
Tak lama setelah lepas landas dari Bandara Adisucipto, Yogyakarta suatu sore yang cukup cerah, saya menyaksikan pemandangan Gunung Merapi yang menakjubkan. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)
PETUGAS check in counter jarang bertanya apakah saya ingin duduk dekat jendela atau lorong. Jika ini muncul, saya segera menjawab jendela. Namun yang paling sering adalah, saya langsung diberikan kursi dekat jendela, tapi dekat pintu darurat.
Apakah itu bentuk penghargaan bahwa saya dapat diandalkan untuk menarik tuas pintu keselamatan bagi penumpang lainnya? Jelas saya siap membantu sesama. Namun mata saya akan terhalang sayap dan pembungkus baling-baling. Itu mengganggu menikmati sensasi panorama di luar jendela.

Rumah-rumah penduduk Yogyakarta berada di bawah awan dan kabut, di atas gumpalan awan itu menjulang pucak Merapi. Sebuah sensasi. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)
Seorang teman fotografer lanskap berkata, sebuah objek benda mati akan berbeda dari waktu ke waktu. Karena itu ia pernah memotret Jam Gadang di Bukittinggi hampir tiap hari, jam berbeda, dan katanya hasilnya juga berbeda. Sinar matahari, aktivitas orang di sekitarnya, dan posisi si pemotret akan menjadi faktor utama yang membedakan.
Apakah kita melihat hal yang sama di luar jendela ketika berkali-kali naik pesawat dengan rute yang sama? Bisa iya, tapi seringkali tidak. Sebab terkadang sebuah kesempatan terbaik untuk panorama yang menakjubkan hanya muncul sekali-sekali.

Masjid Raya Sumatera Barat yang besar dengan arsitektur unik paduan gonjong rumah gadang dan kain yang terhampar dengan keempat sudutnya dipegang, sangat menonjol di tengah Kota Padang. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)