Tiga Hari Tiga Malam Menyusuri Sungai Rokan

Tiga Hari Tiga Malam Menyusuri Sungai Rokan

Hutan di pinggir Rokan terus menyusut mengurangi daya dukung sungai. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Kapal pongpong yang membawa kami menelusuri Sungai Rokan. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Kapal pongpong yang membawa kami menelusuri Sungai Rokan. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

BAGI orang Melayu yang menetap selama berabad-abad  di tepian Sungai Rokan, Rokan adalah halaman rumah yang luas. Tempat bermain sampan, memancing, menjala ikan, mengambil air minum, sekaligus mandi, mencuci, buang hajat, dan membuang sampah.

Meski tepiannya berlumpur dan airnya cokelat seperti teh botol, tapi terasa tawar, karena itu biasa diminum. Di sekelilingnya tumbuh hutan rawa dan tanaman air tempat ikan meletakkan telur.

Di sungai ini orang-orang Rokan --sebutan untuk orang Melayu di tepian Sungai Rokan-- mengajar anaknya berenang, bersampan, dan menangkap ikan. Rokan adalah urat nadi untuk ratusan jiwa orang melayu yang tinggal di tepian sungai sepanjang 350 kilometer itu.

jurnalistravel-lingkunganrokan-02

jurnalistravel-lingkunganrokan-03

Pagi itu saya ikut ekspedisi kebudayaan empat sungai di Riau yang diadakan Universitas Negeri Riau bersama dua lembaga lainnya di Pekanbaru, Yayasan Bandar Serai dan Yayasan Garasibumy. Saya dan dua orang anggota tim ekspedisi Junaidi Syam dan Amriyadi yang akan membawa kapal  plus Danil seorang pemuda juru masak. Kami akan menembus pedalaman dengan melayari Sungai Rokan dari hilir ke hulu, menggunakan perahu bekas nelayan penangkap ikan yang disebut Pongpong.

Perjalanan dimulai dari tepian Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, sebuah dermaga lama yang telah ditinggalkan. Jaraknya dari muara Rokan yang ada di Bagansiapiapi sekitar 5 jam perjalanan. Perahu mulai bergerak pukul 5 sore, menempuh sungai Rokan yang kecokelatan dengan lebar sekitar 500 meter.

Tidak heran bila dulu pada 1980-an sungai ini juga lalu lintas jalan raya yang ramai untuk membawa kayu-kayu gelondongan dari pedalaman ke Bagansiapiapi sebagai bahan pembuat perahu dengan kualitas terbaik di Indonesia. Kini setelah pohon habis dan berganti ladang sawit dan karet, sungai Rokan pun jarang dilayari.

Kapal adalah transportasi vital untuk berjalan jauh bagi masyarakat di Sungai Rokan. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Kapal adalah transportasi vital untuk berjalan jauh bagi masyarakat di Sungai Rokan. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Sungai Rokan yang  berkelok-kelok awalnya agak membingungkan saya, karena dalam waktu dua jam perjalanan telah mengubah letak matahari senja. Di awal berangkat matahari ada di sisi kanan perahu, lalu pindah ke depan, dan akhirnya menjelang malam pindah ke sisi kiri perahu.

Tiga jam perjalanan perahu mesin yang saya tumpangi mogok karena tali delting untuk radiator terlepas. Kami terapung di tengah hutan rawa sampai pukul 3 pagi. Karena jauh dari perkampungan yang terdengar hanya suara burung-burung rawa yang bersahutan dengan ratusan serangga malam.

Agak menyeramkan, karena Rokan bagian hilir ini terkenal dengan buayanya, sehingga tidak ada orang Rokan yang berani menangkap ikan dan berenang. Penangkap ikan lebih banyak di Rokan bagian hulu.

Anak-anak bermai dan mandi di Sungai Rokan. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Sungai Rokan adalah halaman bagi anak-anak untuk bermain sehari-hari (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Setiap tahun selalu ada buaya yang memakan manusia. Bahkan seminggu lalu ada perempuan batak yang baru datang dari Sumatera Utara dimakan buaya ketika sedang mengosok gigi waktu senja di tepi Rokan. Saat ini penduduk sedang mencari buaya itu. Buaya juga kerap mengintai kaki anak-anak yang belajar berenang di tepian. Kami  sempat melihat punggung buaya yang berenang ke hilir Rokan.

