Tanpa Sinyal di Lembah Tilir

sinyal ponsel

Gantung khusus untuk ponsel di dinding yang bisa menjangkau sinyal. (Foto: Markus Makur)

Lembah Tilir alamnya hijau, hening, dan teduh. Di sekelilingnya diapit hutan. Lembah Tilir sebuah kampung di Desa Benteng Riwu.

Tapi di balik keindahan alamnya, kampung yang terletak Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) tersebut tanpa sinyal telepon seluler.

Jika warga di sana ingin berkomunikasi lewat ponsel, mereka terpaksa pergi ke beberapa bukit untuk mencari sinyal.

Terkadang mereka membutuhkan komunikasi dengan keluarga di rantau atau anak-anak yang sedang menuntut ilmu di luar kampung.

Meski sudah sampai di bukit yang biasanya dapat sinyal, ponsel mereka tak serta merta menangkap sinyal. Seringkali mereka harus berjam-jam duduk di bukit tersebut untuk menunggu sinyal menghampiri ponsel mereka.

Atau cara lain, mereka menaruh ponsel di dinding rumah, mana tahu tiba-tiba ponsel mereka dihampiri sinyal. Itu memang terkadang bisa terjadi dalam 24 jam.

Suasana di lembah Tilir benar-benar tenang. Jauh dari keramaian. Lembah itu dihibur suara burung.

Karena itu, Lembah Tilir sangat cocok untuk tempat ‘beret-ret’ bagi siapa saja yang ingin mencari ketenangan hidup. Mencari inspirasi baru. Merenungkan segala kepenatan hidup. Apalagi di tengah pandemi Covid-19.

Setiap pagi dan sore, warga di lembah itu mendengarkan suara burung serta melihat kemolekan warna sayap burung yang melintasi langit atau bertengger di dahan.

Bukan hanya hutan yang ada di sekitar lembah, juga ribuan pohon kopi arabika. Kopi arabika sebagai penopang ekonomi keluarga di sana, selain padi. Namun panen kopi hanya sekali setahun, sedangkan panen padi dua kali setahun.

Sembilan puluh lima persen, warga di kampung lembah Tilir hidup dari bertani. Kopi dan padi pertanian utama mereka. Hasil penjualannya ditata dengan baik untuk memenuhi keperluan keluarga, termasuk membiayai pendidikan anak-anak.

Menuju Lembah Tilir

Saya dibonceng Ambrosius Adir menuju Kampung Lembah Tilir untuk melakukan tugas liputan di pelosok Manggarai Timur pada 20 November 2020.

Saya mendapat informasi ada sejumlah kampung di pedalaman Manggarai Timur sulit mendapatkan sinyal ponsel dengan baik dan merata.

sinyal ponsel

Di perbukitan yang lebih tinggi ponsel bisa mendapatkan sinyal. (Foto: Markus Makur)

Lokasi yang saya pilih adalah Kampung Lembah Tilir. Di Lembah itu ada kaum perempuan yang gigih dan penuh semangat dalam menata, mengelola, dan mengolah lahan tandus dengan menanam dengan berbagai jenis tanaman holtikultura.

Awalnya saya mendengar informasi dari seorang pastor yang menjadi pastor paroki di sana tentang aktivitas ketiga perempuan.

Hari itu saya berangkat pukul 17.00 WITa dan tiba setelah dua jam perjalanan. Kami melintasi jalan berlubang dan rusak parah.

Di kampung itu memang ada sebuah paroki, yaitu Paroki Santo Robertus Bellarminus Tilir. Paroki itu dirintis misionaris ordo Serikat Sabda Allah. Ordo ini milik Gereja Katolik.

Setiba di kampung tersebut kami tidur di pastoran. Saat tiba, Pastor Paroki, Romo Firminus Rusmiadin menginformasikan bahwa di kawasan lembah itu sangat susah sinyal telepon. Jadi ponsel disimpan saja. Namun, apabila ingin mencari sinyal harus berjalan kaki menuju di beberapa perbukitan di sekitar.

