Di Atas loteng yang gelap empat lelaki membuka sebuah peti kayu dengan diterangi lampu. Dengan hati-hati mereka mengeluarkan satu persatu benda pusaka yang ada di dalamnya.
Ada beberapa batuan, keris dan sebuah benda yang mereka cari, sepotong bambu yang penuh torehan aksara kuno Kerinci yang dinamakan Surat Incung.
Bambu yang sudah berwarna cokelat tua dan mengkilap itu panjangnya 15 cm dengan diameter 3 cm. Seluruh permukaannya penuh dengan torehan tulisan dengan aksara Incung.
Dua di antara lelaki itu adalah M. Ali Surakhman dan ayahnya Depati Alimin. Ali adalah aktivis pelestari Surat Incung dari “For The Kerinci Culture”. Sedangkan ayahnya, Depati Alimin, adalah budayawan Kerinci yang mahir membaca dan menulis Surat Incung. Depati Alimin juga penulis buku “Sastra Incung Kerinci”.
Mereka berada di rumah gedang (rumah besar) klan Depati Simpan Negeri Tuo, Desa Koto Baru, Semurup, Kabupaten Kerinci. Di atas lotengnya mereka segera mendokumentasikan naskah Incung tua itu, memotret dan membacanya dengan cepat.
Depati Alimin membaca barisan aksara kuno di bambu itu dengan teliti dan Ali merekamnya dengan perekam. Setelah satu jam di atas loteng, pemilik pusaka menyimpan kembali semua benda pusaka ke dalam peti, lalu mereka turun kembali dengan tangga.
Di bawah loteng, di ruang keluarga sudah menunggu sekitar 20 orang anggota keluarga klan Depati Simpan Negeri Tuo, pemilik pusaka. Mereka menunggu penjelasan tentang arti Surat Incung di bambu yang barusan dilihat Depati Alimin dan Ali.
“Mereka ingin tahu Surat Incung itu tentang apa, karena mereka semua juga tidak ada yang bisa membacanya, benda itu hanya disimpan sebagai pusaka yang diwariskan turun-temurun,” kata Ali mengenang pencarian Surat Incung yang dilakukannya pada 2004 tersebut.
Ali sudah melihat beberapa Surat Incung yang ada di Kerinci dan membuat tulisannya untuk jurnal ilmiah. Melihat Surat Incung di Kerinci bukanlah perkara mudah. Benda-benda tersebut disimpan sebagai benda pusaka yang dimiliki tiap kaum dan mereka simpan di atas loteng di rumah besar klan.
Benda pusaka tersebut diturunkan pada saat kenduri sko, pesta adat yang besar yang bisa dilakukan berhari-hari untuk membersihkan benda-benda pusaka milik beberapa klan di suatu kampung. Karena itu, benda-benda pusaka di Kerinci, termasuk Surat Incung, bisa terjaga kelestariannya selama berabad-abad.
Di Koto Baru, Semurup, tempat Surat Incung bambu milik klan Depati Simpan Negeri Tuo itu disimpan, kenduri sko diadakan setiap lima belas tahun.
“Ayah saya karena beliau juga seorang depati dengan gelar nyato negaro dan sudah kenal baik dengan Depati Simpan Negeri Tuo itu, makanya kami diizinkan melihatnya, itupun hanya melihatnya di atas loteng, tidak dibawa turun,” kata Ali.
Berisi Ratapan dan Mantra
Di hadapan tuan rumah kaum Depati Simpan Negeri, Alimin menjelaskan isi Surat Incung yang dilihatnya. Surat 25 baris itu berisi ratap yang menggunakan Bahasa Melayu kuno.
Inilah sebagian surat itu yang sudah ditulis kembali ke dalam bahasa latin dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
“Aih ini alah surat tabung minyak aku ini kata aku sapatah kalu ada urang/
batanya nanya akan tubuh juwap iya surat kata manih simbatnya manih ka/
ta sagang simbatnya galak kata bangih juwap dingan galak apa sabap kara/
na itu dagang manumpang kahu tubuh jangan manaruh sabit hati amak alah idak/
Tubuh baramas amak alah idak badan bakahin jangan manaruh ka/
ta kanti itu kata aku iya surat larang manapat duwa kali aih satapar alah/
Lalin tubut piya pula ati husuk panana susah dikandung imba langu bahasa/
N idak (ba)kanti bahunding surang kadiri aih saih sarandir diman iya sakarang kini/
Imba manjadi padang tandih padang manjadi ima langu aih (ka)sih samang/
pamatang panjang kasih unta ditalang jauh kasah burung katitir (putih) bagi aku/
batinggan kata iya burung kalu ada./
Artinya dalam Bahasa Indonesia.
