Oleh: Febrianti
ENTAKAN kaki empat orang sikerei yang sedang muturuk (menari) terdengar keras di lantai papan khusus untuk menari di dalam uma. Mata mereka terpejam, tangan menari, dan mulut mengumandangkan urai atau lagu. Nyanyian itu terdengar magis memanggil roh para leluhur agar bergabung dalam pesta besar Puliaijat yang sedang berlangsung.
Seorang sikerei membawa piring seng berisi bunga-bunga dan daun yang berfungsi menarik roh leluhur agar mendekat. Ia terus bernyanyi seolah merasakan kehadiran roh dan menghiburnya agar tetap bertahan bersama mereka. Ritual pemanggilan roh kemudian selesai dalam satu entakan kaki terakhir yang keras.
Gendang gajeuma kemudian dipanaskan pada api tungku yang menyala di tengah uma agar kulit biawak menegang mengeluarkan suara yang nyaring. Cahaya api menyapu wajah orang-orang. Juga menerpa tubuh delapan ekor babi yang tergantung dengan kepala menghadap ke bawah di tiang-tiang uma. Babi-babi itu dibunuh sore tadi dengan cara ditusuk lehernya dengan bambu runcing.
Pesta besar Puliaijat berlangsung selama tiga hari tiga malam di Desa Matotonan untuk merayakan hari jadi desa pada pertengahan Agustus 2021. Matotonan terletak di hulu sungai Rereiket di Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai. Mereka menggelar Puliaijat untuk menghilangkan hal buruk dan mendatangkan hal baik.
Sejumlah ritual dilangsungkan selama Puliaijat dan semuanya adalah ritual dalam Arat Sabulungan, sebuah kepercayaan atau “agama lokal” di Mentawai yang percaya pada roh-roh yang masih dipegang teguh oleh orang-orang Mentawai di lembah Sarereiket seperti di Matotonan. Walaupun Arat Sabulungan secara resmi dilarang pemerintah pada 1954.
“Semua yang dilakukan dalam ritual Puliaijat itu, seperti paeruk sainak, lia gouk-gouk, pasibitbit, itu landasan semuanya adalah Arat Sabulungan, tidak bisa kami tinggalkan, itu adat Mentawai,” kata Suarno Saurei, 70 tahun, seorang sikerei senior.
Sikerei memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Selain sebagai penyembuh, sikerei juga menjalankan ritual adat karena dialah yang akan menjadi penghubung dengan roh.
SIKEREI DIHUKUM KERJA PAKSA
Suarno Saurei sudah mengalami pahit-getir menjadi sikerei. Seperti daerah lainnya di Kepulauan Mentawai, ritual sikerei yang menjadi bagian dari Arat Sabulungan pernah dilarang pemerintah dengan keras. Sikerei dihukum dan pemimpin suku atau sikebukat uma dihukum.
Ia masih mengingat kejadian saat polisi datang ke Matotonan dengan perahu lewat sungai Rereiket pada 1972. Polisi-polisi itu datang dengan senjata.
“Mereka menembakkan senapannya dari jauh, tentu kami takut semua, dan polisi itu semua orang Mentawai,” katanya.
Lalu polisi-polisi itu membakar peralatan sikerei dan peralatan ritual yang ada di dalam uma. Bahkan, juga membakar jejeneng, lonceng sikerei.
“Mereka bakar kalung, mereka gunting rambut pria yang memiliki rambut panjang. Rambut saya juga digunting. Mereka bakar tempat persembahan bakkat katsaila. Mereka bakar tengkorak hasil buruan. Semua alat dan perlengkapan sikerei mereka injak-injak dan hanguskan,” kata Suarno.
Tak sampai di situ, Suarno dan puluhan warga Matotonan, baik laki-laki maupun perempuan dibawa ke Muara Siberut, pusat Kecamatan Siberut Selatan. Mereka dihukum karena masih melakukan acara pesta adat dan mengobati warga yang sakit secara tradisional dan juga dihukum karena punya tato Mentawai.
Ia dan sikerei lainnya beserta istri-istri mereka pergi ke Muara Siberut dengan mendayung sampan sendiri selama dua hari perjalanan. Bahan makanan untuk bekal selama ditahan juga mereka bawa sendiri, seperti pisang, keladi, dan sagu. Yang menyedihkan, selama sebulan mereka dihukum kerja paksa.
“Setiap hari kami harus menebang pohon bakau untuk bangunan, sedangkan para perempuan dihukum bekerja membersihkan jalan,” kata Suarno.
Pelarangan dan hukuman seperti itu membuat banyak sikerai tak lagi berani melakukan ritual secara terbuka. Bahkan, tidak berani melanjutkan menato tubuh meski itu identitas seorang Mentawai.
Tetapi, beberapa sikerei secara diam-diam masih melakukan ritual pengobatan, terutama di uma-uma yang jauh di hulu sungai dan sulit dikontrol polisi yang berkantor di Muara Siberut.
Sebenarnya waktu itu Suarno dan banyak warga di Matotonan sudah memeluk agama Bahai. Saat kecil ia ikut sekolah yang didirikan penyiar Bahai di Matotonan dan diajar membaca dan menulis. Nama Suarno ia dapat dari gurunya asal Jawa yang mengajar di sekolah yang didirikan penyiar Bahai di Matotonan.
Namun, setelah Bahai dilarang, Suarno beralih memeluk Islam seperti warga lainnya.
“Walau sudah ada agama, tapi Arat Sabulungan tetap kami dulukan, agama yang datang harus mengikuti adat, kalau tidak roh-roh bisa marah kepada kita,” katanya.
Di Matotonan mayoritas masyarakatnya sekarang sudah memeluk Islam, sebagian kecil Katolik. Tapi, adat Mentawai yang berpijak pada Arat Sabulungan juga masih dipeluk dengan erat. Tak hanya ritual yang percaya kepada roh-roh, tetapi juga keharusan ada babi sebagai persembahan dan dihidangkan saat pesta.
Dalam pesta Puliaijat di Matotonan, selain menyediakan 20 ekor babi untuk ritual, pada hari ketiga panitia juga menyediakan seekor sapi untuk warga yang tidak mau memakan babi. Kehadiran sapi adalah bentuk pembaruan dalam tradisi Mentawai.
“Kalau tidak ada sainak (babi), itu tidak punen. Jadi, babi sangat penting dalam kehidupan kami di sini. Semua punya babi. Apa-apa harus dibayar dengan babi: untuk punen, untuk alak toga (mas kawin), untuk pengobatan itu semua dibayar dengan sainak,” kata Suarno.
Pendapat Suarno sama dengan pendapat sebagian besar sikerei yang sudah memeluk Islam di Matotonan.
“Saya masuk Islam dulu karena ustad membangun masjid yang besar di sini. Kata ustad, untuk apa masjid besar hanya ustad seorang, tidak ada yang menemani, akhirnya saya masuk Islam,” kata Aman Alangi Kunen, sikerei berusia 55 tahun.
Meski begitu, menurutnya adat Mentawai harus tetap dijalankan dan agama harus mengikutinya.
“Sebagai sikerei, tidak mungkin tidak makan sainak (babi), kalau anak saya, ya tergantung dia. Dia sudah sekolah, kalau dia sudah dekat dengan agama, ya tidak apa-apa. Kalau tidak mau makan babi lagi atau kalau mau makan babi, juga tidak apa-apa. Kalau dia tidak mau lagi sekolah akan saya suruh menjadi sikerei,” katanya.
Hariadi Sabulat, sikerei lainnya, mengatakan kepercayaan Arat Sabulungan dan agama tidak bertentangan.
“Arat Sabulungan itu budaya kami, agama saya juga Islam, tapi ada larangan makan babi, tidak bisa saya ikuti. Kami harus ikut budaya kami,” kata Hariadi Sabulat yang pernah dua periode, dari 1980 hingga 1992, menjadi kepala desa di Matotonan.