Benar juga, ponsel android yang kami bawa hanya bisa untuk main game. Di balik itu, kami merasakan ketenangan dengan tidak membuka ponsel serta berbagai informasi yang berseliweran di media online, facebook, atau WhatsApp.

Benar-benar tenang. Kami tidak mengutak-atik ponsel untuk berselancar berbagai informasi di media online serta pesan dari teman-teman.

Kopi Arabika Pahit

Setelah bertukar kabar dengan Romo Ferry, sapaan akrab Romo Firminus Rusmiadin, kami disuguhi minuman kopi arabika. Kopi hasil dari berbagai perkebunan paroki maupun perkebunan masyarakat di sekitar.

Kebiasaan masyarakat Kampung Lembah Tilir adalah meminum kopi pahit. Kopi tanpa gula. Kebiasaan yang diwariskan oleh leluhur orang Tilir tetap dipegang teguh di tengah maraknya penjualan gula pasir.

Di sela minum kopi, kami mendengarkan kisah pastor menggerakan kaum perempuan untuk mengelola, mengolah, dan menata lahan tidur yang sebelumnya tandus seluas satu hektare untuk ditanami sayuran organik.

Awalnya pastor berjalan-jalan di sekeliling lahan paroki. Ia melihat tumbuhan kopi sangat subur. Tapi, di samping itu ada lahan tidur yang penuh dengan semak belukar, ilalang, dan  rerumputan.

Setelah kembali ke pastoran, tempat tinggalnya ia tidak tenang. Lalu ia mengambil keputusan dalam hatinya agar lahan itu bisa dikelola untuk menghasilkan uang bagi pendapatan paroki maupun umat di sekitarnya.

Keputusan itu ia bawa dalam doa agar diberi jalan oleh pemilik alam untuk dikelola dengan baik.

Keputusan pribadi serta niat dalam hatinya itu disampaikan saat rapat Dewan Pastoral. Ternyata, pengurus Dewan Pastoral di paroki setuju dengan idenya.

Obrolan kami malam itu diakhiri makan malam bersama. Lalu kami beristirahat dan tertidur pulas karena capek setelah perjalanan jauh dengan tantangan medan yang berat.

sinyal ponsel

Tidak seperti di kota, di kampung terpencil di Manggarai Timur sinyal ponsel langka. (Foto: Markus Makur)

Esoknya, Sabtu, kami meliput aktivitas tiga srikandi yang mengelola lahan paroki dengan pertanian organik. Selesai meliput kami pulang ke Kota Borong, ibukota Kabupaten Manggarai Timur yang berjarak 50 km.

Kami pulang tidak melewati jalan ketika datang. Kami melewati jalan baru. Tapi jalannya naik-turun dan cukup bagus, meski ada ruas yang rusak, terkelupas dan berlubang. Lumayan licin karena sedang musim hujan.

Kami melewati sejumlah kampung yang berada di kiri dan kanan jalan. Ada nama kampung Tanjung dengan pemandangan persawahan di lereng-lereng bukit. Pemandangan yang indah membuat kami berhenti untuk memotret dengan ponsel.

Kami meneruskan perjalanan menurun hingga tiba di Kampung Jong, Desa Benteng Raja, Kecamatan Borong. Kami sempat mampir di Gereja Kapel Jong pamit padaPastor Paroki Tilir yang sedang melakukan pelayanan bagi umat di stasi jong tersebut.

Selama di Lembah Ilir kami benar-benar merasakan kesulitan dengan sinyal yang sangat terbatas.

Imelda Jemamut menceritakan ia selalu menyimpan ponsel di dinding rumahnya untuk menerima pesan singkat dari keluarganya di Kota Borong maupun dari keluarga jauh. Sepanjang hari ponsel ia taruh di dinding, tapi seringkali SMS dari keluarga diterimanya sekali dalam dua hari.

“Jika saya mau kontak keluarga, maka saya harus pergi ke bukit yang ada sinyalnya, saya memakai HP hanya untuk telepon dan terima pesan singkat dari keluarga,” ujarnya.

Ambrosius Adir, wartawan di Manggarai Timur memilih menyimpan ponselnya di dalam tas selama di Lembah Tilir. Sebab tidak ada jaringan telekomunikasi.

