DALAM tatapan ratusan pasang mata penonton, dengan percaya diri Tom, seorang turis yang mengaku dari Inggris, menjejakan kedua kakinya ke ujung bajak yang telah dipasangkan pada pundak dua ekor sapi. Dengan merasakan hentakan pada bajak diiringi teriakan keras pemiliknya, kedua sapi itu terkejut, melompat, dan berlari kencang.
Pria Inggris itu tak kalah terkejutnya. Ia berusaha menggapai ekor sapi untuk menjaga keseimbang tubuhnya, tapi ia hanya bertahan sejauh lima meter, tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh dalam kubangan lumpur. Ia ditinggalkan kedua sapi yang terus berlari kencang menarik bajak kosong hingga menyelesaikan pacuan sejauh 200 meter.
Tawa, tepuk tangan, dan sorak-sorai penonton meledak. Penonton mendapat hiburan tambahan ketika Tom gagal untuk kedua kalinya. Usahanya untuk menyaingi joki-joki lokal kandas. Apalagi teman perempuannya asal Irlandia melarang ketika Tom ingin sekali lagi.
Sambil berdiri bangkit dari lumpur, Tom menatap kesal ke arah sapi yang sudah sampai ke ujung pematang penanda finish. Ia terlihat semakin kesal melihat seorang joki lokal yang dengan tangkasnya menyelesaikan lintasan hingga finish.

Joki berjuang mengendalikan kedua ekor sapi agar bisa berlari lurus. (Foto:Febrianti/JurnalisTravel.com)
Mungkin untuk meredam kekesalannya, tiba-tiba Tom yang sudah berdiri di tengah air berlumpur menjatuhkan tubuhnya bak perenang terjun ke kolam renang. Ia seperti berenang beberapa saat di air berlumpur setinggi betis itu. Tingkahnya semakin menambah tawa penonton yang berdiri di pematang sawah.
Sebelumnya, Tom bersama beberapa wisatawan asing asyik menonton dan memotret pacu jawi dari atas pematang. Karena sangat tertarik, ia membujuk guide-nya agar bisa menjajal naik bajak yang ditarik sapi karena ini untuk pertama kalinya ia menyaksikan Pacu Jawi.
Aksi wisatawan asal Inggris ini makin memeriahkan acara Pacu Jawi di Nagari Turawan, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
“Sekarang banyak orang luar negeri melihat pacu jawi, Juli lalu saya sedang melatih jawi untuk ikut pacu di sawah saya, lewat turis Australia, ia katakan pada saya apa bisa mencoba main pacu jawi, ia langsung masuk ke dalam lumpur belajar naik ke bajak untuk pacu jawi, lalu pulangnya ia memberi saya uang Rp50 ribu,” kata Zulkifli , warga Nagari Jambu Air di Kecamatan Pariangan, pemilik salah satu sapi yang sedang berpacu.

Dua peserta berpacu cepat sampai di finish. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)
Pacu Jawi di Turawan dimulai pukul 12.00 siang di arena bekas sawah tadah hujan. Pacu Jawi merupakan atraksi permainan tradisional yang hidup sejak ratusan tahun di lereng Gunung Marapi, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Areal untuk acara pacu jawi sekitar 2 hektare. Di sana ada pasar rakyat dadakan tempat pedagang berjualan aneka makanan, areal permainan anak seperti “buayan kaliang” (komedi putar), tempat lomba layangan, dan yang paling penting adalah arena untuk atraksi Pacu Jawi.
Panjang areal pacu sekitar 200 meter dengan lebar 30 meter dari bekas sawah yang berair dan berlumpur dengan kedalaman sekitar 20 sentimeter. Sementara di sekitarnya juga sawah yang kosong untuk tempat sapi ditambatkan serta tempat sapi yang berlari jika keluar dari arena pacu.
SAPI TERBAIK LURUS KE DEPAN
Di bawah terik matahari penonton berdatangan, dari masyarakat setempat hingga wisatawan asing dengan kamera berlensa panjang di tangan. Areal itu menjelang tengah hari sudah penuh dengan puluhan sapi dan ratusan penonton.
Pacu Jawi ini acara balapan sapi atau “jawi” dalam bahasa Minang di areal bekas sawah yang berair dan berlumpur. Tidak ada lawan untuk balapan, hanya sepasang sapi dan seorang joki yang mengendalikannya dari atas bajak kayu. Jika sapi berhasil berlari lurus ke depan dan membawa joki tidak terjatuh sampai di finish, itulah sapi terbaik.