Sebelumnya, ia beragama Katolik, seperti kedua orang tuanya. Tapi, saat masih sekolah di asrama pastoran di Muara Siberut, ia bertengkar dengan guru Katolik. Lalu, ia kembali ke Matotonan dan memutuskan masuk Islam.
Kini ia mulai mengkhawatirkan yang akan meneruskan budaya Mentawai jika para sikerei yang ada sekarang sudah tidak ada lagi. Apalagi, anak muda di Matotonan sudah banyak yang sekolah dan jadi sarjana jauh dari kampung halamannya.
“Pengetahuan budaya mereka tetap ada, tapi saya rasa sudah berkurang karena budaya itu tidak lagi dijalankan. Seperti pemuda di sini, memang dia mengikuti, tapi untuk menjalankan semua ritual punen ini sama sekali tidak bisa,” kata Hariadi.
Sabarial, pemuda Matotonan 33 tahun mengatakan walaupun ia anak seorang sikerei, ia tidak paham lagi menjalankan kegiatan ritual Arat Sabulungan yang dilakukan sikerei, karena sejak usia 7 tahun ia sudah keluar dari Matotonan. Saat itu pada 1995 ia dibawa bersama anak-anak dari Matotonan lainnya untuk sekolah di Padang.
“Waktu pertama kali ke Padang dari Siberut kapal yang kami tumpangi mengalami kebocoran dan mati mesin di tengah laut, kami mengapung di tengah laut waktu itu tiga malam,” kata Sabarial.
Sampai di Padang ia dimasukkan ke panti asuhan anak Mentawai dan masuk sekolah dasar selama beberapa minggu. Setelah itu dibawa ke Jakarta masuk Pesantren As-syafi'iyah. Tapi, pada 2000 ia kembali ke Siberut.
“Saya mendengar kabar adik ketiga saya meninggal dunia dan saya ngotot minta pulang ke Mentawai, akhirnya, dipulangkan,” kata Sabarial.
Kini Sabarial menjadi jurnalis media lokal di Tuapeijat, Pulau Sipora, ibu kota Kabupaten Kepulauan Mentawai.
“Walau saya tidak paham lagi menjalankan ritual budaya, namun budaya Mentawai tetap harus dipertahankan,” katanya.
PERUBAHAN GENERASI
Antropolog Mentawai Juniator Tulius mengatakan Desa Matotonan, Saliguma, Sigappokna, dan Simalegi pernah menjadi “ladang” islamisasi pada 1980-an, 1990-an, dan 2000-an.
“Banyak anak muda dibawa ke Padang untuk masuk ke pesantren dan panti asuhan,” kata doktor Universitas Leiden tersebut.
Generasi-generasi yang lahir pada 1980-an dan 1990-an, jelasnya, mengikuti jejak senior mereka untuk mendapatkan pendidikan dan fasilitas gratis. Dukungan dana dari Dakwah Islamiyah membuat Matotonan makin terdepan dan terbangunnya Islamic Centre di Maileppet menjadikan proses itu semakin kuat sehingga masyarakat di daerah Rereiket berubah pindah kepada agama Islam.
Hal itu, katanya, bersamaan dengan melemahnya misi Katolik membantu masyarakat dan Gereja Protestan juga sekadar layanan keagamaan.
“Bantuan pangan dan sandang tidak menjadi prioritas untuk menggenggam jemaat gereja sehingga banyak orang Mentawai yang semula Protestan dan Katolik beralih ke Islam,” ujarnya.
Contoh dari anak muda yang sudah menjadi sarjana karena bantuan dari Dakwah Islamiyah, katanya, membuat generasi baru memutuskan masuk Islam. Generasi muda yang sudah menjadi sarjana itu menjadi pengarah buat generasi baru.