DULU ROKAN URAT NADI

Meski ikan makin berkurang, nelayan tetap mengandalkan Sungai Rokan. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Meski ikan makin berkurang, nelayan tetap mengandalkan Sungai Rokan. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Pukul enam pagi di kampung Jorong, Ujung Tanjung, aktivitas di tepi Rokan mulai hidup. Orang Rokan mandi dan mencuci di atas lantai kayu yang disusun dengan sebuah ruangan kecil yang disekat dengan kayu untuk WC. Anak-anak mandi berenang di tempat yang dangkal.

Perempuan mandi mengenakan sarung dan lelaki mengenakan celana pendek. Rokan dimanfatkan untuk aktivitas bersih-bersih di pagi hari.

Rokan pagi itu mengalir tenang. Dulunya sebelum jalan masuk ke Bagansipiapi hingga awal 1990-an, sungai Rokan menjadi urat nadi transportasi masyarakat Melayu Rokan ke Bagansipispi.

Mereka menjual kayu kepada warga keturunan Cina di Bagansiapiapi untuk bahan pembuat kapal. Dari Bagan mereka pulang ke hulu membawa bermacam kebutuhan hidup, pakaian, peralatan rumah tangga, makanan pokok, uang, dan ikan asin.

Kini yang memafaatkan aliran sungai Rokan untuk transportasi hanya beberapa perahu yang sembunyi-sembunyi membawa kayu balak dan menjualnya di pabrik kayu lapis di hilir Rokan. Setelah kerap dirazia polisi, penebangan kayu ilegal tetap tidak hilang seratus persen, namun beberapa masyarakat lokal dan pendatang sembunyi-sembunyi mengambil kayu dari hutan rawa di kiri-kanan sungai.

Hutan di pinggir Rokan terus menyusut mengurangi daya dukung sungai. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Hutan di pinggir Rokan terus menyusut mengurangi daya dukung sungai. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Walaupun kayu dari pohon yang tersisa kebanyakan tinggal sebesar paha, tetap saja dibabat dan dipotong-potong sepanjang satu meter, lalu disusun dan diikat tali dan disembunyikan dalam air di bawah perahu, sehingga tidak kelihatan.

Hutan yang kami lewati masih bagus, ditumbuhi pohon meranti dan rawa-rawa. Tapi di beberapa tempat kerap membohongi penglihatan, karena 5 meter di belakang hutan yang rapat sudah menjadi lahan kosong bekas tebangan. Sore itu kesenyapan tepian Rokan dirusak raungan mesin gergaji rantai yang masih juga membabat sisa-sisa pohon di hutan rawa Rokan.Terus ke hilir, pinggiran sungai sebelah kiri banyak ditanami karet,
sedangkan pinggiran kanan banyak ditanami sawit.

Junaidi Syam, anggota tim ekspedisi yang berasal dari salah satu kampung di hulu sungai Rokan mengatakan, tanaman karet lebih baik dibanding tanaman sawit karena karet tidak banyak menimbulkan kerusakan lingkungan sungai. Sedangkan sawit amat merusak, karena rakus air.

Perkampungan di pinggir Sungai Rokan. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Perkampungan di pinggir Sungai Rokan. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Sawit seperti spon, begitu ditanam air rawa di tepian sungai langsung mengering dan berubah menjadi tanah yang keras. Padahal rawa-rawa di sekitar sungai adalah tempat hidup dan beranak-pinak ikan yang dihasilkan sungai Rokan.

MEMAKAAN IKAN ARWAN

Anak pemberani bersampan sendiri. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Anak pemberani bersampan sendiri. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Dulunya Rokan memberi ikan yang melimpah kepada penduduk yang tinggal di tepiannya. Ikan yang ditangkap dalam sehari bisa menghidupi keluarga nelayan hingga satu minggu. Sebaliknya, saat  ini ikan yang didapat dalam satu minggu hanya bisa menghidupi keluarga nelayan selama satu hari.

Dulu ikan Arwana yang mahal juga mudah ditemukan di sungai Rokan. Ikan itu ditangguk pada malam hari. Dari atas perahu saat ikan yang sedang berenang ke permukaan sungai cepat-cepat disenter dan saat Arwana terpaku melihat cahaya itulah secepat kilat ditangguk. Sebelum arwana dikenal sebagai ikan hias, ikan ini juga biasa dikonsumsi penduduk karena dagingnya yang enak.

Pada masa jayanya ikan Arwana, seorang nelayan Tanjung Medan, daerah Rokan hulu pernah mendapat induk ikan Arwana yang saat ditangkap memuntahkan puluhan anak dari mulutnya.

