Membayangkan Soekarno Menatap Maninjau

Membayangkan Soekarno Menatap Maninjau

Pemandangan favorit dari Kelok 34 melihat Danau Maninjau dengan sebuah rumah adat Minangkabau. (Foto: Syafrizaldi Aal/ JurnalisTravel.com)

Lampiran Gambar

Pemandangan favorit dari Kelok 34 melihat Danau Maninjau dengan sebuah rumah adat Minangkabau. (Foto: Syafrizaldi Aal/ JurnalisTravel.com)

“TAK lengkap mengunjungi Ranah Minang bila tak singgah di Maninjau, ujar Presiden Soekarno dalam sebuah lawatannya berpuluh tahun lalu,” kata Roni, warga Kampung Ambacang, Nagari Koto Malintang.  Catatan tentang hal itu ia baca dari salah satu penginapan di pinggir danau Maninjau.

Saya merasakan semangat itu berulang saat bermalam di rumah Roni. Hawa sejuk dengan pemandangan danau yang menakjubkan menjadi tontonan setiap hari. Dinding danau jauh di hadapan saya tampak curam.  Sedangkan hamparan sawah kontras dengan warna langit nan biru.

Dalam dekapan malam saya mengigil, tapi harus memaksa memicingkan mata karena esok Roni mengajak saya “malangge”.  Malangge adalah kebiasaan warga mendatangi kebun untuk memungut durian yang jatuh.

Siapapun dibebaskan mengambil durian pada saat “malangge”, pemilik kebun tak akan melarang.  Malangge adalah kearifan dimana durian telah menjadi pemersatu warga.

Lampiran Gambar

Pebalap Tour de Singkarak melewati Dnaau Maninjau. (Foto: Syafrizaldi Aal/ JurnalisTravel.com)

“Malangge hanya berlangsung setelah salat subuh sampai jam tujuh pagi, jadi kita harus bergegas,” ujar Roni.

Saya menikmati durian hasil malangge kami di dangau miliknya seraya menyeruput kopi.  Kenikmatan yang takkan mungkin saya ingkari.

Dengan rasa penasaran yang akut, saya beralih meninggalkan Roni untuk menyambangi rumah Buya Hamka, seorang ulama besar kelahiran Maninjau.  Beberapa kerabat Buya menyambut saya tanpa sengaja.

Tongkat milik Buya masih tersusun rapi, buku-buku tersimpan baik di lemari.  Beberapa pigura memperlihatkan foto Buya. Tapi mereka mengeluhkan minimnya perhatian pemerintah.  Saya maklum dengan kondisi itu.

Rumah-rumah tua peninggalan Belanda tampak kokoh di pinggir jalan saat saya puas mendengar kisah Hamka. Beberapa rumah tampak memiliki angka di bubungan atap, satu di antaranya bertuliskan angka 1867.  Saya paham angka itu menunjukkan tahun pembuatan rumah.  Tapi sayang, kebanyakan rumah dari beton itu sudah dikerubuti lumut.

Lampiran Gambar

Lawang Park lokasi paralayang favorit di kawasan Danau Maninjau. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Saya mulai merenung tentang masa depan sejarah negeri ini. Tapi siapa peduli?

Dini hari, saya tercenung di Kelok 34.  Suasana masih samar saat saya memutuskan untuk beranjak pagi buta. Pada 3 Juni 2010, rombongan Tour de Singkarak membalap sepedanya dari Maninjau ke Bukittinggi.  Jika saya terlambat, jalan akan ditutup dan saya akan melewatkan momen bersejarah itu.

Pemandangan alam membentang di hadapan saya kini.  Ciptaan penguasa alam berpadu karya manusia, sungguh menawan.  Sebuah rumah bergaya unik Minangkabau berpadu undakan sawah, jejeran keramba tersusun rapi, sementara jalan berliku tajam.

Di sekelilingnya, pangkuan perbukitan curam mengungkung seisi danau.  Di kejauhan, saya masih melihat Gunung Singgalang dan Gunung Marapi berdiri kokoh. Semantara awan putih bergelayut di langit, matahari tepat berada di belakang saya.

Saya membayangkan Soekarno berdiri di tempat saya berada kini, memandang jauh ke depan.  Akankah kemewahan ini dapat dipertahankan? (Syafrizaldi Aal/ JurnaliasTravel.com)

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

Khasiat Air Sumur Rumah Bung Karno yang Dipercaya Orang
Khasiat Air Sumur Rumah Bung Karno yang Dipercaya Orang
Memancing Kupu-Kupu di Dangau Saribu
Memancing Kupu-Kupu di Dangau Saribu
Bukik Sakura Maninjau
Melihat Bulat Danau Maninjau di Bukit Sakura
Singkarak
Nagari Sumpu Jadikan “Manjalo Ikan Bilih” Sebagai Atraksi Wisata
Air Terjun Lubuak Bulan
Air Terjun Lubuak Bulan, Air Terjun Unik yang Ditelan Bumi
Nyarai
Ekowisata Nyarai Tetap Bertahan Meski Pandemi