Terkadang kedua sapi tidak kompak membuat joki kesulitan. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
Sejam kemudian, atraksi pacu jawi di mulai. Penonton sudah berjubel memenuhi pematang di tepi arena untuk berpacu. Tak sabar ingin segera melihat atraksi para joki yang mengendalikan dua sapi yang berlari kencang.
Aba-aba dari panitia melalui mikrofon terdengar untuk sepasang sapi pertama. Dua ekor sapi remaja dipersiapkan di arena oleh pemilik dan grupnya, Mereka datang dari Nagari Gurun, Sungai Tarab yang membawa lima pasang sapi untuk ikut bertanding.
Dua bajak ditaruh di pundak sapi dan diikat tali. Sementara beberapa orang memegang sapinya agar tak lari. Setelah siap, sang joki menginjak bajak kiri, lalu kanan dengan masing-masing kakinya. Saat itulah terdengar teriakan “heayah” dari pimpinan tim sapi pertama, diiringi teriakan anggota tim lima orang dan teriakan penonton yang keras yang membuat kedua sapi berlari kencang ke depan.

Akhirnya anggota tim terpaksa menghentikan sapi yang tak bisa berlari lurus karena tidak kompak. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
Joki langsung ditarik sapi dengan kencang. Cipratan air dan lumpur akibat injakan kaki sapi yang berlari kencang menghujani penonton di pematang. Air lumpur bercipratan ke sekujur tubuh sang Joki, termasuk wajah, selama perlombaan.
Sapi pertama seperti masih demam panggung sehingga begitu dilepas dan disoraki penonton berlari kesetanan. Namun tak sejalan arah dengan tandemnya, sehingga membuat joki terjengkang ke belakang.
Sepasang demi sepasang sapi dan joki beraksi memperlihatkan ketangkatasannya. Keriangan melanda arena Pacu Jawi. Ada sapi yang lepas kendali bahkan terus berlari hingga jauh ke luar arena. Ada juga sapi yang nyaris menabrak kerumunan fotografer di pematang. Tetapi ada juga sapi yang sukses hingga ke garis finish, mampu berlari lurus dengan tandemnya dan membawa jokinya tetap di berdiri tanpa terjatuh.
MENAIKKAN HARGA SAPI
Pertandingan dilaksanakan berulang-ulang. Tidak ada aturan yang ketat. Siapapun boleh datang membawa sapinya untuk pamer kegesitan. Bahkan boleh ikut pacu hingga berkali-kali. Karena ini juga menjadi ajang bisnis sapi pacu, sapi-sapi yang terbaik akan ditandai penonton dan dinamakan sapi juara. Bila akan dijual, harganya naik hingga dua kali lipat.

Salah satu sapi yang harganya naik lebih dua kali harga normal karena selalu menang pacu jawi. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)
“Modal membeli sapi ini setahun lalu Rp7 juta, sekarang sudah ada yang menawar Rp18 juta, tapi belum mau saya lepas, kalau ada yang menawar Rp20 juta baru saya lepas,” kata Israb, warga Nagari Gurun, Sungai Tarab.
Sapi Israb berkali-kali ikut Pacu Jawi dan sering sukses berlari lurus hingga ke garis akhir, walau sekali-kali juga gagal. Ia mengaku berbisnis sapi untuk pacuan jauh lebih untung daripada menjual “jawi pedaging”.
“Kalau jawi pedaging, beli bibitnya Rp7 juta dua tahun kemudian dijual Rp15 juta, kalau jual jawi pacu, dengan modal 7 juta, dalam jangka enam bulan bahkan tiga bulan bisa laku Rp15 juta, apalagi sekarang pacu jawi makin sering diadakan,“ kata Israb.
Pacu jawi memang menjadi permainan paling digemari warga di empat kecamatan yang punya tradisi Pacu Jawi di Tanah Datar, seperti di Kecamatan Rambatan, Pariangan, Limo Kaum, dan Sungai Tarab sejak dulu yang diwariskan turun-temurun.
Lima tahun terakhir, atraksi Pacu Jawi makin luas dikenal hingga keluar negeri karena dipopulerkan dunia fotografi. Apalagi setelah beberapa fotografer memenangkan juara lomba foto dengan objek Pacu Jawi. Salah satunya fotografer asal Malaysia Wei Seng Chen yang meraih Sports Single Action World Press Photo 2013.
“Pacu Jawi memang fenomenal, dalam lima tahun terakhir sudah banyak fotografer yang mendapatkan penghargaan Internasional karena foto Pacu Jawi dan ini membuat Pacu Jawi makin dikenal luas,” kata Nofrin Napilus, pemerhati Pariwisata Sumatera Barat.