Induknya dilepas dan juvenil Arwana itu dibawa pulang. Dengan menjual anak Arwana itu si nelayan bisa naik haji. Kini Arwana sudah jarang didapat di Rokan. Warna airnya yang bertambah coklat tiap tahun ikut mengurangi populasi ikan-ikan sungai. Selain itu ikan juga menghilang karena berkurangnya rawa-rawa tempat hidup anak-anak ikan di sana.

Sepanjang perjalanan ke hulu, beberapa lelaki dengan perahunya yang ramping terlihat mencari ikan di pinggir sungai. Mereka mengangkat alat perangkap ikan yang dibenamkan di lumpur yang disebut Pomila. Pomilia ini terbuat dari kawat ayam yang dibentuk persegi empat selebar setengah meter. Ada yang mendapat seekor ikan baung yang menggelepar, ada pula yang kosong.

Seorang nelayan membersihkan ikan hasil tangkapannya dengan merendam karung ke sungai. (Foto: Febrianti/ JurnallisTravel.com)

Seorang nelayan membersihkan ikan hasil tangkapannya dengan merendam karung ke sungai. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Keesokan harinya perahu memasuki perkampungan Rantau Bais. Kampung di tepian Rokan itu amat indah. Masih banyak pohon-pohon besar seperti meranti dan ara yang kokoh. Rumah-rumah panggung dari kayu tanpa cat terlihat alami berjejeran di sela-sela pohon nyiur yang rapat menghadap ke Sungai Rokan.

Di tengah sungai ada pulau memanjang semacam delta yang sudah menjadi tanah padat dan ditumbuhi rumput hijau. Sebatang pohon ara yang besar serta jejeran pohon meranti di belakangnya. Lengkap pula dengan monyet berekor panjang yang bergelayut di perdu.

Tempat itu menjadi areal rekreasi masyarakat di sekitar Rantau Bais. Pagi itu lewat sebuah perahu yang membawa remaja setempat, dari atasnya mereka bernyanyi riang pergi bertamasya ke pulau itu.

Bermacam jenis ikan Sungai Rokan yang dijual di pasar. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Bermacam jenis ikan Sungai Rokan yang dijual di pasar. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Di Rantau Bais jejeran tempat mandi dan WC tanpa atap di pinggir sungai rapi memanjang seperti memagari kampung. Masing-masing keluarga punya satu tempat mandi. Ibu-ibu mandi dan mencuci, anak-anak berenang dan main sampan, para pria ada yang mandi dan nongkrong merokok dalam WC sambil mengobrol melalui telepon genggam. Kelihatannya peradaban kota sudah masuk kampung itu. Jalan-jalan aspal sudah terhubung ke kota terdekat, Duri. Namun, sungai Rokan belumlah terlalu dilupakan.

Dialek orang Rantau Bais sekilas terdengar mirip dengan dialek Minangkabau di daerah Pasaman. Banyak menggunakan ‘o’ untuk huruf vokalnya. Namun kalau didengar lebih lama, dialeknya sangat khas, tidak lagi terdengar seperti Minang.

Dua perempuan mendayung sendiri perahu mereka ke pasar. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Dua perempuan mendayung sendiri perahu mereka ke pasar. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Menurut Al Azhar, Budayawan Riau, dialek di sepanjang sungai Rokan hampir sama, walau agak berbeda antara hilir dan hulu.

“Namun tetap saja orang hilir Rokan mengerti apa yang dikatakan orang yang tinggal di hulu Rokan,” kata Al Azhar.

Sungai menjadi tempat aktivitas sehari-hari orang Melayu yang tinggaldi tepi Rokan.(Foto: Febriannti/JurnalisTravel.com)

Sungai menjadi tempat aktivitas sehari-hari orang Melayu yang tinggaldi tepi Rokan. (Foto: Febriannti/ JurnalisTravel.com)

SUNGAI IDENTITAS ORANG RIAU

Ia mengatakan, pada empat sungai besar di Riau seperti Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri, beda dialek satu dengan lainnya, namun dialek masyarakat untuk tiap-tiap sungai akan sama. Seperti masyarakat yang tinggal di tepian Rokan tidak akan mengerti apa yang dikatakan masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai Siak.

“Sungai Siak itu dialeknya khas melayu kepulauan dan agak mirip dialek Melayu Jambi , jauh berbeda dengan dialek yang ada pada masyarakat di sepanjang Rokan,” kata Al Azhar.

