Oleh: Dian Pitaloka
DRUMBLEK suatu kreasi musik yang di-remix menggunakan alat tradisional dan barang bekas seperti blek (kaleng) sehingga menghasilkan suara yang khas dan bisa diiringi alat musik modern.
Kreasi musik baru ini cukup digemari di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, salah satunya di Kecamatan Cepogo. Sudah banyak kelompok pemuda membuat komunitas drumblek. Masyarakat pun cukup banyak yang tertarik menontonnya.
Untuk memenuhi dahaga penonton, komunitas drumblek pun sering menyelenggarakan pertunjukan.
Kehadiran drumblek ternyata mengalahkan drumband. Andy, ketua Drumblek Kupo, Cepogo mengatakan lebih populernya drumblek sebagai tontonan rakyat dibanding drumband, selain karena pemainnya seniman-seniman desa, juga karena alat-alat musik yang dimainkan adalah alat-alat tradisional yang dikenal di desa.
Drumblek, katanya, menarik bagi masyarakat karena menghadirkan sesuatu yang baru, yaitu kreasi dari alat-alat yang dikenal masyarakat.
“Dengan masih banyaknya alat musik tradisional maka kita me-remix alat drumband untuk drumblek,” kata Andy, 6 September 2020.
Kentongan adalah salah satu alat yang dipakai. Kemudian blek atau kaleng bekas biskuit atau cat.
“Kentongan memiliki suara yang bagus apabila dimainkan banyak orang, blek atau kaleng apabila dibunyikan dengan padu maka akan menghasilkan suara yang indah, maka kalian yang akan dengar itu berbeda dan menghasilkan suara yang khas,” kata Andy.
Andy meyakini ketenaran drumblek dari sisi alat musiknya yang bisa diiringi berbagai jenis alat musik dan bisa meng-cover semua lagu. Kesan unik muncul karena ditambah penari-penari yang mengiringinya.
Lagu yang sering dimainkan dalam acara drumblek adalah lagu dangdut, lagu jawa, dan lagu bernuansa Islam. Bahkan lagu bernuansa Islam yang membuat lebih menarik bagi penontonnya.
Feri, anggota drumblek mengatakan drumblek lebih menarik dari drumband dari segi alat karena lebih banyak variannya.
“Terus suara yang dihasilkan juga lebih unik, lebih banyak kreasinya dan lebih kreatif, bisa juga dikreasi dengan baju yang unik,” katanya, 6 September 2020.
Menurut Feri, drumblek tidak kalah tenar dari drumband karena memiliki kesan santai. Terlebih pemainnya bisa menggunakan baju yang unik, seperti pakaian kesenian topeng ireng. Hal itu membuat kesenian drumblek membuat kesan yang lain.
Drumblek mulai berkembang di wilayah Solo sebagai paduan atraksi mayoret drumband. Biasanya grup drumblek memainkan kesenian tersebut untuk mencari penghasilan dari pertunjukan tersebut.
Meski begitu, drumblek bukan menggantikan posisi drumband dalam mengiring lagu dalam suatu acara. Justru menjadi pelengkap, karena berbeda dari drumband yang menggunakan alat musik modern, drumblek melengkapinya dengan menggunakan alat musik tradisional.
Memang dalam acara resmi, pemerintah masih menggunakan drumband untuk mengiringi acara. Sedangkan drumblek lebih ke pertunjukan hiburan seni, karena dipadukan oleh seragam yang unik serta penari yang menggunakan kostum tradisi seperti kostum reog.
Pada Mei 2019 Dusun Tumang di Kecamatan Cepogo mengadakan perlombaaan seni, salah satu lomba drumblek. Lomba tersebut membuat drumblek menjadi semakin eksis dan aransemen lagu yang dihasilkan para peserta sangat menarik.
Beraneka alat musik, seperti angklung dan kentongan dimainkan peserta. Kreasi mereka terdengar khas dan enak didengar. Terlebih para pemainnya membawakannya dengan semangat menggambarkan isi lagu.
Kehadiran drumblek memang direspon dengan baik oleh warga dan mendapat tanggapan juga dari kepala desa. Terlebih drumblek ikut melestarikan alat musik tradisonal di tengah gempuran alat musik modern.
Drumblek juga pernah dijadikan ikon acara seni yang dipadukan dengan reog. Ketua Drumblak Cepogo Prasetya juga mengakui bahwa drumblek memiliki keunikan tersendiri dibanding drumband.
“Pertunjukan ini akan terus diselenggarakan untuk menimba minat anak muda dalam mencintai alat musik tradisional,” katanya. (Dian Pitaloka)
(Tulisan feature ini hasil Pelatihan Jurnalisme Warga yang diadakan The Samdhana Institute dengan peserta pemuda komunitas adat se-Indonesia dengan trainer Syofiardi Bachyul Jb secara online pada 31 Agustus -21 September 2020. Dian Pitaloka adalah anggota Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Cepago, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah).