Melompat ke Masa Lalu di Pulau Cingkuak

Melompat ke Masa Lalu di Pulau Cingkuak

Pantai Cingkuak, terutama di teluk yang tenang dengan pasir putih sangat menggiurkan wisatawan untuk menikmatinya. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Pulau kecil di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat yang di zaman Kolonial merupakan pulau sangat penting. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Pulau kecil di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat yang di zaman Kolonial merupakan pulau sangat penting. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

SUAMI-istri itu berdebat tentang asal-usul nama Pulau Cingkuak.

"Itu nama komandan pasukan asing yang pertama datang ke pulau ini, seorang laksamana Cina," kata si suami.

"Bukan, nama itu berasal dari nama sejenis monyet yang dulu banyak hidup di sini," kata si istri.

Suami-istri berusia 30-an itu sedang menyiapkan pesanan saya, semangkuk mie rebus dan segelas teh es. Warung mereka beratap rumbia, lantai langsung pasir, dan dinding bambu setinggi pinggang.

Pemandangan lepas ke pantai berpasir putih yang indah ke arah teluk Pantai Carocok dengan latar belakang deretan Bukit Barisan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Angin berhembus di sela pepohonan kelapa yang menaungi seluruh pulau.

Pantai Cingkuak, terutama di teluk yang tenang dengan pasir putih sangat menggiurkan wisatawan untuk menikmatinya. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Pantai Cingkuak, terutama di teluk yang tenang dengan pasir putih sangat menggiurkan wisatawan untuk menikmatinya. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Saya pernah membaca tulisan seorang akademisi di Padang yang menyebut nama Pulau Cingkuak berasal dari nama "Laksamana Ceng Ho". Ceng Ho tercatat enam kali mengunjungi Sumatera abad ke-15 dan ia menduga laksamana Tiongkok yang muslim itu juga pernah mendarat di pulau ini.

Tapi alasan ini saya sangat lemah. Selain Ceng Ho tercatat hanya ke pantai timur dan tak pernah ke pantai barat Sumatera, juga tak ada peninggalan pendukungnya.

“Itu mengada-ada,” kata Profesor Gusti Asnan, sejarawan Universitas Andalas.

Nama Pulau Cingkuak di masa lalu ditulis dalam berbagai bahasa, terutama Belanda, dalam beragam sebutan. Ada Poulo Chinco, Poulo Chinko, Poeloe Tjinko, Poelau Tjinkoek, dan Pulu Tjinkuk. Tapi orang setempat menyebutnya "Pulau Cingkuak".

Peta Pulau Cingkuak abad ke-17 tertulis "Poulo Chinco". Denah bangunan terlihat bersama dermaga di sisi timmur dan jalan menuju posko pengintai di atas bukit. (Repro dari website Kaartcollectie Buitenland Leupe)

Peta Pulau Cingkuak abad ke-17 tertulis "Poulo Chinco". Denah bangunan terlihat bersama dermaga di sisi timmur dan jalan menuju posko pengintai di atas bukit. (Repro dari website Kaartcollectie Buitenland Leupe)

Saya pernah melihat dua peta yang dibuat pada abad berbeda di website Kaartcollectie Buitenland Leupe. Peta abad ke-17 tertulis "Poulo Chinco" dan peta abad ke-18 "Poeloe Chinco".

"Cingkuak" adalah nama lokal di Sumatera Barat untuk silvery lutung yang bahas latinnya Tranchypithecu cristatus yang hidup di pulau Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaysia, dan Indo Cina. Bulunya abu-abu gelap dengan jembul di kepala dan di wajah, sehingga terlihat wajahnya seperti bercak.

Bercak di wajah inilah yang menggelarinya "cingkuak" yang artinya "coreng" dalam bahasa Minang. Monyet Cingkuak sudah lama tak ada di Pulau Cingkuak, besar kemungkinan sejak pulau itu didiami bangsa asing.

Saya menduga orang-orang Portugislah pertama kali menyebutkan nama pulau ini dari bahasa lokal sesuai dengan lidah mereka "Poulo Chinco", lalu dilanjutkan para petugas VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie in Dutch) yang bercokol di pulau itu sejak 1662.