Itu menandakan bila zaman dulu sungai di Riau adalah tempat yang penting dan untuk berkembangnya budaya Melayu yang terhubung melalui sungai.

Kebudayaan yang berkembang di Sungai Rokan juga berbeda dengan Siak. Di Rokan tidak akan ditemukan tarian seperti Zapin dan alat musik seperti yang dikenal di Masyarat Siak dan Riau Kepulauan. Di Rokan lebih berkembang aliran tarekat seperti Suluk sehingga tidak ada tarian, yang ada hanya kesenian semacam nasyid dengan alat musik rebana, gendang, dan gong dan tidak pernah melibatkan perempuan di dalamnya.

Burung-burung kecil aneka warna dijual di pasar.(Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Burung-burung kecil aneka warna dijual di pasar. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

“Sungai sebenarnya identitas masyarakat Riau dan menjadi halaman rumah mereka, namun kini sungai itu telah dikorbankan, sedang terjadi kerusakan lingkungan yang besar-besaran dengan sungai-sungai yang ada di Riau, padahal ratusan masyarakat tergantung dengan sungai, bahkan ada perkampungan yang belum dimasuki jalan aspal dan sunga menjadi satu-satunya jalur transportasi ke dunia luar seperti di Ulak Kumahang, Rokan Hilir,” kata Al Azhar yang juga orang Rokan.

Kerusakan itu digambarkan Abdul Haris Nasution, seorang nelayan tua di Rokan sejak 1965. Seperti dongeng, ia menuturkan zaman dulu, katanya setiap hari begitu mudah ikan dan udang didapat.

Ia kerap menangkap Ikan Tapa yang beratnya mencapai 25 kilogram. Ikan ini ditangkap setelah sungai mendapat banjir siklus tahunan. Usai banjir biasanya ratusan Ikan Tapa yang menghirup aroma sungai yang baru banjir akan terangsang untuk kawin massal dan beruaya ramai-ramai ke hilir. Di tepian sungai mereka akan kawin ramai-ramai dan meletakkan telurnya pada tumbuhan air.

Pasar tergenang sungai yang meluap. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Pasar tergenang sungai yang meluap. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

“Ikan-ikan yang akan kawin itu tidak peduli dengan apapun sehingga mudah ditangkap,” kata Haris.

Dalam semalam bila musim kawin Ikan Tapa datang, ia bisa memanen hingga 100 kilogram. Sekarang Ikan Tapa sudah berkurang. Pak Haris menyalahkan pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit yang tumbuh di tepi sungai Rokan sejak 1990-an yang kerap mengeluarkan limbah dikala hujan. Limbah itulah yang menurutnya menghilangkan ikan-ikan Tapa dan udang dari Rokan.

Tetapi penyebab lainnya untuk Ikan Tapa yang berkurang tentu saja juga karena ikan-ikan itu ditangkap saat akan memijah, sehingga tidak sempat menelurkan ikan-ikan Tapa baru.

UDANG YANG MULAI LANGKA

Darikecil anak-anak sudah mahir bersampan.(Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Dari kecil anak-anak sudah mahir bersampan. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Haris mengenang, pada 1980-an ia kerap menangkap udang sungai seperti udang galah yang besar seberat 2 hingga 3 ons. Tiap minggu semua nelayan Rokan bisa menyetor udang ke toke hingga 1 ton. Tapi kini 50 kilogram paling banyak. Udang-udang itu ditangkap di persembunyiannya dibalik kayu mati dan tumbuhan rawa seperti akar eceng gondok.

Namun sekali lagi ia menyalahkan kerusakan lingkungan dan banjir yang tak lagi mengenal musim. Selain itu juga karena air sungai yang tercemar.

”Saya pernah lihat udang-udang itu ke atas permukaan air, mungkin karena kena limbah PKS –pabrik kelapa sawit-- yang hanyut saat hujan, banyak udang naik ke permukaan dan mati, matanya seperti buta, tidak jernih lagi,” katanya.

Kami kembali melanjutkan perjalanan. Lebih ke hilir di kampung Sidingin pagi Senin itu ternyata hari balai (hari pasar). Pagi-pagi beberapa perempuan melintas membawa dagangannya dengan perahu ke pasar. Ada juga dua nenek yang berperahu hendak ke pasar yang berada tidak dari pinggiran sungai, berjarak 10 meter ke darat.

Pasar pagi itu menjual sayur-mayur yang didatangkan dari Bukittinggi, ikan sungai, pancing, jala, dan pakaian. Para pedagang kebanyakan datang lewat jalan darat, sementara pembeli banyak yang melewati jalan sungai dengan perahu mereka yang ramping.

