Tradisi Compo, Menyematkan Keris Ketika Dikhitan

NTB

Menjelang dikhitan keris itu diselipkan ke pinggan si anak. (Foto: Muhammad Nuryadin)

Oleh: Muhammad Nuryadin

ADAT “compo sampari” atau penyematan keris merupakan salah satu budaya masyarakat Suku Mbojo di Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Kabupaten Dompu di Nusa Tenggara Barat. Kegiatan tersebut diperuntukkan bagi anak laki-laki yang akan dikhitan atau disunat.

Apabila anak laki-laki suku Mbojo sudah dikhitan, maka tidak lama lagi dia akan memasuki usia remaja. Itu usia yang kepadanya akan diberlakukan aturan atau norma sebagai seorang lelaki yang berlaku pada masyarakat sesuai syariat Islam.

NTB

Keris diselipkan ke pinggang si anak sebagai tanda memasuki dunia orang dewasa. (Foto: Muhammad Nuryadin)

Oleh masyarakat suku Mbojo, compo sampari merupakan kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun sebagai simbol untuk mengajarkan kepada seorang anak laki-laki tentang nilai-nilai ksatria bahwa dia harus kuat.

Biasanya anak laki-laki yang menjalankan tradisi ini berusia sekitar 9-10 tahun, usia ketika ia harus disunat sebagai seorang laki-laki muslim.

Ketika tradisi tersebut diselenggarakan biasanya diiringi dengan musik khas yang dimainkan menggunakan alat musik tradisional Dompu, serta salawat yang dilantunkan oleh para sesepuh desa.

M. Saleh, tokoh agama di Desa Adu mengatakan bahwa upacara compo sampari atau pemasangan keris (memakaikan keris) kepada anak laki-laki yang akan di-“suna ro ndoso”. Kegiatan dipimpin oleh seorang tokoh adat, diawali dengan pembacaan doa, disusul dengan membaca salawat Nabi.

NTB

Menjelang dikhitan keris itu diselipkan ke pinggan si anak. (Foto: Muhammad Nuryadin)

“Upacara tersebut digelar sebagai peringatan bahwa dia sebagai anak laki-laki harus memiliki kekuatan dan keberanian yang dilambangkan dengan sampari atau keris,” katanya.

Setelah semua upacara adat selesai dilaksanakan, maka akan dilaksanakan acara inti, yaitu acara khitanan. Khitanan dilaksanakan sore hari, dihadiri oleh pejabat “sara hukum”, yaitu gelara (gelarang) dan lebe (penghulu), para ulama, dan tokoh adat. Selain itu juga sanak keluarga anak yang dikhitan.

Pengkhitanan dilakukan “guru suna” (guru sunat), yaitu seorang tokoh adat yang ahli sunat. Seiring kemajuan teknologi, di era modern ini penyunatan dilakukan petugas kesehatan.

Memakai keris bagi kaum laki-laki Suku Mbojo pada saat menjelang khitan atau sunat bertujuan menanamkan perilaku yang mencerminkan keperkasaan, keuletan, dan keberanian.

Keris merupakan lambang harga diri bagi masyarakat Bima dan Dompu yang digunakan dalam aktivitas keseharian secara positif untuk menunjang segala pekerjaan. Prosesi compo sampari dilakukan oleh tokoh adat, pejabat pemerintahan, atau orang tua kepada si anak agar dapat diteladani.

Kelak setelah si anak dewasa akan menjadi seorang  kesatria yang harus berani menantang segala cobaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai integritas dalam kehidupan bermasyarakat.

NTB

Sebagai anak laki-laki dia harus memiliki kekuatan dan keberanian. (Foto: Muhammad Nuryadin)

Ritual compo sampari diawali dengan acara zikir dan doa, kemudian keris diarahkan mengelilingi tubuh anak yang dikhitan sebanyak tiga kali atau tujuh kali sambil bersalawat kepada Nabi Muhammad Saw.

Kemudian keris disematkan di pinggang bagian kiri si anak yang akan dikhitan. Proses penyematan keris dilakukan dengan cara berdiri dan saling berhadapan antara anak yang dikhitan dengan orang yang akan menyematkan keris.

Usai menyematkan keris acara ditutup dengan salawat Nabi dan "Maka", yakni gerakan hentakan kaki ke bumi sambil mengacungkan keris.

Compo sampari dilakukan oleh orang-orang yang dihormati seperti pemuka agama. Sebelum compo sampari dilakukan ucapan salawat kepada Rasulullah sebanyak tiga kali. Sedangkan keris itu diarahkan mengelilingi tubuh anak sebelum disarungkan pada pinggangnya.

Setelah itu si anak dibawa ke ruang khitan dengan menggunakan sarung. Biasanya sarung yang digunakan berwarna kuning untuk menanti pelaksanaan khitan. Prosesi compo sampari dilaksanakan sehari sebelum anak tersebut disunat.

NTB

Prosesi compo sampari dilakukan oleh tokoh adat dan lalinnya. (Foto: Muhammad Nuryadin)

Pada saat prosesi compo campari berlangsung akan ada sebuah sesajian yang sudah disediakan. Sesajian ini diperuntukan bagi anak laki-laki yang akan disunat. Apabila sesajian tersebut dianggap kurang maka akan ada seseorang dari warga yang mengalami kesurupan karena kurangnya sesajian tersebut. Ini disebut “kura soji”.

Orang yang mengalami kesurupan tersebut akan memberitahukan apa saja kekurangan dari sesajian yang disediakan. Sesajian yang kurang tersebut nantinya harus segera dilengkapi untuk menghindarkan hal buruk yang mungkin saja terjadi selama proses pengkhitanan.

Sesajian yang telah disediakan akan dibawa pulang oleh dukun ataupun oleh orang yang mengkhitankan anak tersebut. (Muhammad Nuryadin)

 (Tulisan feature ini hasil Pelatihan Jurnalisme Warga yang diadakan The Samdhana Institute dengan peserta pemuda komunitas adat se-Indonesia dengan trainer Syofiardi Bachyul Jb secara online pada 31 Agustus -21 September 2020. Muhammad Nuryadin adalah aktivis Lembaga Baranusa di Dompu, Nusa Tenggara Barat).

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

Banjir
Banjir Lebih Sebulan Melanda Dataran Tinggi Kerinci
krisis air
Krisis Air di Empat Pulau Mentawai, Kenapa Bisa Terjadi?
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
Terancam Punah, Unand-Swara Owa Survei 6 Primata Endemik Mentawai
Terancam Punah, Unand-Swara Owa Survei 6 Primata Endemik Mentawai
Hutan Nagari
Hutan Adat Nagari Ampalu Masih Menunggu Perda Kabupaten
Kisah Kopi Londo di Nagari Sirukam
Kisah Kopi Londo di Nagari Sirukam