Peta Pulau Cingkuak abad ke-18 dengan nama "Poeloe Chinco". (Repro dari website Kaartcollectie Buitenland Leupe)

Peta Pulau Cingkuak abad ke-18 dengan nama "Poeloe Chinco". (Repro dari website Kaartcollectie Buitenland Leupe)

Tapi ini hanya dugaan, sebab kehadiran Portugis di Pulau Cingkuak dan bahkan pantai barat Sumatera Barat merupakan sebuah misteri. Memiliki pengaruh pada nama tempat, budaya lokal, dan sejarah lisan, tapi tidak pernah meninggalkan bukti tertulis.

MISTERI BENTENG PORTUGIS

Di Pulau Cingkuak ada cagar budaya yang dinamakan "Benteng Portugis" yang sudah dipugar Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar pada 1996. Sisa bangunan benteng hanya dinding yang menyatu dengan sebuah gerbang di sisi barat pulau dan dua bagian dinding di sisi timur yang mengarah ke Carocok.

Bangunan dari batu alam setebal 60 cm di timur dilengkapi lubang pengintai. Deretan bata terpasang sebagai penguat kolom lubang pengintai. Sedangkan gerbang barat terbuat dari pasangan bata merah yang rapi. Ada juga jalan setapak dan tangga dari batu alam untuk jalan ke bukit. Bangunan benteng seperti mendominasi pulau kecil yang hanya seluas 4,5 hektare.

Pulau Cingkuak. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Pulau Cingkuak. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

"Penamaan Benteng Portugis sesuai dengan sebutan masyarakat setempat, mereka tidak pernah menyebutnya benteng VOC atau benteng Belanda, ini tentu ada alasannya," kata Yusfa Hendra Bahar, anggota Tim Studi Pelestarian dan Pemanfaatan Kawasan Benteng Pulau Cingkuak, Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar.

Padahal, berdasarkan catatan sejarah benteng ini sudah lama dikuasai VOC dan Pemerintah Hindia Belanda. Mereka sejak 1662 menguasai Cingkuak dan menjadikan pulau kecil itu sebagai jangkar untuk menduduki Kota Padang. Pulau ini juga digunakan hingga lebih satu abad kemudian sebagai loji untuk keperluan perdagangan lada dan pala, bahkan mengelola tambang emas Salido.

Sisi barat Pulau Cingkuak. Juga tenang. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Sisi barat Pulau Cingkuak, juga tenang. Lokasi menara mercusuar sekarang, dulu menara pengintai. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Nama "Benteng Portugis" di Pulau Cingkuak sama berbau Portugisnya dengan "Salido", kota pantai pada masa lalu tak jauh dari pulau itu yang terkenal sebagai lokasi tambang emas yang diincar bangsa asing. Seorang pejabat Belanda di Padang pada 1821 melaporkan bahwa berdasarkant cerita rakyat setempat pernah terdapat reruntuhan rumah dan gudang-gudang milik bangsa Portugis di selatan Kota Padang itu.

Lagu "Kaparinyo" dan tari "Balanse Madam" yang hidup di Kota Padang sebelumnya diduga pengaruh kesenian Portugis. Namun ini belakangan berdasarkan penelusuran filolog dari Universitas Leiden, Suryadi, dikenali sebagai pengaruh Perancis.

Gerbang timur bekas benteng VOC di Pulau Cingkuak yang disebut Benteg Portugis. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Gerbang timur bekas benteng VOC di Pulau Cingkuak yang disebut Benteg Portugis. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Dalam cerita rakyat di pesisir Sumatera Barat juga disebut tentang "Raja Sipatokah" yang dimaksud sebagai pemimpin Portugis. Bahkan dalam candaan, penduduk mempersonifikasikan pakaian pengantin pria Minang sebagai pakaian "Rajo Sipatokah". Pakaian itu mirip pakaian seorang matador.

Rusli Amran dalam bukunya "Padang Riwayatmu Dulu" (1986) menyebutkan, telah menelusuri literatur kehadiran Portugis di pantai barat Sumatera Barat ini di perpustakaan di Belanda, Perancis, dan Portugis, tapi nihil. Ini aneh, sebut Rusli Amran, karena perjalanan kapal-kapal Portugis biasanya dilaporkan tertulis.

"Kesimpulan yang dapat ditarik ialah, mereka (Portugis-red) yang pernah sampai di Padang atau sekitarnya tidak pernah kembali lagi ke tanah air mereka (mungkin kapal karam, kawin dengan penduduk setempat, atau dibunuh meski kemungkinannya kecil-red)... Bahwa mereka pernah bermukim di sana sebagai bangsa Eropa pertama, ini boleh dikatakan pasti, kalau tidak dari mana pengaruh-(pengaruh) tersebut," tulisnya.

Sisi depan bagian barat benteng di Pulau Cingkuak. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Sisi depan bagian barat benteng di Pulau Cingkuak. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

DARI CINGKUAK MENYERANG PADANG

Saya berdiri di Cingkuak yang juga memiliki bukit kecil setinggi sekira 30 meter. Mata bisa mengawasi seluruh areal dari puncak bukit ini, tempat di zaman dulu (jika berpedoman pada peta lama) pernah berdiri bangunan pengintai atau tempat menembakkan meriam ke arah kapal lawan di tengah laut. Kini di tempat itu berdiri sebuah mercusuar berangka besi.

Zaman sekarang mungkin terasa aneh kenapa pulau kecil seperti ini menjadi tempat penting, mungkin, bagi Portugis, VOC, Pemerintahan Belanda, bahkan juga Inggris yang pernah merebutnya. Tapi melihat dari atas, membayangkan sepasukan koloni bangsa Eropa yang datang ke negeri asing untuk berdagang lada dan emas (dan tentu maksud tersembunyi untuk menguasainya), ini adalah pulau yang sangat istimewa.

Berjarak ke pantai Carocok di Pulau Sumatera hanya 300 meter, itu adalah teluk yang kira-kira sanggup direnangi. Ada pulau kecil lain berupa bukit, Pulau Cingkuak Kecil di masa lalu yang kini disebut Pulau Batu Kereta sebagai pelindung.

Sisa gerbang bagian barat Benteng Pulau Cingkuak. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Sisa gerbang bagian barat Benteng Pulau Cingkuak. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Di sebelah barat dengan 70 meter perairan dangkal, kapal besar bisa berlabuh. Andai serangan dari penduduk lokal muncul menyeberangi teluk, Anda bisa angkat sekoci lari ke kapal besar menuju Samudera Hindia.

Armada VOC pertama kali masuk Pesisir Selatan ketika diterima Sultan Indrapura, lebih 100 km arah selatan pada awal 1600-an. Kemudian pindah ke lokasi tambang emas Salido pada 1646. Untuk keamanan, mereka pindah ke Pulau Cingkuak pada 1662.

Dari Pulau Cingkuak, VOC mengatur strategi untuk menguasai Kota Padang empat tahun kemudian dan mempertahankannya. Benteng Cingkuak menjadi tapak kekuatan VOC di pantai barat Sumatera, seperti halnya Fort Marlborough milik Inggris di Bengkulu. Selain sebagai dermaga barang dagangan, di sini beberapa kali dilakukan perjanjian dengan raja Minangkabau dan raja-raja kerajaan kecil sekitar untuk mengatur daerah kekuasaan.

Susunan batu sisa dermaga zaman Kolonial Belanda di teluk Pulau Cingkuak.(Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Susunan batu sisa dermaga zaman Kolonial Belanda di teluk Pulau Cingkuak. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Bangunan di Pulau Cingkuak pada 1667 sebagian dilengkapi dengan dinding batu tebal. Sebuah gudang batu dibangun dua tahun kemudian. Pulau ini dipimpin kepala dagang Pantai Barat Sumatera di bawah kendali Komandan Padang.

Di sini juga berdiri beberapa rumah warga, gudang lada dan pakaian. Lada yang dikumpulkan dari Minangkabau untuk diekspor, sedangkan pakaian yang didatangkan dari India untuk alat barter dengan pedagang pribumi. Di sana juga terdapat rumah untuk pada budak dan pos jaga tentara.

