"KENAPA dari Makassar pindah ke Manado ya... gak mungkin salah ketik, kan?" tanya Pipit Maizier melalui pesan Telegram, diakhiri tiga emoji ketawa ngakak.
"Manado kan lebih seksi..." jawab saya ditambah emoji senyum lebar.
Pipit dari Harian Tabloid Jubi mengundang saya untuk pelatihan internal redaksi di Kota Jayapura, Papua. Yang saya dengar, dari Jakarta ke Jayapura akan transit di Makassar. Jadi, sebagai jurnalis yang suka traveling, saya tidak akan menyiakan kesempatan untuk singgah di Makassar satu atau dua hari.
Menunggu Pipit mencarikan tiket, saya melongok Traveloka, menakar harga tiket. Saya bandingkan Manado dengan Makassar. Ternyata harga tiket tidak jauh beda. Karena itu, saya meminta Pipit untuk alihkan pulangnya lewat Manado, bukan Makassar. Tidak masalah, semuanya lancar.
Langkah saya ternyata telah disuratkan menuju Manado awal September 2017. Saya tidak terlalu khawatir untuk bepergian ke Makassar suatu ketika, karena ini kota transit di Indonesia bagian Timur.
Manado adalah kota impian saya. Jauh sebelum saya memiliki seorang teman di sana. Kota ini telah lama memanggil seperti bisikan sang kekasih. Menarik jiwamu untuk menjamahnya dan menjadi khayalan menjelang tidur.
Pertama, ia kota yang unik dalam sejarah. Setiap saya membaca sejarah Indonesia, Manado hadir sebagai tempat yang spesial bagi Kolonial Belanda.
Kedua, penduduknya terkenal bersahabat. Ini dinukilkan dalam lagu yang populer "Torang Samua Basudara". Dengarlah penggalan lagunya yang dipopulerkan Rama Aipama, penyanyi dengan kostum unik topi tapak kuda dan baju ala kalong, pada 2000.
"... Suda so dari dulu
kitorang memang baku sayang
opa deng oma so kase contoh
sampe tua baku sayang."
Sikap bersaudara ini pula tergambar bahwa penduduknya untuk seluruh provinsi Sulawesi Utara, cinta damai dan toleran dengan umat beragama dan etnis. Penduduk yang toleran adalah idaman saya.
Ketiga, Manado dan sekitarnya memiliki wisata alam yang menakjubkan. Bunaken adalah wisata bahari yang tersohor di Indonesia. Kota Tomohon memiliki festival bunga yang terkenal, plus makanan tradisional yang ekstrem, seperti kelelawar, kelabang, dan ular.
Keempat, ini nih yang bikin makin penasaran. Manado, Minahasa, Tomohon, dan sekitarnya memiliki gadis-gadis yang cantik. Sembilan tahun yang lalu saya pernah bertanya kepada seorang teman, editor bujangan di media nasional di Jakarta. Karena ia sudah berkunjung ke kota-kota hampir di seluruh Indonesia, saya menanyakan di manakah daerah di nusantara ini menurutnya gadis-gadisnya paling cantik.
"Manado," jawabnya cepat, tanpa berpikir panjang, "Bahkan cleaning service di hotel pun mirip artis, tinggi dan putih, juga ramah."
Wakkakkak...! Let's go!
GUNUNG DI LAUT
Perjalanan dari Bandara Sentani, Jayapura menuju Manado diselingi dengan singgah 40 menit di Bandara Domine Eduard Osok, Sorong, Papua Barat. Pesawat singgah untuk isi minyak, eh avtur, serta sebagian penumpang turun dan naik. Tapi hanya beberapa orang.
Lama penerbangan dari Sentani ke Manado 3 jam, di luar waktu singgah di Sorong. Pemandangan di luar jendela sebelah kanan adalah pesisir Bumi Cenderawasih, termasuk Pulau Biak, kemudian Kepulauan Maluku.
Menjelang mendarat di Bandara Sam Ratulangi, Manado, pemandangan pertama yang unik adalah sebuah gunung yang muncul di teluk di ujung sayap kanan pesawat. Itulah Gunung Manado Tua, konon itu tempat pertama yang didiami nenek-moyang orang Manado.