“Aih! inilah surat tabung minyakku, ini kata sapatahku kalau ada orang/
bertanya menanyakan diri, jawab ya surat kata manis baliknya manis/
kata keras balasnya senyum kata marah jawab dengan senyum apa sabab,/
karena dagang menumpang kau tubuh jangan menaruh sakit hati, adalah tidak/
Tubuh beremas adalah tidak badan berkain, jangan menyimpan/
kata teman itu, kataku ya surat ditulis sampai dua kali, aih! Sejalanlah/
Dalam tubuh mengapa pula hati rusuh pikiran susah dilingkung rimba lebat, bahwa/
Tak berteman berunding seorang diri aih! saih sarandir dimana ya sekarang kini/
Rimba menjadi padang tandus padang manjadi rimba lebat aih! kasih siamang/
pematang panjang kasih unta ditalang jauh kasih burung ketitir putih bila aku/
meninggal pesan ya burung, kalau ada”./
“Pemilik Surat Incung ini tidak tahu berapa umur Surat Incung di bambu itu, mereka sudah mendapatkannya secara turun-temurun, tetapi tentu saja pembuatnya ini diperkirakan orang penting saat itu,” katanya.
Surat Incung ditulis pada bambu, tanduk, dan kulit kayu. Aksara pada bambu dan tanduk dibuat dengan cara dirajah menggunakan ujung pisau raut yang tajam. Sedangkan di media kulit kayu ditulis di atas daluang. Surat Incung di kulit kayu sangat jarang ditemukan.
Naskah Incung yang ditulis di permukaan bambu isi tulisannya kebanyakan tentang ratapan dan mantra. Sedangkan naskah incung yang ditulispada tanduk kerbau atau tanduk kambing kebanyakan berisi tentang perjanjian batas suatu wilayah dan silsilah.
“Misalnya ada sengketa perselisihan antar wilayah yang berebut batas, lalu diselesaikan, berdamai, dan dirayakan dengan kenduri dengan memotong kerbau, perjanjian damai itu ditulis di masing-masing tanduk kerbau, dua pihak mendapat satu tanduk untuk tanda isi perjanjian,” kata Ali. Selain itu tanduk kerbau juga digunakan untuk mencatat silsilah.
“Di Kerinci, Surat Incung di atas bambu banyak ditemukan di Koto Tuo, Rawang, Sungai Liuk dan Sulak, tetapi yang paling banyak di Sulak, tidak hanya menjadi benda pusaka, ada juga yang menjadi koleksi pribadi pada suatu keluarga,” ujarnya.
Beberapa Surat Incung yang ditulis di atas bambu yang dia temukan juga berisi mantra dan ilmu nujum. Ada juga tentang mantra ilmu kebal. Surat Incung di atas tanduk banyak disimpan di rumah gedang kaum wilayah di Kota Sungai Penuh.
Lebih 200 Naskah
Uli Kozok, profesor linguistik di Hawaii University juga meneliti aksara Surat Incung di Kerinci pada 1999-2003. Ia juga menemukan naskah tertua Melayu di Tanjung Tanah, sebuah kampung di tepi Danau Kerinci pada 2002. Naskah tersebut kitab undang-undang Kerajaan Dharmasraya untuk masyarakat Kerinci yang ditulis di atas kulit kayu daluang.
Kitab tersebut terdiri dari 34 halaman dengan 31 halaman ditulis dalam aksara pasca Palawa yang disebut juga aksara Malayu. Dua halaman terakhir menggunakan aksara Incung dan satu halaman berisi dua baris dalam aksara yang tidak jelas, mirip aksara Arab. Dari uji radiokarbon yang dilakukan Kozok menunjukkan naskah itu dari akhir abad ke-14. Kemungkinan besar ditulis pada zaman Adityawarman.
