RUMAH Saukani, 68 tahun, di Dusun Baru, di pusat Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi ramai didatangi karib-kerabatnya. Itu malam sehari setelah Idul Adha pada Oktober 2012.
Sedikitnya 60 perempuan dan laki-laki berbagai usia datang tak sekadar menghadiri acara, tetapi membawa rasa ingin tahu. Mereka ingin menyaksikan benda-benda pusaka warisan nenek moyang mereka yang sebentar lagi akan diturunkan untuk dibersihkan.
Acara itu disebut Ngisai Padanden atau upacara membersihkan benda pusaka. Kali ini pembersihan pusaka di rumah keturunan Datuk Kederuk Ilealamea di Dusun Baru. Saukani adalah datuk pewaris rumah pusaka tempat benda pusaka itu disimpan. Penurunan pusaka dilakukan di dalam rumah semi permanen berlantai dua itu dengan upacara ritual dan kesenian, meski sederhana.
“Acara membersihkan pusaka ini diadakan paling cepat setahun sekali, tapi ini sudah dua tahun baru dilaksanakan, sengaja kami pilih waktunya setelah Idul Adha karena banyak kerabat yang pulang,” kata Feriyanto, 39 tahun, salah seorang yang hadir.
Para perempuan yang datang masing-masing membawa tiga bungkus “nasi ibat”, nasi khas Kerinci yang dibungkus dengan daun pisang. Juga gulai untuk sambal makanan yang nantinya dimakan bersama.
Mereka juga masing-masing membawa secanting beras yang disebut “beras zkat” dengan uang Rp1.000 atau Rp5.000 untuk syarat upacara adat. Beras nanti untuk pemilik rumah dan uang yang terkumpul untuk “honorarium” seorang pawang.
Hidangan yang dibawa ditaruh di atas tikar di tengah ruangan, di hadapan semua orang yang duduk bersila. Setelah berdoa secara Islam, kemudian makan bersama, lalu dilanjutkan lagi dengan berdoa dan memohon restu kelancaran acara kepada Tuhan.
Maka acara ritual pun dimulai dengan sesajian di atas talam di tengah ruangan. Di atas talam terdapat nasi kuning, nasi bercampur pisang di atas bilah bambu, sepotong gulai daging yang baru dimasak, aneka bunga, nasi dalam cangkir bersama telur.
Selain itu ada tiga baskom air yang sudah dicampur dengan perasan tiga jenis jeruk. Jeruk nipis, jeruk kunci, dan jeruk kapas. Air ini untuk memandikan benda-benda pusaka.
Seorang pawang benda-benda pusaka memulai acara. Pawang itu bernama Depati Jufri, 57 tahun. Ia pemimpin adat di dusun tetangga, Dusun Nek, yang sengaja dipanggil untuk melakukan upacara.
Ia membakar kemenyan, lalu membaca mantera dalam bahasa kerinci. Ia seakan berbicara dengan arwah nenek moyang, pemilik sekaligus hulubalang penjaga benda-benda pusaka yang akan dibersihkan. Ia menyebutkan semua sajian makanan untuk arwah para hulubalang.