Pemandangan sebuah gunung yang muncul di tengah laut bagi saya sungguh sensasional.
Sampai di terminal bandara, saya membaca pesan di WhatsApp. Eva Aruperes, sahabat saya perempuan Minahasa, telah membatalkan pesanan Go-Car yang diinfokan sebelumnya. Sebab kawan-kawan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Kota Manado akan menjemput saya. Mereka sedang di jalan dan agak sedikit terlambat sampai ke bandara karena macet. Ada ruas jalan menuju bandara yang sedang diperbaiki, sehingga mobil terpaksa bergiliran dilewatkan satu sisi.
Menunggu sekitar setengah jam di bandara , saya menemukan keramahan orang Manado. Sopir dan agen taksi, ojek, dan mobil rental selalu berusaha mengajak bercakap, meski tawaran jasa mereka saya tolak. Beberapa pria duduk mendekat untuk mengobrol apa saja yang bisa diperbincangkan dengan ramah.
Para perempuan yang tak sengaja bertatap mata pun dengan ramah menyapa dengan senyum, kadang anggukan.
Baiklah, mari kita segera pergi ke Kota Manado. Suatu kehormatan rombongan kawan-kawan pengurus AJI Kota Manado, Ishak, Agust, Jul, dan Ady datang. Segera saya dibawa ke tempat penginapan yang asyik dan gratis untuk menghempaskan tubuh, Sekretariat AJI Manado. Kamar dan kasur Pak Ketua, Yosep E. Ikanubun yang ia tinggalkan karena sedang tugas liputan ke Pulau Sangihe, pun saya manfaatkan selama dua malam.
Ops, sebelum istirahat ada minuman khas Manado (tepatnya Minahasa) yang perlu dicoba sejilat, Cap Tikus. Cap Tikus adalah tuak tradisional Minahasa yang legendaris. Penampakannya tak beda dengan air mineral, apalagi ditaruh di botol Aqua. Tapi, jika diminum tahulah kita bedanya. Meski terbuat dari olahan alami nira, alkoholnya gila, cing! (Ssst... konon cap tikus ini di Jayapura dijual sebotol Rp100 ribu).
"Belum boleh masuk sekretariat AJI Manado jika belum mencicipi Cap Tikus," kata Agust Hari. Entah bergurau, entah serius. Hehe....
Setelah mandi dan mengerjakan tugas sore sebagai editor (istilah kawan-kawan di AJI Manado, jurnalis lebih takut deadline daripada istri), saya dibawa Agust ke sebuah restoran seafood dekat Jembatan Soekarno.
Eva Aruperes, kolega saya sesama koresponden The Jakarta Post dan AJI, menentukan tempat yang asyik ini dan saya bertemu dengannya untuk makan malam yang lahap dengan menu yang saya suka: ikan segar dipilih sendiri untuk dimasak penjualnya.
MENIKMATI TOMOHON DAN MINAHASA
Tentu saja saya petualang yang siap mendaki gunung atau mengarungi lautan di Sulawesi Utara. Tetapi itu tidak mungkin, karena saya hanya memiliki satu hari penuh di Manado.
Sebelum ke Manado saya berkonsultasi dengan Eva, apakah bisa mengunjungi Bukit Kasih dalam sehari. Ini tempat yang saya temukan dalam pencarian di Google. Dari namanya sepertinya menantang dan membuat jiwa merah jambu saya bergetar.
Eva mengatakan bisa dilakukan dengan mobil dalam sehari. Bahkan bisa melihat beberapa objek wisata lainnya di Tomohon dan jika memungkinkan bisa ke Tondano. Tondano? Saya langsung teringat Danau Tondano. Asyiik....
Menjelang berangkat, kami sarapan dulu di Kawasan Makanan Tinutuan Wakeke. Jaraknya hanya 80 meter dari sekretariat AJI Manado. Saya memilih bubur manado dan langsung jatuh hati. Ini menu sarapan yang paling sempurna menurut saya. Campuran jagung dengan bayam yang diaduk bersama bubur nasi. Sehat dan mengenyangkan. Pergedel jagung, tahu goreng, dan tempe adalah camilannya.
