bagus, ada juga yang mengatakan nomor dua setelah Hawai,” kata Agus.

Tim selam tak lama berada di laut, karena keruhnya air akibat kuatnya arus. Hujan juga mulai turun.

Pantai berkarang di Pulau Roniki, Mentawai. (Foto; Febrianti/JurnalisTravel.com).

Pantai berkarang di Pulau Roniki, Mentawai. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

“Terumbu karangnya banyak yang patah, karena begitu tumbuh, langsung dihajar ombak yang sangat ganas di sini,” kata Samsuardi, peneliti terumbu karang sambil memperlihatkan karang yang patah kepada saya.

Akhirnya kami memutuskan mengelilingi Pulau Roniki dengan perahu setelah Agus mengangguk setuju dan yakin bisa menaklukkan ombak yang tinggi. Mesin perahu dihidupkan dan menyongsong ombak Burgerworld setinggi rumah.

Agus terlihat bekerja keras mengendalikan perahu melawan ayunan Burgerworld. Gulungan ombak dengan puncak-puncaknya yang putih seperti mahkota mengejar kami.

Saya menikmati momen saat dibawa perahu melayang di atas ombak Burgerworld yang menyerupai burger raksasa di tengah laut dan mulai paham mengapa banyak pecandu surfing jauh-jauh datang ke Mentawai untuk menikmati ombaknya. Ternyata mengasyikan. (Febrianti/JurnalisTravel.com)

Tulisan dan foto-foto ini adalah hak milik JurnalisTravel.com dan dilarang mengambil atau menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak di media lain tanpa izin. Jika Anda berminat pada tulisan dan foto bisa menghubungi redaksi@jurnalistravel.com untuk keterangan lebih lanjut. Kami sangat berterima kasih jika Anda menyukai tulisan dan foto untuk diketahui orang lain dengan menyebarkan tautan (link) ke situs ini. Kutipan paling banyak dua paragraf untuk pengantar tautan kami perbolehkan. (REDAKSI)

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

krisis air
Krisis Air di Empat Pulau Mentawai, Kenapa Bisa Terjadi?
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
Terancam Punah, Unand-Swara Owa Survei 6 Primata Endemik Mentawai
Terancam Punah, Unand-Swara Owa Survei 6 Primata Endemik Mentawai
Bertemu Primata Langka Siberut yang Paling Terancam di Dunia
Bertemu Primata Langka Siberut yang Paling Terancam di Dunia
Toek, Pangan Lokal Pulau Sipora yang Terancam Penebangan Hutan
Pangan Lokal Toek Terancam Penebangan Hutan
Mentawai
Arat Sabulungan dan Gempuran Agama di Mentawai