“Orang-orang tua mereka mungkin juga ada yang memeluk Islam, tetapi sekadarnya. Artinya, mereka, para orang tua itu menganut Islam sekadar di KTP dan juga agar dapat menerima bantuan saat Idul Fitri,” katanya.
Kalau mereka kembali ke kampung, apalagi ke kandang babi untuk memelihara babi, mereka kembali memakan babi dan menjalankan ritual Mentawai. Pada 1980-an dan 1990-an, kata Tulius, pernah ada istilah, “Islam Matotonan”, yang artinya berislam saat hari raya dan kembali memakan babi saat di kampung.
Menurut Tulius, dulu agama Islam diterima masyarakat, tetapi peranan orang tua mereka masih kuat sehingga adat masih bertahan. Namun, dalam 20 tahun sampai 30 tahun terakhir cerita sudah lain.
“Generasi tua walaupun masih cukup dominan, generasi muda sedang naik daun, dan mendominasi kehidupan sosial di Matotonan. Mereka tidak tertarik lagi menjalani kehidupan tradisional,” ujarnya.
Generasi muda tersebut, kata Tulius, cukup tertarik dengan kulit luar saja, seperti memakai pakaian adat yang dimodifikasi, memakai ngalou dan atribut kebudayaan lainnya sejauh tidak bertentangan dengan agama Islam.
Hanya saja, tambahnya, upacara perkawinan suatu saat nanti akan lebih Islami daripada pangurei, pernikahan Mentawai.
“Saat satu generasi tua berlalu, generasi baru membentuk corak kebudayaan baru, kita akan melihat kebudayaan Mentawai yang dimodifikasi, ritual-ritual akan berkurang, akan juga berkurang generasi muda yang menjadi sikerei, dan generasi muda juga tidak akan bertato,” katanya.
Obing Katubi, peneliti utama dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan budaya Mentawai di Matotonan akan tetap ada selama masih ada sikerei. Dalam pandangannya, sikerei adalah pemeran sentral berjalannya tradisi. Tanpa sikerei, tradisi mereka tidak akan berjalan.
“Sepanjang masih ada generasi yang mau menjadi sikerei, masih memungkinkan budaya Mentawai bertahan. Tapi, kalau upaya regenerasi sikerei itu terhenti, tradisi mereka akan punah,” kata Obing yang juga sedang melakukan penelitian di Matotonan.
Menurut Obing Katubi, di Matotonan meskipun mayoritas masyarakatnya menganut Islam, setidaknya hingga kini mereka, generasi yang berusia di atas 50 tahunan, adalah penganut Islam yang berdiri di dua kaki atau “in between.”
“Artinya, pada satu sisi memang mereka adalah “orang Islam”, tapi pada sisi lain mereka tetap berpijak pada tradisi mereka, seperti yang kita lihat dalam berbagai upacara adat. Tapi, perlu saya kemukakan bahwa itu hanya berlaku pada generasi 50 tahunan ke atas. Ada perbedaan cara pandang dalam melihat agama dalam tradisi bagi generasi 50 tahunan ke atas dengan generasi 50 tahunan ke bawah,” katanya.
Apakah budaya mereka tetap akan bertahan? Menurut Obing, semua bergantung pada ada-tidaknya transmisi budaya dari mereka kepada generasi selanjutnya. Kalau transmisinya tidak ada maka tradisi mereka akan punah dan juga tidak ada lagi yang menjalankan Arat Sabulungan.
“Sebenarnya, kekhawatiran dari beberapa sikerei tentang punahnya tradisi mereka sangat beralasan. Kita bisa melihat bahwa para sikerei yang ada pada saat ini semua nyaris berusia 60 tahun ke atas. Artinya, dua generasi di bawahnya sudah tidak ada lagi yang menjadi sikerei dan juga tidak memahami dengan baik tradisi mereka. Maksudnya memahami dengan baik adalah bisa menjalankan dan memaknainya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Obing Katubi menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena banyak di antara anak-anak muda Matotonan sejak kecil “dicabut dari akarnya.” Para orang tua melepaskan anak-anak mereka sejak kecil untuk “dibawa” ke Padang atau ke tempat lain demi mendapatkan pendidikan yang layak dan berharap masa depan mereka akan membaik.
