Mambantai Kerbau Sebelum Turun ke Sawah

Mambantai Kerbau Sebelum Turun ke Sawah

Para perempuan dengan jamba bawaan mereka sebelum disantap. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

JANTUNG saya berdegup menyaksikan detik-detik pembantaian seekor kerbau  besar di tengah lapangan bola. Seorang pria yang akan menjagalnya sudah menyiapkan parang panjang yang berkilat tajam. Kerbau jantan itu gelisah, meronta saat direbahkan beramai-ramai, bahkan sempat pingsan.

Saya teringat cerita seorang kawan, yang heran menyaksikan pembantaian hewan kurban di Makkah. Hewan yang disembelih, semua hewannya pasrah, katanya. Beda dengan hewan kurban di Indonesia yang selalu meronta saat akan disembelih. Dia penasaran, mungin karena senjata yang digunakan lebih tajam.

Lalu pisau tajam dari baja putih yang dipakai untuk hewan kurban di Makkah ia bawa pulang ke Indonesia dan digunakan saat kurban Idul Adha. Ternyata tetap sama, hewan-hewan meronta. Sama seperti kerbau yang meronta di depan saya ini, mungkin gelisah, mencium ajalnya yang mendekat.

Lampiran Gambar

Menyembelih kerbau untuk syarat turun ke sawah. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Kerbau itu akan dikorbankan untuk ritual adat menyambut turun ke sawah di Nagari Koto Baru, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat Oktober 2016. Ritual itu sudah dilakukan turun-temurun sejak zaman raja-raja yang memerintah di sana.

Kini ritual itu mulai langka. Terakhir diadakan tiga tahun lalu. Karena itu saya terpaksa memotret pembantaian kerbau ini dari dekat. Saya terpaksa untuk pertama kalinya melihat pembantaian seekor kerbau dari jarak yang sangat dekat.

Kerbau itu akhirnya disembelih, disaksikan para datuk dari Nagari Koto Baru. Diakhiri dengan lenguhan panjang sang kerbau, darahnya mengucur deras ke udara dari pembuluh aortanya yang terbuka. Saya memotretnya sambil memejamkan mata karena tidak tega.

Lampiran Gambar

Pawai berpakaian adat sepanjang jalan. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Usai pembantaian itu, Ketua Kerapatan Adat Nagari Koto Baru Jalaludin Datuk Lelo Dirajo yang mengepalai 146 datuk di Koto Baru mengatakan pada saya. acara ini sudah dilakukan sejak zaman dulu di Sungai Pagu, Solok Selatan setiap tahun saat akan mulai bertanam padi.

Dulunya dari sejarah “mambantai kabau nan gadang” ini berawal dari sebuah kejadian pada masa lalu, saat Sungai Pagu diperintah Raja Nan Berempat (rajanya 4 orang) di Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu.

Saat itu banyak hama padi yang menyerang sawah di Koto Baru. Penyebabnya karena air sungai yang hulu di Nagari Pauh Duo, nagari tetangga, digunakan warga mencari ikan. Kadang sungai mereka tutup, kemudian diacak-acak sehingga kotor. Akibatnya aliran air tidak teratur dan air juga tidak bersih. Ini berdampak pada tanaman padi.

Lampiran Gambar

Para perempuan menjunjung jamba sepanjang jalan. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Warga Koto Baru mengadu kepada Raja Nan Berempat  di Sunggai Pagu. Warga Nagari Pauh Duo dipanggil dan ditanya mengapa mengacaukan air, sehingga sawah di Koto Baru jadi rusak.

Mereka mengatakan butuh mencari ikan untuk lauk-pauk di hulu sungai. Akhirnya oleh raja masyarakat Pauh Duo diberi seekor kerbau untuk pengganti ikan agar tidak lagi mengambil air di sungai yang digunakan mengairi sawah.

“Oleh warga Pauh Duo mereka pilih kerbau yang sangat besar, atau nan gadang, itulah awal kisahnya dulu, akhirnya acara itu menjadi ritual untuk menyambut turun ke sawah yang jadwalnya setiap bulan Muharam atau Syafar,” kata Jalaludin Datuak Lelo Dirajo.

Kini ritual itu bukan lagi dari kerbau pemberian raja, tetapi dari sumbangan  ninik mamak atau para datuk. Datuk ini juga mendapat iuaran untuk sumbangan dari para keponakannya. Selain untuk pembelian kerbau, juga untuk iuran pengadaan pesta dengan makan bajamba bersama-sama para datuk di balai adat keesokan harinya.

Lampiran Gambar

Para datuk menyambut peserta pawai. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Selanjutnya dengan cekatan, para dubalang menyelesaikan pembagian daging kerbau. Setelah dipotong, daging, jeroan, tulang dibagi rata, dionggok bersama di atas papan. Lalu dibungkus plastik. Dibagi sama rata untuk 146 datuk. Daging kerbau itu akan direndang untuk acara besar keesokan harinya.

PESTA BERPAKAIAN ADAT

Esok paginya ritual itu dimulai. Di jalan-jalan dari rumah gadang ratusan perempuan berpakaian adat memenuhi jalan raya. Rombongan besar itu berpawai di sepanjang Jalan Raya Koto Baru di depan gerbang nagari yang bertuliskan “Kawasan Seribu Rumah Gadang”.

Barisan pemain musik tradisional  berada paling depan. Ada bapak-bapak yang meniup pupuik sarunai (alat musik tiup dari tanduk kerbau dan batang padi) dan ibu-ibu yang memainkan talempong serta gendang.

Lampiran Gambar

Aneka makanan isi jamba. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Rombongan menuju balai adat Koto Baru. Rumah gadang dengan atapnya yang runcing-runcing itu terlihat sangat menarik. Ada yang berukir dengan warna yang menyolok seperti merah dan hijau. Ada ukiran sederhana tanpa diwarnai. Bahkan ada rumah gadang yang warnanya hitam, karena kayunya dilumasi oli agar tahan lama. Semua rumah gadang yang ada rata-rata berusia puluhan hingga 100 tahun.

Pawai sangat meriah, semua orang tumpah ke jalan. Pawai berakhir di depan balai adat. Sekelompok datuk sudah menunggu berbaris di kiri dan kanan jalan. Berpakaian khas datuk, jas dan membawa keris. Setelah pertunjukan silat, para datuk masuk ke balai adat untuk makan bajamba.

Lampiran Gambar

Makan bajamba. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Sebelum makan, plakat turun ke sawah dibacakan Ketua KAN Jalaludin Datuk Rajo Dilelo. Plakat itu tentang rencana memulai turun ke sawah keesokan harinya. Ritual ini ditutup dengan petatah-petitih para datuk dan diakhiri dengan makan bajamba. Makan bersama dalam dulang. (Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

Dijadikan Pendakian Eksklusif, Izin Jalur Baru Kerinci Akan Diajukan ke TNKS
Dijadikan Pendakian Eksklusif, Izin Jalur Baru Kerinci Akan Diajukan ke TNKS
Tempoyak Jambi
Pesona Tempoyak di Sungai Telang, Jambi
gusmen heriadi
Pameran Tunggal 25 Tahun Perjalanan Seniman Gusmen Heriadi
Mentawai
Arat Sabulungan dan Gempuran Agama di Mentawai
sinyal ponsel
Tanpa Sinyal di Lembah Tilir
lukisan
Pameran Tunggal Syam Terrajana di Yogyakarta