Sepasang sapi disiapkan untuk mengikuti lomba. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
Nofrin orang yang paling getol mengenalkan atraksi Pacu Jawi kepada fotografer dalam dan luar negeri untuk memotret Pacu Jawi di Sumatera Barat.
Pada 29 September 2009 adalah kejadian yang paling berkesan bagi Nofrins Napilus saat mendampingi 55 fotografer dari lima negara saat hunting foto Pacu Jawi di Tanah Datar yang dibawa oleh fotografer nasional Kristupa Saragih.
“Saat itu ada kecelakaan di arena Pacu Jawi yang menimpa fotografer dari Taiwan, walaupun sudah diinformasikan aspek Pacu Jawi dan karakter-karakter Jawi yang berpacu, tetapi tetap saja ada yang mencoba untuk lebih mendekat ke arah jalur larinya sapi, padahal sang jawi bisa tidak terduga larinya, tergantung mau-maunya saja,” kata Nofrins.
Tiba-tiba seekor sapi berbelok ke arah serombongan fotografer yang berada di pematang sawah. Melihat gelagat itu semua mencoba menghindar dan mundur.
“Salah seorang fotografer asal Taiwan yang berbadan agak gemuk juga mundur, tapi kurang waspada sehingga tergelincir ke belakang, karena beban badannya dan posisi jatuh yang kurang baik, sehingga engsel bahunya bergeser, dia langsung dibawa ke Padang sebelum diterbangkan ke Singapura,” kata Nofrins.

Jika joki terjatuh, sapi pun lari tanpa kendali. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)
Rombongan yang tinggal keesokan harinya pulang ke Padang saat terjadi gempa besar 30 September 2009.
“Ketika kami dalam perjalanan dengan mobil, mobilnya oleng, ternyata gempa besar, malam itu juga sampai ke Padang, rombongan fotografer dari Singapore langsung dijemput Pemerintahnya ketika landasan sudah bisa didarati secara darurat,” kenang Nofrins.
LIPUTAN TERBESAR
Tapi liputan untuk atraksi Pacu Jawi yang paling besar terjadi pada 11 Februari 2012.
“Bayangkan sekitar hampir 300 orang fotografer berada di arena Pacu Jawi dengan ‘senjata-senjata’ berharga dari jutaan hingga ratusan juta rupiah, di samping fotografer Indonesia , juga hadir beberapa rombongan fotografer dari Singapore, Malaysia, India, Korea dan Jerman, dari Malaysia ada dua mantan menteri, yaitu mantan Menteri Pendidikan dan mantan Menteri Keamanan yang ikut memotret, ini semua tentu menjadi proposi wisata yang gratis untuk pariwisata di Sumatera Barat,” kata Nofrins Napilus.
Menurut Khairul Fahmi, Ketua Persatuan Olah Raga Pacu Jawi (PORWI) Tanah Datar, Pacu Jawi diperkirakan sudah berlangsung 400 tahun lalu yang berasal dari Nagari Pariangan, kampung tertua di Minangkabau yang terletak di kaki Gunung Marapi. Ia diperkenalkan Datuk Tante Juguharno yang kuburannya kini terkenal sebagai “kuburan panjang” di Pariangan.
Dari Nagari Pariangan lalu berkembang di empat kecamatan yang berada di kaki Gunung Marapi, seperi Kecamatan Pariangan, Sungai Tarab, Rambatan, dan Limo Kaum.

Tradisi pacu jawi diperkirakan sudah berlangsung lebih empat abad. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)
“Pacu Jawi salah satu permainan tradisional yang bertahan karena tidak melibatkan judi seperti sabung ayam, ini kan permainan anak nagari atau permainan rakyat, adat lebih dulu dari agama, ketika agama masuk, yang melibatkan perjudian seperti sabung ayam hilang, tinggal pacu jawi,” kata Khairul.
Kegiatan pacu jawi, menurutnya, telah ada sejak ratusan tahun menjadi sarana hiburan yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat, karena selain Pacu Jawi pada mingu keempat atau di acara penutupan lebih meriah dengan arak-arakan sapi-sapi terbaik yag didandani dengan asesories berupa suntiang serta pakaian. Pada waktu itu juga diadakan prosesi adat oleh para tetua adat.
Khairul mengatakan, pelaksanaan pacu jawi dilakukan bergiliran pada empat kecamatan. Satu kali putaran lomba biasanya empat minggu. Dulunya ada yang digelar setiap Rabu atau setiap Sabtu. Tetapi sekarang dilangsungkan tiap Sabtu.
Acara dilakukan di sawah milik masyarakat setelah selesai masa panen dan tempatnya tidak tetap pada satu lokasi saja. Bila kegiatan diadakan pada satu kecamatan maka peserta dari kecamatan lain akan berdatangan. Dalam satu masa perlombaan, jumlah jawi yang berpacu mencapai 500 hingga 800 ekor.
PENILAIAN BERFILOSOFI
Pacu jawi diikuti jawi secara berpasangan yang dikendalikan oleh seorang anak joki yang berpegangan pada tangkai bajak. Anak joki dengan tidak memakai alas kaki ikut berlari bersama jawinya di dalam sawah yang penuh lumpur dan air.