“Itu terpaksa dilakukannya karena keterbatasan infrastruktur pendidikan dan infrastuktur lain di Matotonan serta keterbatasan ekonomi,” katanya.
Berharap untuk masa depan yang lebih baik, kata Obing, bukanlah hal yang salah. Itu memberi pengalaman berharga bahwa menjamin kehidupan masa depan yang lebih baik tanpa harus mencabut mereka dari “akarnya” adalah hal mendasar yang harus dipikirkan.
“Kita tidak bisa mengharapkan mereka tetap mempertahankan tradisinya, tetapi tidak memperhatikan kehidupan mereka agar menjadi lebih layak. Apalagi, mereka sudah didera trauma masa lalu karena upayanya mempertahankan tradisi mereka seperti tato, rambut, “agama lokal” Arat Sabulungan, dan sebagainya,” ujarnya.
Menurut Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet Arat Sabulungan pada masyarakat di Matotonan lebih mengental dari agama yang datang dari luar.
“Dari dulu strategi yang dipakai dalam suku di Mentawai itu adalah ‘ambigu’, agama jalan, adat juga jalan, ini yang membuat budaya Mentawai tidak hilang di tengah banyaknya penyiar agama yang masuk dari luar ke Mentawai, semakin digempur budayanya, adat mereka itu semakin kuat,” kata Yudas yang berasal dari Desa Madobak, masih di kawasan budaya Sarereiket.
Apakah ada kemungkinan orang Mentawai mengajukan “Arat Sabulungan” sebagai aliran kepercayaan yang diakui secara resmi?
Menurut Yudas, walaupun sudah terbuka peluang, namun belum ada komunitas masyarakat yang ingin mengajukannya.
“Sampai saat sekarang belum ada yang menginginkan Arat Sabulungan sebagai pengganti agama,” katanya.
Namun di Butui, sebuah dusun di bagian hilir Matotonan, seorang sikerei tertarik untuk kembali ke Arat Sabulungan.
“Kalau pemerintah mau mengurus itu, saya mau agama saya kembali ke Arat Sabulungan, karena itu sesuai dengan seorang sikerei seperti saya,” kata Aman Lepon Salakkirat, sikerei di Butui.
Selama ini Aman Lepon merasa campur tangan pemerintah mendominasi kehidupan tradisional mereka. Itu dimulai pada 2010 ketika pemerintah membuat perumahan sosial di Butui dengan membangun rumah-rumah kecil untuk warga di sekitar uma. Di sana mereka tidak lagi diperbolehkan beternak babi, karena dianggap mengganggu tanaman penduduk. Padahal sebelum ada perumahan tersebut, keluarganya memelihara ratusan babi.
Sejak ada perumahan sosial tersebut keluarganya harus memindahkan ternak babinya jauh dari pemukman. Jika tidak pemiliknya akan didenda.
“Setelah peternakan itu dipindahkan, tempatnya tidak cocok, banyak babi yang mati, sekarang hidup kami lebih sulit, apalagi di masa pandemi ini. Untuk makan lebih banyak berburu monyet, babi hutan, dan rusa ke hutan, padahal dulu kami punya ratusan ekor babi,” kata Aman Lepon, 7 Oktober 2021.
Sebelum kampung itu menjadi proyek perumahan sosial, sebuah gereja stasi Katolik berdiri di sana. Sejak proyek perumahan sosial, Islamisasi juga dimulai, sehingga selain ada yang beragama Katolik, sebagian penduduk juga menganut Islam. Sebuah masjid dan pesantren juga berdiri di kampung yang berpenduduk 87 keluarga tersebut. (Febrianti/ JurnalisTravel.com)
Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.