BILA Anda penggemar wisata kuliner, tak ada salahnya, sesekali berburulah makanan khas desa Semanu, Kecamatan Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Meski tak dapat dibilang sebagai masakan umumnya, menu khas belalang goreng dicicipi. Rasanya? Jangan tanya, gurih, kemripik dan berkandungan protein tinggi, non-kolesterol.
Menurut hasil penelitian Sutrisno Koswara, dosen Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Institute Pertanian Bogor, kandungan protein belalang goreng berkisar 40-60% per gram. Sedang kajian ilmiah yang dilansir ahli pangan Kusmaryani (2005) menyebutkan kandungan protein belalang kayu bisa mencapai 62,2% tiap 100 gramnya.
Angka ini cukup tinggi dibandingkan dengan angka protein yang terkandung pada makanan berprotein lain seperti udang segar (21%), daging sapi (18,8%), daging ayam (18,2%), telur ayam (12,8%), dan susu segar sapi yang hanya (3,2%).
Belalang, istilah ilmiahnya Valanga nigricornis zehntneri krauss, tak pelak kini menjadi ikon Desa Semanu. Tak ada yang tahu pasti makanan bergizi ini menjadi kegemaran penduduk desa. Entah sejak kapan hidangan lezat belalang ini mulai digemari, hampir seluruh penduduk di Semanu, tak satupun warga setempat bisa menjawab pasti.
Barangkali kegemaran penduduk setempat mulai mengkonsumsi belalang goreng, ketika wilayah Gunung Kidul pada era 1960-an dicap sebagai daerah miskin akut. Pada era itulah, menurut Sukisman, 64 tahun, seorang petani yang tinggal di Desa Njelog pinggir, menjadi pilihan penduduk setempat sebagai panganan penganti lauk-pauk.
“Dulu kalau makan tiwul –sejenis makanan penganti beras dari gaplek– kalau tidak ada lauk, pergi ke hutan jati cari belalang, kemudian digoreng untuk lauk,” ujarnya.
Kebiasaan penduduk menyantap lauk belalang di hampir sebagian besar wilayah desa Wonosari, Baron, dan Playen berlanjut hingga kini. Rusmandi, 43 tahun, misalnya meski telah lama hijrah ke Jakarta, ia toh tetap berusaha mendapatkan makanan kesukaannya itu dengan susah payah.
Kadang, ujar Rusmandi, wiraswasta, memesan kerabatnya yang tinggal di Semanu agar mengirimi belalang goreng yang telah dikemas dalam plastik layaknya kue lebaran. Tidak mengherankan bila Rusmandi kangen makan khas Semanu itu.
Sebab, lanjutnya, semasa kecil di sekitar tempat tinggalnya di Baron hampir dapat dipastikan mereka berburu belalang. Bahkan selepas belajar pun ia bersama teman-teman sedesa berburu belalang hingga ke batas desa lain. Hasil buruan yang didapat Rusmandi, selain dimakan sekeluarga, juga dijajakan di pinggir jalan.
”Waktu itu hasilnya juga cukup lumayan besar untuk ukuran tahun 70-an, sekitar Rp3.000-Rp5.000,” ujarnya. ”Sebagian besar masyarakat di sekitar Semanu-Wonosari tahu secara persis kapan waktu panen belalang dan ’paceklik’ hasil buruannya, kalau pas tidak musim belalang, sulit diperoleh.”
Tidaklah mengherankan bila pada musim belalang pada bulan Juni hingga November, di sepanjang jalan raya Semanu-Wonosari terlihat deretan para penjual belalang segar. Namun pada saat tidak lagi musim belalang, para pedagang kembali beralih profesi seperti semula menjadi pekerja bangunan atau bertani.
BERBURU KE DESA TETANGGA
Pengakuan para penjaja belalang mentah di pinggir jalan raya Semanu-Wonosari, penghasilan berjualan hanya cukup untuk menunjang beban berat keluarga sehari-hari. Kalau lagi apes, ujar Mugiyanto, 43 tahun, berjualan sepanjang hari hanya bisa membawa pulang sekitar Rp15 ribu seharian. Padahal untuk menutup kebutuhan hidup sehari-hari, lanjut Mugiyanto, ia harus merogoh kocek minimal Rp25 ribu.