Tambang emas Salido merupakan tempat yang sangat erat kaitannya dengan benteng Pulau Cingkuak. Lokasi yang sekarang dekat Kota Painan, zaman dulu terkenal di Sumatera sebagai daerah tambang emas dan perak. VOC secara resmi mendapatkan kepemilikan tambang dari Sultan  Indrapura dan Raja Tarusan pada Juli 1667, sekaligus kepemilikan terhadap Pulau Cingkuak. VOC melakukan penambangan tiga tahun kemudian dan mendirikan sebuah benteng bernama Fort Cronenburg di sana.

Kolonial Inggris pernah menduduki Pulau Cingkuak dan Padang pada selama29 tahun (1795-1824). Ini adalah sketsa William Grant yang berjudul "East View of Poolo Chinco on the Coast of Sumatra” yang dibuat pada 1802 memperlihatkan situasi Pulau Cingkuak waktu itu. Sketsa didapatkan dari www.allposters.co.uk. (Repro: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Kolonial Inggris pernah menduduki Pulau Cingkuak dan Padang pada selama 29 tahun (1795-1824). Ini adalah sketsa William Grant yang berjudul "East View of Poolo Chinco on the Coast of Sumatra” yang dibuat pada 1802 memperlihatkan situasi Pulau Cingkuak waktu itu. Sketsa didapatkan dari www.allposters.co.uk. (Repro: Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Tapi penambangan emas di Salido tak begitu menggembirakan. Meski mendatangkan ahli-ahli dari Eropa, hasilnya tak seluarbiasa popularitasnya, sehingga dihentikan setelah ditambang selama 26 tahun. Awal 1700-an penambangan dicoba kembali dan ditutup lagi 1737.

MADAME VAN KEMPEN

Selain bekas dinding benteng, pulau ini juga memiliki tinggalan arkeologi lain. Sisa bekas dermaga dari batu alam masih terlihat menjulur dari pantai ke teluk di pantai timur. Di masa lalu dermaga selebar 6 meter ini memiliki panjang 44 meter.

Juga ada sebuah bangunan prasasti di atas makam Madame van Kempen yang sudah diatap. Dua buah sumur, satu berdiameter cukup besar yang sekarang hanya bisa dilihat sebagai lubang pembuangan sampah.

Lokasi prasasti Madame Van Kempendi Pulau Cingkuak. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Lokasi prasasti Madame Van Kempen di Pulau Cingkuak. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Satu lagi bangunan yang sering menarik perhatian (padahal tidak tinggalan arkeologis) adalah kuburan seorang pria, warga pemilik lahan Pulau Cingkuak bernama Nurlian. Itu hanya bangunan kuburan duplikat (orangnya dikubur di tempat lain pada 2005) untuk memenuhi janji keluarga almarhum yang ingin dikuburkan di Cingkuak.

Prasasti Madame van Kempen terbuat dari marmer seukuran makam ditulis dalam bahasa Perancis. Meski retak bekas vandalisme tangan jahil, masih bisa dibaca. Prasasti ini dibuat 6 Agustus 1911 oleh Sabine Hoogenstraaten-van Kempen untuk makam nenek buyutnya, Susanna Geertruij Haije.

Prasasti Madame Van Kempendi Pulau Cingkuak. Ada retakan bekas vandalisme orang yang mencari harta karun. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Prasasti Madame Van Kempendi Pulau Cingkuak. Ada retakan bekas vandalisme orang yang mencari harta karun. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Siapa dia? Susanna atau Madame Van Kempen lahir di Amsterdam 15 Januari 1734, lalu meninggal dan dimakamkan di Pulau Cingkuak pada 25 April 1767 dalam usia 33 tahun. Ia dibawa suaminya yang lebih tua lima tahun darinya, Thomas van Kempen Jansz yang menjadi kepala dagang (opperhoofd) di Pulau Cingkuak.

Susanna meninggalkan seorang putra berusia lima tahun, Servaas Hendrik van Kempen yang lahir di Amsterdam. Servaas adalah kakek Sabine, si pembuat prasasti.

