Menyeruput Kopi yang Bukan Kopi

Menyeruput Kopi yang Bukan Kopi

Tempat minum dari tempurung kelapa salah satu keunikan kawa kopi daun. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Lampiran Gambar

Tempat minum dari tempurung kelapa salah satu keunikan kawa kopi daun. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

INI minuman khas dataran tinggi di Sumatera Barat. Namanya kawa kopi daun. Meski disebut kopi, warnanya mirip teh. Itu karena minuman ini diproses seperti teh, meski bukan dari rendaman daun teh kering, melainkan dari daun kopi.

Keunikan kawa adalah diseduh dan disajikan di sayak tempurung alias batok kelapa. Para penjual biasanya menuangkan kawa dari tempat penyimpannnya dari  tabung bambu yang tutupnya dari bahan ijuk.

Minuman yang dekade ini popular di Ranah Minang, banyak dijual di pondok kopi di jalur Padang Panjang, Bukittinggi, dan Tanah Datar. Bahkan juga mulai dijual di Kota Padang, salah satunya di sebuah warung dekat kantor Telkom Padang Baru.

Minuman kawa kopi daun berasal dari Darek, terutama Tanah Datar yang banyak ditumbuhi tanaman kopi. Orang pesisir seperti Padang, Pariaman, Pasaman, dan Pesisir Selatan kurang mengenal minuman ini.

Lampiran Gambar

Minuman khas dataran tinggi Sumatera Barat yang mulai banyak dijual di pesisir seperti Padang. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Menurut sejarawan Profesir Mestika Zed dari Universitas Negeri Padang, sewaktu Belanda menerapkan sistem tanam paksa kopi di Sumatera Barat pertengahan abad ke-19, orang Minangkabau diperintahkan untuk menanam bibit kopi di kebun mereka. Hasil panen kopi perkebunan rakyat ini harus disetor ke gudang kopi Pemerintah Kolonial Belanda.

Mulanya tak ada masalah. Soalnya lidah orang Minang lain dari lidah orang Belanda.

Orang Minang sudah mengenal kopi jauh sebelum Belanda datang ke Sumatera Barat.  Tanaman kopi sudah ada. Tetapi saat itu bagi orang Minang daun kopi lebih penting daripada buahnya.

Daun kopi dikonsumsi untuk minum kawa. Bagi Belanda buah kopi justru jauh lebih berharga. Bukan saja untuk dikonsumsi sendiri, tetapi sebagai komoditas populer di pasar dunia.

Ketika kopi semakin naik harganya, orang Minang justru malah bersedia menanam bibit kopi lebih banyak daripada yang ditetapkan Belanda. Tetapi hasilnya tak lagi sepenuhnya diserahkan ke gudang kopi Belanda, melainkan dijual sendiri ke pantai timur sampai ke Singapura dan Malaka yang waktu itu masih berada di bawah penguasaan Belanda.

Tanaman paksa kopi gagal di Sumatera Barat karena sulitnya mengontrol wilayah, kemudian sistem ini dihapuskan pada 1908.

Lampiran Gambar

Minuman keseharian penduduk Tanah Datar, daerah pusat kebudayaan Minangkabau. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

“Akibat kesalnya pada perangai orang Minang lahirlah ucapan Belanda, god verdomd zeg.... Melayu kopi daun,” kata Mestika.

Itu artinya, “Dasar Melayu kopi daun, tahunya hanya daun kopi, sedang buahnya disia-siakan”.

Umpatan tersebut untuk pribumi seluruhnya yang dianggap orang Melayu. “Oleh orang Minang ungkapan itu dianggap sebagai penghinaan karena mereka dicap bodoh dan suka melanggar aturan,” tambah Mestika.

Halaman:

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Tag:

Baca Juga

Kopi kawa
Seteguk Kisah Epik Kopi Kawa Daun
Kopi Kerinci Mulai Terancam Perubahan Iklim
Kopi Kerinci Mulai Terancam Perubahan Iklim
Yuk, Bikin Kopi Rarobang dari Ambon
Yuk, Bikin Kopi Rarobang dari Ambon
Sedapnya Kopi Kerinci di Kota Kopi
Sedapnya Kopi Kerinci di Kota Kopi
Menyesap Kopi Minang Solok di Konco Coffee
Menyesap Kopi Minang Solok di Konco Coffee
Memancing Kupu-Kupu di Dangau Saribu
Memancing Kupu-Kupu di Dangau Saribu