Deretan Rumah Gadang Tua di Padang Ranah

Deretan Rumah Gadang Tua di Padang Ranah

Salah satu model rumah adat. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Suasana nyaman dengan deretan rumah adat Minangkabau di Jorong Padang Ranah,Sijunjung, Sumatera Barat. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Suasana nyaman dengan deretan rumah adat Minangkabau di Jorong Padang Ranah,Sijunjung, Sumatera Barat. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

MELEWATI jembatan yang menyeberangi sungai Batang Sukam yang juga menjadi gerbang Jorong Padang Ranah, dari jauh terlihat patung Bundo Kandung berpakaian adat dengan tingkuluk tanduk menutup kepala. Patung itu berdiri di persimpangan seakan menyambut tamu yang datang.

Jorong Padang Ranah di Nagari Sijunjung, sebuah kampung yang dibangun pada abad ke-14. Sebuah kampung tradisional yang selama ratusan tahun masih mempertahankan keaslian budaya matrilineal dalam kehidupan sehari-hari warganya.

Di pagi yang berkabut karena asap kebakaran hutan dan lahan di provinsi tetangga akhir Oktober 2015 suasana di Jorong Padang Ranah, Nagari Sijunjung, Sumatera Barat tampak semakin misterius. Kabut tebal melingkupi atap-atap rumah bagonjong yang runcing serta menyelimuti pohon-pohon kelapa yang ada di belakangnya.

Patung Bundo Kanduang seakan menyambut tamu yang datang. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Patung Bundo Kanduang seakan menyambut tamu yang datang. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Berada di Padang Ranah seperti menemukan perkampungan tradisional Minangkabau di masa lalu. Pada satu ruas jalan sepanjang satu kilometer berderet 56 rumah yang tersambung dengan Jorong Padang Bato, kampung yang memiliki 20 rumah gadang pada ruas jalan yang sama.

Rumah gadang yang berusia seabad berbaris rapi di kanan-kiri jalan. Hanya jalan beraspal dan parabola yang  menandakan kehadiran dunia modern. Begitu juga televisi dan telepon genggam. Namun ritual-ritual adat tetap bertahan.

Rumah gadang dengan halaman yang luas menampilkan keunikan dan ciri tersendiri mengikuti asal suku pewarisnya. Suku Chaniago, Malayu, Panai, Tobo, Piliang, dan Malayu Tak Timbago.

Padi di jemur di jalan menjadi pandangan sehari-hari setelah panen. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Padi di jemur di jalan menjadi pandangan sehari-hari setelah panen. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Karena itu langgam rumah gadang agak berbeda satu sama lain. Rumah gadang suku Piliang terlihat lebih besar, karena memiliki anjung atau ruangan tambahan yang ditinggikan di bagian ujung rumah. Beberapa rumah gadang memiliki serambi depan sehingga gonjongnya berjumlah lima. Juga ada rumah gadang dengan gonjong empat dan gonjong dua.

Bangunan rumah gadang tidak mengelompok menurut suku, tapi membaur antar suku. Perkampungan tua ini diyakini para tetua adat didirikan pada abad ke-14, sezaman dengan Adityawarman mendirikan Kerajaan Pagaruyung di Saruaso, Tanah Datar.

Kampung ini dibentuk atas kesepakatan enam suku di Nagari Sijunjung. Dahulu di Nagari Sijunjung terdapat rumah gadang di beberapa tempat di tiap jorong (kampung). Tetapi kemudian disepakati rumah gadang hanya didirikan di Jorong Padang Ranah dan Jorong Tanah Bato yang letaknya dalam satu ruas jalan yang sama dengan jumlah seluruhnya 76 rumah.

Salah satu model rumah adat. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Salah satu model rumah adat. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Mengapa enam suku bisa menyatu membentuk rumah gadang dalam satu kawasan? Menurut Hafrisal Datuak Pangulu Sati dari Suku Malayu Tobo, karena kukuhnya rasa persatuan di Nagari Sijunjung saat itu.