Kenapa prasasti berbahasa Perancis? Menurut Teguh Hidayat dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau, karena sejak Negeri Belanda dikuasai Napoleon, para bangsawan Belanda merasa terhormat jika menggunakan bahasa Perancis. Hal ini masih terjadi saat prasasti Madame Van Kempen dibuat.

Pulau Cingkuak terlihat di balik Pulau Batu Kreta. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Pulau Cingkuak terlihat di balik Pulau Batu Kreta. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Ketika Thomas van Kempen menjadi kepala dagang Pulau Cingkuak inilah terjadi serangan mendadak tentara Inggris pada 16 Agustus 1781. Sebuah kisah yang sangat terkenal di masa lalu di pantai barat Sumatera Barat. Satu skuadron kapal Inggris dari Bengkulu berisi 330 pelaut berpengalaman, 110 tentara, dan 25 prajurit Sepoy mendatangi pulau kecil itu.

Mereka mengibarkan bendera Belanda dan Perancis untuk mengecoh penguasa Cingkuak. Siasat ini betul-betul mempecundang Van Kempen yang mengira yang datang adalah kapal-kapal Belanda bersatu dengan Perancis. Benteng yang dijaga belasan orang Eropa dan 7 tentara asli Belanda tak berkutik. Meriam-meriam Inggris pun memporakporandakan benteng itu.

Melumpuhkan benteng Cingkuak hanya langkah pertama Inggris untuk gerakan selanjutnya menguasai Kota Padang. Inggris berhasil merebut benteng Belanda di Kota Padang esoknya dan menguasainya selama tiga tahun. Kemudian seperti halnya Padang, Cingkuak ditinggalkan Inggris begitu saja dan baru kembali mendudukinya pada 1795 hingga 1824.

Kapal yang siap mengantar pengunjung ke Pulau Cingkuak. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Kapal yang siap mengantar pengunjung ke Pulau Cingkuak. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Kempen sendiri meninggal di Amsterdam pada 1783 dalam usia 54 tahun. Hanya dua tahun setelah serangan Inggris ke Pulau Cingkuak. Saya belum menemukan buku yang mengisahkan riwayatnya. Kenapa Kempen ke Amsterdam setelah tragedi itu? Apakah ia terluka?

Pulau kecil ini juga menjadi lokasi catatan sejarah hantaman tsunami pantai barat Sumatera yang juga melanda Padang. Para penulis Belanda mencatat, tsunami akibat gempa besar pernah menghantam dan menghanyutkan rumah-rumah serta orang-orang di benteng Pulau Cingkuak. Itu terjadi pada 10 Februari 1797 dan 24 November 1833.

SURGA BAHARI

Kini pulau kecil yang legendaris itu dapat Anda nikmati karena telah menjadi lokasi wisata populer di Kabupaten Pesisir Selatan. Jaraknya hanya 60 km dari Kota Padang dengan naik kendaraan ke Painan. Lalu dari Pantai Carocok naik perahu mesin khusus yang selalu tersedia.

Pengunjung senang mandi di pantai Pulau Cingkuak yang jernih. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Pengunjung senang mandi di pantai Pulau Cingkuak yang bening. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Dengan membeli tiket murah pergi-pulang  dengan tariff berbeda untuk dewasa dan anak-anak, hanya butuh 5 menit ke pulau itu. Jika bersedia bayar lebih, Anda akan dibawa mengelilingi pulau sebelum mendarat. Ini adalah pilihan terbaik.

Wisata bahari telah dikemas cukup memadai di Pulau Cingkuak. Daya tarik teluk yang jernih dengan pasir yang putih telah didukung berbagai layanan. Ditambah lokasinya yang sangat dekat dari daratan.

Anda bisa mandi di teluk yang jernih dan tenang sambil snorkling. Juga bisa juga naik jet sky, flaying fox, dan banana boat yang disewakan di pulau itu. Ingin memancing, pantai bagian barat lokasi yang sering digunakan. Tentu saja, puncak bukitnya tempat favorit menikmati sunset. Ingin bermalam minggu, warung di sana juga menyediakan tenda untuk disewa.