Naskah tersebut berisi peraturan hukum berbahasa Melayu yang di antaranya mengatur masalah pidana seperti pencurian hasil pertanian ubi, tebu, sirih, pinang, dan padi serta pencurian ternak seperti ayam, itik, anjing, dan babi. Misalnya hukuman untuk maling ubi. Denda lima kupang ditetapkan untuk pencuri yang mencabut ubi sendiri, sedangkan denda lima emas untuk pencuri ubi yang sudah dipanen.
Satu kupang sama dengan seperempat emas. Selain itu, ada peraturan yang melarang orang mabuk. Orang yang mabuk hingga pening akan didenda, orang yang memerkosa bisa dibunuh, dan macam-macam hukum tindak pidana lainnya. Sedangkan halaman 32 dan 34 yang bertuliskan aksara Incung kondisinya sudah rapuh dan tidak terbaca dengan jelas.
Uli Kozok mengatakan dua lembar yang terakhir tersebut bertuliskan aksara Incung. Namun ia tidak dapat menerjemahkannya, kecuali sedikit saja, karena tulisan itu sudah sangat aus. Tulisan tersebut berkaitan dengan nujum dan salah satu dari sedikit kata yang terbaca adalah bersuka cita.
Menurut Kozok, aksara yang digunakan menyerupai Surat Incung Kerinci, tetapi merupakan jenis aksara incung yang lebih tua. Ia memperkirakan dua halaman terakhir yang ditulis dengan aksara Incung itu ditambahkan tidak lama kemudian di Kerinci.
Aksara Kerinci yang disebut Surat Incung, menurut Uli Kozok berasal dari aksara Malayu yang juga disebut Sumatera Kuno. Hampir sama dengan Jawa Kuno. Ada persamaan dengan Surat Ulu (Rejang dan aksara lainnya yang dipakai di Bengkulu dan Sumatera Selatan), Surat Lampung, Surat Tagbanwa (Filipina), Surat Mangyan (Filipina), Surat Batak, Surat Bugis, dan lainnya. Persamaan yang paling jelas dengan Surat Ulu.
Kozok menjelaskan, aksara Sumatera Kuno, Malayu, dan Pasca Palawa, itu semua sama. Aksara tersebut sangat mirip dengan Jawa Kuno yang juga disebut Kawi. Namun ada perbedaan sedikit antara Sumatera dengan Jawa. Oleh sebab itu istilah Sumatera Kuno, Malayu, serta Pasca Palawa yang dianjurkan.
"Saya suka penamaan Malayu karena memang terutama digunakan di Jambi, termasuk Sumatera Barat, dan Sumaterera Selatan, penggunaan Malayu dianjurkan oleh de Casparis, peneliti Belanda," ujarnya.
Surat Incung pada masa lalu, kata Kozok, terutama digunakan untuk menulis piagam perjanjian, segala yang berkaitan dengan ramalan dan ilmu gaib, serta puisi cinta. “Untuk keperluan surat-menyurat dengan daerah lain jarang ada, rata-rata orang pandai menulis incung karena dibutuhkan untuk mencari pasangan,” kata Uli Kozok yang diwawancarai melalui email.
Uli Kozok saat ini profesor Bahasa Indonesia di Jurusan Indo-Pacific Languages, Hawaii University. Ia mengatakan Surat Incung terutama menggunakan bahasa Melayu dan sering bercampur dengan bahasa Kerinci. Aksara Incung pada masa lalu digunakan di seluruh wilayah Kerinci dan di wilayah yang berbatasan dengan Kerinci dengan variasi lokal.
“Kapan aksara itu diciptakan tak jelas, tetapi sudah ada pada abad ke-14, perkiraan saya aksara itu tercipta sekitar seribu tahun yang lalu,” kata Kozok.
Ia memperkirakan aksara Incung masih digunakan sampai abad ke-20. Hilangnya aksara incung karena diganti dengan huruf latin atau jawi (Arab Melayu). Tetapi masih ada beberapa orang yang pandai membacanya. Mereka belajar terutama dari buku, lalu dipraktikkan dengan naskah asli.
Misalnya, kata Kozok, daftar aksara Surat Incung oleh Louis Constant Westenenk yang terdapat dalam artikelnya di Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde [Jurnal Ilmu Bahasa dan Antropologi Indonesia], Deel 61, tahun 1922. Artikelnya berjudul “Rèntjong-schrift. II. Beschreven hoorns in het landschap Krintji”. [Tulisan Rèntjong II. Naskah Tanduk di Kerinci].