Dengan perut kenyang, kami (Eva, Agust, Onal Parera alias Tole di belakang setir, dan saya) pun meninggalkan Kota Manado menuju Tomohon. Perjalanan mendaki menuju daerah pegunungan. Menjelang perbatasan kota Manado dengan Kabupaten Minahasa, kami berhenti sejenak di pinggir ngarai. Melihat pemandangan yang unik ke arah tebing di kawasan Citraland dan Jalan Ring Road Trans Sulawesi.
Sebuah patung Yesus setinggi 30 meter dan 50 meter keseluruhan dari tapak, mengembangkan kedua tangannya dengan tubuh seakan terbang di udara. Itulah Monumen Yesus Memberkati.
Di bawahnya, agak ke kiri, terdapat bangunan mirip Jam Gadang di Bukittinggi dengan tulisan besar putih CitraLand di kakinya. Bangunan ini mirip Jam Gadang versi atap era Kolonial Belanda. Nun jauh di atasnya menjulang Gunung Lokon. Saya langsung teringat Jam Gadang di Bukittinggi dengan latar Ngarai Sianok dan Gunung Singgalang.
Lalu kami melanjutkan perjalanan dan tak jauh, hanya 15 menit, kami berhenti di depan Makam Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa.
Seorang pria menyambut kami. Ia bernama Abdul Muthalib Popa atau Thalib Bonjol, penjaga makam. Ia generasi kelima dari Apolos Minggu, pengawal Imam Bonjol selama di Minahasa.
Imam Bonjol ditangkap tentara Belanda pada Oktober 1837, kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat, dipindahkan ke Ambon, dan terakhir ke sini. Di sinilah Tuanku Imam Bonjol hidup dalam pengasingan di tengah masyarakat beda agama.
> BACA JUGA: Misteri Kematian Imam Bonjol di Lotta, Minahasa
Setelah bangunan bagonjong khas Minang yang berisi makam Tuanku, kita bisa mengikuti jalan setepak di belakangnya. Menurun ke pinggir sebuah sungai berair jernih yang penuh batu besar. Di sana terlihat bangunan yang menaungi bekas salat dan wuduk Tuanku.
Sebuah batu besar yang datar adalah bekas Tuanku Imam Bonjol sehari-hari salat di pengasingan ini hingga meninggal dunia 6 November 1854 pada usia 83 tahun. Juga di dekat batu itu terdapat sumur dari celah batu besar. Saya meminum air sumur itu sebagai kenangan dan duduk di atas batu membayangkan Tuanku Imam Bonjol tua yang bertubuh mungil menenangkan diri dari gejolak perlawanannya untuk Islamisasi di Ranah Minang.
Tak terasa kami menghabiskan 35 menit di sini, lalu melanjutkan perjalanan yang rencananya mengunjungi kebun bunga. Tetapi sepertinya kawan-kawan lupa dengan jalannya dan kami langsung menuju Bukit Inspirasi di pinggir Kota Tomohon.
Bukit inspirasi tempat yang sangat strategis melihat keindahan puncak Gunung Lokon. Ini gunung berapi yang sangat aktif di Sulawesi Utara. Tetapi kawahnya tidak terlihat dari sini, karena berada di baliknya. Dari sini justru terlihat seperti gunung hijau yang dipenuhi padang rumput.
Dari Bukit Inspirasi kami menuju Kota Tomohon. Bunga-bunga plastik besar berderet di pinggir jalan mempercantik dan menyampaikan kepada pengunjung bahwa kota itu adalah kota bunga. Tempat diselenggarakannya sekali dua tahun Tomohon Flower Festival.
"Sayang sekarang Rabu tidak sedang pasar di Tomohon, pasarnya Selasa dan Sabtu, kalau sedang pasar kita bisa melihat penjual makanan tradisional ekstrem," kata Donny Turang, jurnalis senior yang tinggal di Tomohon yang ikut bersama kami.
Hari masih pukul 10 lewat 17 menit, kami segera menuju Puncak Rurukan yang melewati Agro Wisata Rurukan. Karena bukan akhir pekan, suasana sepi. Puncak Rurukan tempat yang asyik untuk duduk-duduk melihat pemandangan yang indah ke arah Danau Tondano.
Kami memesan teh es dan penganan, pisang goreng dengan sambal cabe merah. Dingin mulai merayap kulit dan pisang goreng ini menjadi semakin nikmat.