Pohon-pohonsawit di pinggir sungai pun ikut terendam. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Pohon-pohonsawit di pinggir sungai pun ikut terendam. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Selain sayur-mayur, burung keluarga pipit pun ikut dijual. Seorang lelaki yang menangkap burung itu dari hutan-rawa pinggiran Rokan membawa puluhan burung dalam keranjang kawat.

Karena berdesakan, beberapa burung terlihat entah pingsan atau tewas di dasar keranjang. Padahal burung-burung itu sangat cantik, beraneka warna, bahkan ada yang seperti mengenakan mantel biru dengan garis putih yang melingkari lehernya.

Si penjual memberi sangkar gratis untuk sepasang burung yang dijual.

“Makannya beri saja beras,” kata penjual mencoba menawarkan pada anak-anak dan seorang kakek yang kelihatan berminat.

Seorang nelayan menaruh penangkap ikan di pinggir sungai Rokan.(Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Seorang nelayan menaruh penangkap ikan di pinggir sungai Rokan. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Di hari ketiga berlayar kami sampai di Rangau. Ini kampung ke delapan yang telah saya lewati selama tiga hari tiga malam menggunakan perahu dengan kecepatan dua puluh kilometer per jam. Rangau mulai banjir. Kampung yang dulu dikenal sebagai pelabuhan yang ramai itu kini berkali-kali diterjang banjir.

November 2007 sungai meluap merendam perkampungan, termasuk rumah setinggi 1 meter selama dua minggu.

Aida, penjual lontong di Rangau mengatakaan, saat banjir mereka hanya menambah lantai rumah dengan kayu dan selalu ditinggikan setiap kali air naik.

“Kami malas mengungsi ke tenda-tenda, karena repot, anak-anak tetap sekolah, jadi lebih baik di rumah saja,” katanya.

Semakin ke muara Sungai Rokan semakin lebar dan luas. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Semakin ke muara Sungai Rokan semakin lebar dan luas. (Foto: Febrianti/ JurnalisTravel.com)

Saat banjir, menurutnya, masyarakat tetap beraktivitas seperti biasa, bedanya hanya kemana-mana menggunakan perahu kecil. Aida sendiri saat banjir setiap pagi membawa lontong dagangannya dengan perahu ke rumah-rumah warga.

“Saya baru saja dapat telepon dari adik di kampung hulu, katanya sekarang di sana sudah banjir, jadi saya mesti siap-siap juga memindahkan barang,” katanya sambil bergegas pulang membawa sisa dagangan.

Bukan hanya Rokan, keempat sungai Riau saat itu sama-sama meluap setelah diterpa hujan kecil beberapa hari. Di koran lokal hari itu diberitakan lima kecamatan di Kota Pekanbaru terkena banjir dan lebih lima ribu warga merasakan dampaknya.

Dalam perjalanan ke Pekanbaru deretan kendaraan antre saat melewati jembatan Siak di dalam kota. Sungai Siak sedang meluap, merendam rumah dan merendam jalan dengan arusnya yang kuat. Ribuan hektare hutan sawit di sekitarnya tampaknya memang tak berguna untuk meredam banjir. Menambah potret buram kerusakan lingkungan di Riau. (Febrianti/JurnalisTravel.com) 

Tulisan ini ditulis dan berdasarkan liputan pada 2008.

CATATAN: Tulisan dan foto-foto (berlogo) ini adalah milik JurnalisTravel.com. Dilarang menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak tanpa izin. Jika berminat bisa menghubungi jurnalistravel@gmail.com. Terima kasih atas bantuan Anda jika membagikan tautan.(REDAKSI)

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

Banjir
Banjir Lebih Sebulan Melanda Dataran Tinggi Kerinci
krisis air
Krisis Air di Empat Pulau Mentawai, Kenapa Bisa Terjadi?
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
Nelayan Sinakak Mentawai Tak Lagi Melaut di Bulan Juni
KKI Warsi Latih 20 Pemuda Nagari Menjadi Jurnalis Warga
KKI Warsi Latih 20 Pemuda Nagari Menjadi Jurnalis Warga
Terancam Punah, Unand-Swara Owa Survei 6 Primata Endemik Mentawai
Terancam Punah, Unand-Swara Owa Survei 6 Primata Endemik Mentawai
sampah
Terkendala Lahan, Warga Buang Sampah di Pinggir Jalan Lintas Nasional