“Dulu sebelulumnya rumah gadang ini berpencar, untuk kesempurnaan adat mereka sepakat membuat rumah gadang untuk di satu kawasan yaitu di Jorong  Padang Ranah dan Tanah Bato, di luar itu tidak boleh diselenggarakan ritual adat,” kata Datuk Pangulu Sati.

KEHIDUPAN MATRILINI

Di rumah gadang-rumah gadang inilah dilangsungkan berbagai ritual adat Nagari Sijunjung. Sedangkan untuk pemukiman hanya boleh didirikan di belakang rumah gadang atau di jorong lain di Nagari Sijunjung. Aturan itu ditaati hingga saat ini.

Sebagai penganut garis matrilinial, perempuan adalah pemilik rumah. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Sebagai penganut garis matrilinial, perempuan adalah pemilik rumah. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Yang berhak tinggal di rumah gadang adalah perempuan yang dari garis ibu dan dipilih berdasarkan kesepakatan kaum adat di klannya. Sawah dan ladang dari pusaka tinggi juga dikelola oleh perempuan yang menempati rumah gadang.

“Sebuah rumah gadang seperti rumah kelahiran saya yang berhak itu sekarang ada 500 orang dari keturunan saparuik (satu perut) dari nenek moyang kami dulu dari suku Panai, jadi bukan hanya beberapa keluarga,” kata Zulfa Hendri, kepala Jorong Padang Ranah.

Adat matrilineal juga masih terus dijalankan turun-temurun di Padang Ranah dan Tanah Bato. Pesta adat yang besar-besaran juga kerap digelar diantaranya Batagak Gala, atau pengangkatan datuk yang baru. Pesta ini dilaksanakan seluruh anak nagari Sijunjung dengan ritual yang dilakukan berhari-hari. Dengan makanan yang melimpah, tujuh kancah (kuali besar) gulai dan rendang dibuat untuk pesta ini. Acara kesenian tradisional ditampilkan setiap hari.

Rumah di Padang Ranah sudah diregister untuk pelestarian. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Rumah di Padang Ranah sudah diregister untuk pelestarian. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Selain itu juga ada acara Bakaua Adat setahun sekali setelah panen padi sebagai acara syukuran.

Seluruh orang terlibat, kampung dibersihkan, jalan diberi gaba-gaba (gerbang), dan sepanjang jalan dihias marawa (bendera minang berwarna hitam, merah, kuning).

Pada acara yang digelar selalu pada hari Senin para bundo kandung di rumah gadang akan membawa jamba dari rumahnya menjunjung jamba sejauh dua kilometer ke Tobek, balai adat yang terletak di pinggir kampung di ketinggian. Arakan itu diiringi ninik mamak yang berpakaian kebesaran dan diiringi anak muda dengan pakaian silat yang membunyikan talempong dan tambur.

Sebelumnya seekor kerbau dibantai dan dagingnya dibagi secara merata untuk setiap suku. Oleh ninik mamak dibagikan kepada cucu kemenakan setiap rumah terutama untuk masing-masing rumah gadang. Daging inilah yang dimasak untuk mengisi dulang yang akan dijunjung ke Tobek.

Perempuan dihias sunting menjelang mengikuti acara adat, pemandangan biasa di rumah-rumah Padang Ranah. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Perempuan dihias sunting menjelang mengikuti acara adat, pemandangan biasa di rumah-rumah Padang Ranah. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

“Untuk sekarang belum dilakukan, karena sampai kini kami belum mulai menanam padi karena kekeringan, tidak ada hujan, padahal di sini sawahnya tadah hujan, jadi kemungkinan acara bakaul ini bergeser ke tahun depan,” kata Ramadanita, 37 tahun, pewaris rumah gadang suku Panai di Padang Ranah.

Adat juga menurutnya sangat kuat. Untuk pesta pernikahan harus sesuai dengan adat, tidak boleh menggelar orgen tunggal dan hanya boleh kesenian tradisi seperti randai. Sedangkan makanan pesta juga tidak boleh katering, harus dibuat bersama-sama di rumah gadang.