Di sini ada empat lelaki berkostum Tarian Kabasaran, tarian perang Suku Minahasa dengan pedang panjang dan pakaian serba merah. Kita bisa memberikan uang ala kadarnya untuk berfoto bersama mereka. Tentu saja ini tidak boleh dilewatkan begitu saja.
BUKIT KASIH
Tak terasa lebih satu jam di sini. Kami pun segera menuju Bukit Kasih Kanonang. Meski lokasinya terletak di Kabupaten Minahasa, namun kami tak sampai satu jam dari Puncak Rurukan.
Saya pikir sebelumnya bukit ini tempat anak muda memadu kasih. Ternyata ini adalah simbol kerukunan hidup umat beragama dalam kasih sesama.
Ini lokasi yang unik, sebuah bukit belerang yang luas dengan air hangat yang bisa dijadikan tempat merendam kaki. Namun kemudian disulap pada 2004 menjadi lokasi rumah-rumah ibadah berbagai agama untuk saling beribadah berdampingan yang letaknya di puncak bukit.
Menuju ke sana kita harus menaiki ratusan anak tangga (ada yang menyebut ribuan). Di depan lokasi kita langsung disambut monumen yang tinggi yang tiap sisinya menggambarkan ajaran agama berbeda.
Pengunjung akan disambut oleh laki-laki dan perempuan yang membawa burung hantu untuk ditawarkan berfoto. Saya tidak begitu ingin berfoto dengan salah satu burung hantu tersebut, karena pernah melakukan hal yang sama ketika berkunjung ke Kali Biru di Yogyakarta.
Saya bersama Agust dan Donny sudah berhasil mengitari bukit belerang dengan menapaki anak tangga. Lalu mendapati Eva sedang menikmati jasa pijat air hangat.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Danau Linow Lahendong di Kota Tomohon. Di perjalanan kami melewati Tugu Pers Mendur di Kawangkoan, Kabupaten Tomohon. Frans Soemarto Mendur (bersama kakaknnya Alex Impurung Mendur) adalah jurnalis foto yang mengabadikan dengan kamera Leica-nya detik-detik duet Soekarno-Hatta membacakan teks Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Museum ini adalah rumah asal dua bersaudara ini yang memajang foto-foto hasil karya mereka.
Akhirnya, sampailah kami di Danau Linow Lahendong yang sejuk. Ingin rasanya saya memiliki sebuah rumah peristirahatan di tempat ini. Danau kecil dengan air yang terlihat berwarna hijau kebiruan.
Danau Linau yang luasnya hanya 34 hektare dan lokasi paling dalam hanya 40 meter ini, mengandung kadar belerang tinggi. Karena itu konon memiliki warna yang selalu berubah tergantung pada sudut pandang dan pencahayaan danau akibat sinar matahari. Kadang hijau, biru, bahkan kuning dan merah. Sayang, karena kandungan belerengan itulah pengunjung tidak bisa menceburkan diri untuk mandi.
Sore semakin menggapai senja. Perut kami mulai keroncongan dan teh bersama pengananan tak sanggup mengganjalnya. Kami pun meninggalkan kawasan yang cantik ini kembali menuju Manado. Sebelumnya kami menurunkan Donny di kotanya yang mulai gelap. Lalu, di sebuah restoran kami berhenti untuk makan siang yang sungguh telat.
"Ada baiknya Uda makan di meja terpisah?" kata Agust dan Tole hampir bersamaan.
"Tidak perlu," jawab saya segera. "Toh saya tidak suka daging, daging apapun, saya adalah penikmat ikan, telur, dan sayuran," jelas saya segera.
Mereka menikmati daging babi, santapan yang lazim di sini. Di dinding restoran juga terdapat spanduk yang menginformasikan, jika ingin menikmati daging ular dan tikus hutan maka harus dipesan satu hari sebelumnya.
Kami pun makan dengan lahap dari piring masing-masing.
Usai makan, kami pun bergegas menuju Manado untuk mengejar deadline harian. Saya mulai merasakan apa yang menjadi anekdot kawan-kawan Manado, sebagai jurnalis kita lebih takut deadline daripada istri. (Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)