“Surat Incung yang diajarkan secara turun-temurun setahu saya pada waktu itu sudah tidak ada lagi,” ujarnya.
Ia mengatakan Surat Incung di Kerinci hampir semua masih menjadi barang pusaka. Tak sampai selusin yang ada di museum atau perpustakaan luar negeri. Ia memperkirakan jumlah semua naskah Surat Incung lebih 200 naskah.
“Yang paling mendesak dilakukan saat ini ialah adanya Unicode untuk Surat Incung, lalu harus ada font agar dapat ditulis di komputer, kemudian harus ada buku teks untuk belajar Surat Incung di sekolah dan dijadikan bagian muatan lokal,” katanya.
Diajarkan di Sekolah
Di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh aksara Incung sudah dipakai menjadi nama-nama jalan dan kantor pemerintahan. Di Kota Sungai Penuh, aksara Incung juga sudah masuk ke dalam kurikulum muatan lokal di SD dan SMP. Namun di Kabupaten Kerinci belum.
Nurhayati, guru SD Negeri 01 Sungai Penuh mengatakan aksara Incung masuk dalam mata pelajaran muatan lokal Budaya Kerinci. “Belajarnya dua jam seminggu, mulai dari kelas 4 sampai kelas 6SD, kalau yang kelas 4 baru pengenalan aksara, lanjutannya diajarkan dengan menulis dan membaca tentang budaya Kerinci,” katanya.
Karena pandemi Covid-19 sudah hampir setahun belajar-mengajar dilakukan secara daring dengan waktu per hari lebih pendek, Namun pelajaran aksara Incung tetap diberikan.
“Banyak murid yang pintar menulis aksara Incung, semoga dengan pengenalan aksara Incung lebih dini membuat mereka mencintai aksara Incung, budaya yang diwariskan nenek moyang kita dulu,” kata Nurhayati.
Gairah pelestarian aksara Incung juga hadir pada produk kerajinan di Kota Sungai Penuh, seperti pada corak selembar kain batik dengan aksara Incung. Motifnya pun unik, tulisan aksara Incung yang dipadu dengan motif khas budaya Kerinci.
Baca juga: Aksara pada Batik Incung Kerinci
Salah satu perajin batik kerinci adalah Erni Yusnita, pemilik rumah produksi “Batik Incung” di Kota Sungai Penuh. Tiap bulan rumah batiknya memproduksi 100 hingga 150 helai kain batik cap dengan motif aksara Incung. Ia menciptakan sendiri motif pada kain batik yang ia produksi. Erni juga mempelajari aksara Incung Kerinci dari buku dan membuat motifnya.
Tulisan Incung yang miring dan patah-patah itu menjadi motif yang menarik dalam tiap lembaran batik Incung Kerinci. Bahkan ada selembar kain batik berwarna ungu yang sebagiannya tulisan incung dan sebagian lagi motif daun sirih.
“Itu tulisan Incungnya ada arti sesuai dengan motif, misalnya pada motif batik bunga kopi, ada tulisan Incung bunga kopi, begitu juga pada motif yang lainnya, dijelaskan dengan tulisan incung, huruf Incungnya hanya saya percantik, tanpa mengubah maknanya, karena ini akan digunakan untuk motif batik,” kata Erni.
Pengenalan Erni pada batik Incung berawal dari pelatihan yang dilakukan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Sungai Penuh pada 2012. Panitia pelatihan mendatangkan instruktur batik dari Balai Besar Kerajinann Batik Indonesia, Yogyakarta.
Erni dan 49 peserta lainnya dari Kota Sungai Penuh diajarkan cara membatik. Setelah pelatihan dibentuk kelompok dan diberi modal peralatan batik oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan agar bisa menghasilkan batik.
Pemerintah Kota Sungai Penuh saat itu berniat membangkitkan kembali batik Kerinci dengan motif aksara Incung yang mati suri sejak 1990-an. “Kami ingin ikut melestarikan surat incung melalui kain batik, karena surat incung itu warisan budaya dari leluhur kita yang sangat berharga,” kata Erni. (Febrianti/JurnalisTravel.com)
Catatan: Tulisan ini hasil Fellowship Jejak dan Digitalisasi Aksara Nusantara yang diselenggarakan Merajutindonesia.id dan Pandi.id.