”Selain untuk membeli keperluan makan sehari-hari, juga untuk beli bensin, kulakan –beli belalang dari pengepul dan jajan anak ke sekolah,” katanya. ”Bahkan pernah juga tidak membawa uang, bisa sampai satu minggu dagangan tidak payu-payu.”
Mugiyanto menambahkan, jualan belalang sebenarnya bukanlah pilihan profesi yang dicita-citakan.
Sebenarnya ia menginginkan menjadi tentara. Lantaran pendidikannya hanya sampai di Sekolah Menengah Atas, cita-citanya menjadi aparat keamanan negara kandas sudah. Mugiyanto tidak menyerah begitu saja. Ia nekat melamar pekerjaan ke Yogjakarta dengan berbekal ijazah SMA. Berulang kali ia datangi kantor-kantor untuk melamar pekerjaan, tapi hasilnya nihil.
Telanjur lama terdampar di Yogyakarta, papar Mugiyanto sembari melayani pembeli, ia melamar bekerja sebagai buruh bangunan proyek.
”Untungnya banyak tetangga sedesa yang juga menjadi kuli bangunan di Yogya, jadi agak gampang juga mencari kerja tidak resmi –istilah Muhayat– wong cuma angkut-angkut semen dan jadi tukang laden batu,” katanya. ”Tapi kalau tidak pas ada proyek kembali tani atau jualan belalang.”
Lebih lanjut Mugiyanto berujar, adakalanya penghasilan berjualan belalang bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Tetapi bila musim ”paceklik-belalang” Mugiyanto harus berpikir keras mencari tambahan agar asap dapur keluarganya tetap terjaga. Tidak mengherankan bila Mugiyanto dan teman-teman seprofesinya acap berburu belalang ke desa-desa tetangga yang jauh dari tempat tinggalnya.
Dalam berburu belalang, Mugiyanto, mengaku tidak merasa kesulitan. Sebab, sejak kecil ia sering bermain sembari memburu binatang itu.
”Tidak sulit menangkapnya, saya hanya berbekal jaring dan genther –bilah kayu panjang– untuk menangkapnya, berburu menangkap belalang sering saya lakukan tidak hanya di hutan jati di satu desa saja, tapi sampai ke hutan dekat-dekat pantai selatan,” ujarnya.
”Menangkap belalang sering bersama teman-teman sedesa, biar agak ngirit, saya boncengan,” tambahnya.
Kosa kata ngirit dalam istilah ekonomi kelas pedesaan yang sering kita dengar di wilayah ini, sebenarnya merupakan kata kunci pertahanan biduk rumah tangga. Kata itu pulalah yang menjadikan Mugiyanto dan teman-teman seprofesi pemburu maupun penjual belalang dapat mengalahkan tandus-gersangnya wilayah yang dahulunya terlekati wilayah miskin. Mugiyanto ternyata mampu menyiasati ganas-gersangnya wilayah perbukitan Cartz Gunung Kidul mengandalkan belalang.
RASA CRISPY
Baginya berjualan belalang tidak memerlukan kepiawaian bernegosiasi dengan pemilik modal. Bahkan ia pun tidak perlu repot-repot menyodorkan proposal pembiayaan ke bank pemerintah ataupun swasta yang memerlukan agunan. Mugiyanto cukup menyisihkan seratusan ribu untuk modal berburu belalang segar di pelbagai desa di sekitar Kabupaten Wonosari. Dengan modal kecil itulah Mugiyanto dan para pemburu belalang mengadu peruntungan.
Ketika ditanya kenapa tidak berusaha meminjam kredit ke bank? Sembari tersenyum Mugiyanto mengatakan, tidak punya agunan apapun yang dapat dijaminkan ke bank. Bukankah ada bank yang tidak memerlukan agunan?