“Di sini upacara adat sangat banyak, di antaranya untuk acara meminang atau basiriah batando, siapapun keturunan rumah gadang ini harus melakukan acara ini di rumah gadang, walaupun mereka tinggal di tempat lain, perempuan tetap dipinang di rumah gadang,” katanya.

Kegiatan tradisional masih berlangsung di rumah Padang Ranah seperti menyimpan padi hasil panen di lantai yang dijadikan tempat tidur di atasnya. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Kegiatan tradisional masih berlangsung di rumah Padang Ranah seperti menyimpan padi hasil panen di lantai yang dijadikan tempat tidur di atasnya. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

LUMBUNG PADI DILANTAI RUMAH

Peran mamak juga masih sangat besar. Setiap Jumat, selesai salat Jumat, Ramadati selalu menyambut kedatangan mamaknya (pamannya) yang akan makan siang bersama ponakan dan penghuni rumah gadangnya untuk membahas persoalan yang ada di rumah gadang.

“Dia akan menyelesaikan persoalan  para kemenakannya,” kata Ramadanita.

Rumah-rumah gadang di Padang Ranah juga memiliki keunikan. Lantainya dijadikan lumbung-lumbung padi. Sehingga ketebalan lantai mencapai hampir setengah meter yang penuh padi. Di di atasnya dilapisi kertas semen dan tikar plastik. Sehingga saat masuk ke rumah gadang, terdengar suara kerisik saat kaki menginjak lantai.

Salah satu rumah yang sudah direstorasi dengan material baru untuk menghindari kerusakan. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Salah satu rumah yang sudah direstorasi dengan material baru untuk menghindari kerusakan. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Di rumah gadang milik Desrianti dari suku Piliang satu ton padi tersimpan di bawah lantai rumah dari hasil panen empat tahun lalu. Sedangkan hasil panen padi yang baru tersimpan dalam puluhan karung yang ditumpuk di dapur.

“Dari dulu aturannya memang seperti ini, lumbung rumah gadang yang ada di lantai ini harus selalu penuh, kelebihannya baru boleh dipakai untuk dimakan atau dijual, karena ini untuk berjaga-jaga dari musim paceklik, agar keturunan rumah gadang ini tidak kekurangan beras,” kata Desrianti.

Padi yang disimpan dalam rumah gadang juga digunakan untuk biaya perbaikan rumah gadang bila ada yang rusak.

Ia mengatakan, saat orang-orang tidak bisa turun ke sawah seperti saat ini, beras tidak ada, dan anak kemenekan keturunan dari rumah gadang ini bisa meminjam padi yang ada dalam rumah gadang.

Salah satu bentuk rumah adatdi Padang Ranah. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Salah satu bentuk rumah adatdi Padang Ranah. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

“Seperti sekarang, kabut asap dan kekeringan, dimana kita mencari beras, padi yang tersimpan ini bisa digunakan untuk keturunan rumah gadang ini, bisa dipinjam, dan nanti dikembalikan lagi kalau mereka panen,” katanya.

Sawah harta pusako tinggi dari kaumnya, seperti sawah yang dikerjakan orang lain dan hasilnya dibagi dua, sehinga dia tidak mengerjakan sawah.

“Semua tetap dikelola kami yang perempuan dan laki-laki yang mengerjakannya,” katanya.

WORLD HERITAGE UNESCO

Keunikan Jorong Padang Ranah dan Jorong Tanah Bato di Nagari Sijunjung dengan tradisi matrilinial Minangkabau yang masih terjaga menjadi alasan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mendaftarkan kawasan ini ke World Heritage Unesco sejak 2014 dan masuk daftar tentatif tahun ini.

Setiap rumah terlihat memiliki gonjong yang berbeda karena berasal dari suku yang berbeda. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Setiap rumah terlihat memiliki gonjong yang berbeda karena berasal dari suku yang berbeda. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Padang Nurmatias (kini Kepala Balai Pelesarian Cagar Budaya  Batusangkar) yang memimpin tim pemilihan lokasi 2015 mengatakan, telah berkeliling ke nagari-nagari tradisional Minangkabau untuk menentukan pilihan sebelum akhirnya tercengang di tempat ini.