Ia memilih menikmati suasana kesejukan alam di kampung itu dan di sekitar pastoran tempat kami menginap.

“Untuk telepon saja susah, apalagi untuk membuka internet,” ujarnya.

Romo Firminus Rusmiadin jika ingin mencari sinyal berjalan kaki ke perbukitan di sekitar perkampungan. Ketika pulang patroli dari stasi-stasi di wilayah itu, ia beristirahat sejenak di perbukitan untuk melihat pesan singkat dan pesan WhatsApp dari sesame rekan imam.

“Kampung Lembah Tilir sangat cocok untuk tempat menyepi, ‘berret-ret’ karena didukung suasana serta alam di sekitarnya. Saya menikmati keterbatasan sinyal di wilayah paroki ini,” katanya.

Perjuangan Wartawan di Tengah Pandemi

Perjuangan wartawan di pinggiran Indonesia seperti NTT, lebih khusus lagi di Kabupaten Manggarai Timur, tidak gambang. Tantangan tidak sedikit. Kesulitan untuk menemui narasumber yang tinggal di pelosok membutuhkan energi yang lebih.

sinyal ponsel

Beginilah kondisi saya jika ingin melihat pesan masuk atau menikmati berita di andoid, haru smenghadap dinding. (Foto: Dok. Markus Makur)

Tentu menguras tenaga. Itu pasti. Lelah mencari keseharian dalam tubuh yang rapuh. Namun, manusia, seperti wartawan, harus tetap bekerja demi pendapatan ekonomi keluarga. Hanya pengalaman yang banyak. Namun, pengalaman itu tidak dituangkan dalam hasil liputan.

Karena kerangka kerja jurnalis sesuai dengan standar-standar media di mana ia bekerja. Yang ada hanya kepuasan batin. Kebanggaan dalam diri. Kadang-kadang juga tidak diakui. Dicibir. Dikritik.

Kadang-kadang di benak seorang wartawan, apakah hasil liputan itu dibaca dan membawa perubahan bagi kemajuan suatu daerah. Itu urusan lain. Yang terpenting berbuat sesuatu demi kemajuan bangsa Indonesia dan daerah di mana wartawan itu mengabdi.

Di tengah pandemi Covid-19 ini, wartawan yang mengabdi di pinggiran Indonesia juga terdampak pandemi dengan membatasi liputan di lapangan. Ekonomi wartawan sangat terpukul. Siapa yang tahu. Hanya wartawan itu saja yang tahu.

Liputan yang biasanya turun ke lapangan, kini melalui jaringan telepon seluler. Memang beda sangat jauh hasil liputan langsung ke lapangan dengan perantaraan telepon seluler. Jika liputan langsung di lapangan, wartawan bisa merasakan kehidupan masyarakat, narasumber yang diwawancara.

Tapi, lewat dunia maya dan lewat telepon seluler hanya membutuhkan kepercayaan dari suara narasumber yang direkam di ponsel maupun dicatat di buku kerja.

sinyal ponsel

Gantung khusus untuk ponsel di dinding yang bisa menjangkau sinyal. (Foto: Markus Makur)

Bersyukur dengan adanya program beasiswa untuk membangkitkan keterpurukan perekonomian wartawan diterimanya di tengah situasi pandemi Covid-19.

Sebagaimana saya pribadi, saya juga melihat dan merasakan kehidupan sesama jurnalis yang berada di pinggiran Indonesia dengan serba sulit, karena dampak pandemi Covid-19 ini. (Markus Makur/ JurnalisTravel.com)

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

Banjir
Banjir Lebih Sebulan Melanda Dataran Tinggi Kerinci
krisis air
Krisis Air di Empat Pulau Mentawai, Kenapa Bisa Terjadi?
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
Terancam Punah, Unand-Swara Owa Survei 6 Primata Endemik Mentawai
Terancam Punah, Unand-Swara Owa Survei 6 Primata Endemik Mentawai
Hutan Nagari
Hutan Adat Nagari Ampalu Masih Menunggu Perda Kabupaten
Kisah Kopi Londo di Nagari Sirukam
Kisah Kopi Londo di Nagari Sirukam