”Emangnya ada bank yang tidak pakai agunan? Setahu saya, itu hanya tipu, mana ada bank tidak mensyaratkan agunan untuk berusaha,” ujarnya. ”Lagi pula apa yang akan diagunkan ke bank, wong ndak punya apa-apa.”
Bisnis belalang goreng pasca daerah Gunung Kidul telah dinyatakan telah terbebas dari kemiskinan akut zaman bekas Presiden Soeharto beberapa tahun lalu, tampaknya mulai benar-benar menggeliat. Tidak hanya pasar-pasar tradisional yang dibanjiri pembeli, tetapi munculnya toko franchise dan super market pun tampak membanjiri wilayah di atas perbukitan ini.
Di pasar-pasar tradisional maupun di super market itulah geliat perekonomian para pedagang belalang goreng menemukan jalan ekonomi pasar yang simbiosisme mutualistik. Belalang goreng yang dulunya dicap sebagai makanan para penduduk urban-melarat di desa terpencil tak terjangkau prasarana itu, kini trennya terbalik seratus delapan puluh derajat. Belalang goreng menjadi incaran para penggemar wisata kuliner.
Pada 1970-an, menurut Waridjo, 78 tahun, saat ditemui di sebuah masjid di samping Pasar Munggi, betapa sulitnya beban hidup yang dialaminya pada tahun-tahun itu. Jangankan makan nasi tiga kali dalam sehari, makan nasi seminggu sekali pun, sudah sangat beruntung.
”Keluarga makan tiwul dengan lauk belalang bakar,” katanya menerawang. ”Apa boleh buat, kami sekeluarga ikut trans ke Sumatra.”
Meski terlihat guratan wajahnya tampak uzur, toh Waridjo bersama keluarganya menyempatkan diri balik ke kampungnya di Gunung Kidul. Padahal perjalanannya menyeberang dari Bengku ke Gunung Kidul dengan bus antarprovinsi, cukup melelahkan. Tapi Waridjo tak sedikit pun tampak kelelahan.
”Mungkin dulu sering makan belalang,” katanya tertawa.
Bisa jadi apa yang dikatakan Waridjo dengan mengkonsumsi belalang goreng ada benarnya. Sebab jangan anggap enteng kandungan gizi belalang kayu ketika dijadikan konsumsi makanan.
Nah, Anda tertarik untuk mengkonsumsi belalang goreng ala Semanu? Silahkan mencobanya. Bila Anda ingin mencicipi rasa crispy belalang goreng, Anda pun tak susah mencari makanan khas Gunung Kidul di sepanjang Jalan KH Agus Salim, Wonosari, Gunung Kidul. Atau di Pasar Munggi juga menyediakan makanan belalang goreng dalam bentuk kemasan plastik atau toples.
Harganya jangan kawatir mahal, dengan merogoh kocek celana Rp7.000 belalang goreng siap Anda santap. Sedangkan belalang goreng dalam kemasan plastik hanya Rp6.000.
Bila Anda tak puas dengan gorengan dan bumbu yang disediakan di rumah-rumah makan, Anda pun dapat bereksperimen sendiri tinggal membeli belalang mentah harganya berkisar Rp40.000 satu renteng. Tergantung jumlah belalang setiap rentengnya.
Bila terdapat seratus satu rentengnya, belalang hidup dijual dengan harga Rp30.000, sedangkan bila terdapat 150 ekor dalam satu renteng harganya Rp40.000. Jadi tunggu apa lagi, coba saja! Hanya saja, bagi Anda yang alergi, pertama kali mencicipi belalang goreng, akan gatal sebentar. Setelah itu tidak lagi. Kriuk! (Eddy J. Soetopo/ JurnalisTravel.com)
CATATAN: Tulisan dan foto-foto (berlogo) ini adalah milik JurnalisTravel.com. Dilarang menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak tanpa izin. Jika berminat bisa menghubungi jurnalistravel@gmail.com. Terima kasih atas bantuan Anda jika membagikan tautan.(REDAKSI)