“Awalnya saya survei di banyak lokasi rumah gadang sebagai lambang matrilinial di Minangkabau untuk didaftarkan sebagai warisan dunia ke UNESCO, tetapi banyak yang tidak memenuhi syarat,” katanya.

Menurutnya tim sudah melakukan survei di kawasan rumah gadang di Agam, Sungai Landai, Ampek Angkek Canduang, Sumpu, Sungayang, Sumanik, Balimbiang, dan Nagari Seribu Rumah Gadang di Solok Selatan.

“Namun tidak ada yang sesuai, rumah gadangnya ada, tetapi tidak ada yang menunggu, atau rumah gadangnya sudah bergeser ke belakang dan di depan rumah dibangun rumah baru,” kata Nurmatias.

Rumah-rumah tradisionalMinangkabau berbagai bentuk masih terpelihara berabad-abad di Padang Ranah. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Rumah-rumah tradisionalMinangkabau berbagai bentuk masih terpelihara berabad-abad di Padang Ranah. (Foto: Febrianti/JurnalisTravel.com)

Pewaris Kerajaan Pagaruyung Rauda Thaib membawa Nurmatias dan tim surveinya ke Padang Ranah dan Tanah Bato di Sijunjung pada 2013. Rauda Thaib sebagai ketua Bundo Kandung Sumatera Barat telah lama membina Bundo Kandung di Padang Ranah dan Tanah Bato.

“Kami sore-sore sampai di Padang Ranah dan terkejut menemukan perkampungan yang masih asli itu lengkap dengan semua elemennya, ada hutannya dan matrilinil di sana masih bekerja, rumah gadang tetap berada di depan, tidak ada yang membangun di depan rumah gadang, selalu di belakangnya,” kata Nurmatias.

Aktivitas matrilineal di tempat itu menurutnya juga masih bekerja, perempuan sangat aktif dalam setiap kegiatan adat.

“Setiap Jumat, para mamak makan di rumah gadangnya untuk mengetahui bagaimana kondisi rumah gadangnya, bila ada yang rusak mereka perbaiki bersama, karena itu kami sepakat mengusulkan kawasan ini menjadi kawasan adat warisan dunia ke Unesko, dan pada 30 Januari 2015 Nagari Sijunjung masuk dalam Tentative List World Heritage Cultural Unesco atau masuk dalam daftar tunggu,” kata Nurmatias. (Febrianti/ JurnalisTravel.com)

 

Tulisan dan foto-foto ini adalah hak milik JurnalisTravel.com dan dilarang mengambil atau menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak di media lain tanpa izin. Jika Anda berminat pada tulisan dan foto bisa menghubungi redaksi@jurnalistravel.com untuk keterangan lebih lanjut. Kami sangat berterima kasih jika Anda menyukai tulisan dan foto untuk diketahui orang lain dengan menyebarkan tautan (link) ke situs ini. Kutipan paling banyak dua paragraf untuk pengantar tautan kami perbolehkan. (REDAKSI)

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

Bekas Kerajaan Dharmasraya dan Kisah Dua Arca Bhairawa
Bekas Kerajaan Dharmasraya dan Kisah Dua Arca Bhairawa
Peninggalan Era Kolonial di Pulau-Pulau Kecil Sumatera Barat
Peninggalan Era Kolonial di Pulau-Pulau Kecil Sumatera Barat
Melompat ke Masa Lalu di Pulau Cingkuak
Melompat ke Masa Lalu di Pulau Cingkuak
Seperti Apa Rumah Kelahiran Tan Malaka?
Seperti Apa Rumah Kelahiran Tan Malaka?
Sepenggal Kisah Cinta Soekarno di Bengkulu
Sepenggal Kisah Cinta Soekarno di Bengkulu
Menelusuri Keunikan Kota Tambang Sawahlunto
Menelusuri Keunikan Kota Tambang Sawahlunto