Acara pacu jawi yang eksotis menarik fotografer dari berbagai negara untuk mengabadikannya. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)
Acaranya berlangsung mulai pukul sepuluh pagi hingga pukul lima sore. Pada waktu perlombaan berlangsung kadangkala juga terjadi transaksi jual beli jawi oleh para pedagang dan pemilik jawi. Biasanya jawi yang sering ikut pacu jawi dan bagus tampilannya akan naik harganya hingga dua kali lipat. Jawi pemenang itu akan menjadi kebanggaan bagi pemiliknya dan diincar oleh banyak orang. Itupun menjadi lambang prestis.
“Untuk penilaian jawi terbaik yang menilai adalah penonton, tidak ada pemenang, hanya akan diketahui bersama sapi-sapi terbaik , jawi terbaik adalah jawi yang dapat berjalan lurus tidak miring dan tidak melenceng ke mana-mana, dan dapat menuntun temannya berjalan lurus agar tak melenceng dan masuk ke sawah yang lain, jadi yang dinilai bukan hanya kencang larinya dan bukan bentuk struktur tubuhnya saja, tapi juga bisa memimpin temannya,” kata Khairul.
Teknis penilaian inipun penuh filosofi adat.

Sapi terbaik akan tetap lurus menuju finish. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)
“Filosofinya jawi yang bisa berjalan lurus dan memimpin, itulah yang bisa menjadi pemimpin, begitu juga pada manusia, kalau memilih pemimpin harus orang yang berjalan lurus dan bisa meluruskan orang yang dia pimpin,” katanya.
Zaman dulu acara Pacu Jawi hanya diadakan dua kali setahun, karena padi yang ditanam juga waktu panennya lama. Namun kini karena waktu panen padi lebih singkat, jadwal Pacu Jawi lebih sering.
“Kalau sekarang Pacu Jawi hampir ada di setiap bulan, kecuali bulan puasa, karena sekarang banyak sekali peminatnya, pemerintah juga ikut membantu, saya rasa tradisi Pacu Jawi ini tidak mungkin hilang, karena pacu jawi sudah go internasional, tiap ada acara pacu jawi, pasti selalu ada turus asing,” kata Khairul.
Kepala Seksi Pariwisata Kabupaten Tanah Datar, Efrison membenarkan Pacu Jawi makin menggairahkan dunia pariwisata di Tanah Datar.
“Saya pernah membawa tiga tamu dari Australia menonton Pacu Jawi pada 17 Agustus di Turawan, mereka katakan akan membawa rombongan yang lebih banyak, setelah menyaksikan Pacu Jawi, ini buktinya Pacu Jawi sudah Go Internasional, karena selalu ada turis asing yang dibawa Travel Agen ke lokasi Pacu Jawi,” kata Efrison.
Juni 2013, Kabupaten Tanah Datar sudah menetapkan Pacu Jawi dan Istano Basa Pagaruyung menjadi ikon wisata di Tanah Datar.
Hampir setiap bulan, kecuali bulan Ramadan acara Pacu Jawi selalu digelar. Untuk memastikan tempat, Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Datar juga menyedian informasi kalender pacu jawi di website www.pacujawi.com. (Febrianti/ JurnalisTravel.com)
Tulisan ini dibuat dan berdasarkan liputan 2013, diperbarui November 2016.
Tulisan dan foto-foto ini adalah hak milik JurnalisTravel.com dan dilarang mengambil atau menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak di media lain tanpa izin. Jika Anda berminat pada tulisan dan foto bisa menghubungi redaksi@jurnalistravel.com untuk keterangan lebih lanjut. Kami sangat berterima kasih jika Anda menyukai tulisan dan foto untuk diketahui orang lain dengan menyebarkan tautan (link) ke situs ini. Kutipan paling banyak dua paragraf untuk pengantar tautan kami perbolehkan. (REDAKSI)