Pengunjung bisa menyewa berbagai fasilitas, termasuk jetsky. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Pengunjung bisa menyewa berbagai fasilitas, termasuk jet sky. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Hanya saja dukungan fasilitas sejarahnya minim. Satu-satunya papan informasi adalah sebuah plang nama "Situs Benteng Portugis Pulau Cingkuak" yang menyatakan bangunan di sana situs benda cagar budaya yang dilindungi undang-undang. Pengunjung selalu bertanya-tanya ketika membaca prasasti Madame Van Kempen, apakah bahasanya Belanda, Perancis, atau Portugis. Dan apakah gerangan informasinya.

Pengunjung juga kerap menduga untuk apa Portugis membangun benteng itu dan kapan. Juga tak ada informasi yang menyebutkan benteng itu berabad-abad dimiliki VOC atau Kolonial Belanda.

Saya membayangkan sebuah gedung infobox berdiri di Pantai Carocok. Mirip dengan gedung infobox Lubang Tambang Mbah Soero di Sawahlunto. Di sini pengunjung bisa mendapatkan deskripsi benda-benda cagar budaya Pulau Cingkuak, Salido, dan daerah lain di Pesisir Selatan masa lalu.

Keindahan pantai yang mengagumkan. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Keindahan pantai yang mengagumkan. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Di infobox tersedia maket Pulau Cingkuak berdasarkan peta zaman kolonial dan benda-benda tinggalan zaman kolonial. Ada studio yang memutarkan film dokumenter sejarah Cingkuak dan Pesisir Selatan. Juga sebuah patung miniatur kapal VOC di depan gedung. Jika kita memotret patung kapal dengan latar belakang Pulau Cingkuak, pasti akan menjadi kenangan menggetarkan, sekaligus objek promosi yang efektif.

Apalagi ditambah dengan desain kapal penyeberang ke Pulau Cingkuak mirip sekoci era VOC. Juga tak kalah penting, tersedia petugas pemandu di Pulau Cingkuak yang siap menjelaskan semua informasi yang ingin diketahui pengunjung.

Tapi pembuatan infobox mesti diawali dengan studi yang melibatkan ahli sejarah dan ahli arkeologi yang tepat. Jika tidak melalui studi yang memadai alias diawali dengan kerja asal jadi, hasilnya juga akan menjadi perdebatan dan menyesatkan. Ini sebuah pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah setempat.

Pengunjung menikmati fasilitas wisata Pulau Cingkuak. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Pengunjung menikmati fasilitas wisata Pulau Cingkuak. (Foto: Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)

Pulau Cingkuak sangat berpotensi menjadi ikon peninggalan kolonial di pantai barat Sumatera Barat. Ia juga bisa menjadi ikon dan pintu gerbang pariwisata Pesisir Selatan.

Potensinya sangat jauh melebihi wisata baharinya. Di sinilah tempat memori pengunjung dilemparkan ke masa lalu, membayangkan kapal-kapal VOC, mungkin Portugis, dan Inggris membuang jangkar. Membayangkan bangsa Eropa adu senjata memperebutkan sebuah pulau yang sangat kecil.

Cingkuak, sebuah pulau kecil yang sarat sejarah. Sebagian belum tergali. (Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

Tulisan ini liputan dan penulisan November 2013, diperbarui Desember 2016

CATATAN: Tulisan dan foto-foto (berlogo) ini adalah milik JurnalisTravel.com. Dilarang menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak tanpa izin. Jika berminat bisa menghubungi redaksi@jurnalistravel.com. Terima kasih untuk anda bantu bagikan dengan tautan.(REDAKSI)

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

Bekas Kerajaan Dharmasraya dan Kisah Dua Arca Bhairawa
Bekas Kerajaan Dharmasraya dan Kisah Dua Arca Bhairawa
Peninggalan Era Kolonial di Pulau-Pulau Kecil Sumatera Barat
Peninggalan Era Kolonial di Pulau-Pulau Kecil Sumatera Barat
Seperti Apa Rumah Kelahiran Tan Malaka?
Seperti Apa Rumah Kelahiran Tan Malaka?
Sepenggal Kisah Cinta Soekarno di Bengkulu
Sepenggal Kisah Cinta Soekarno di Bengkulu
Deretan Rumah Gadang Tua di Padang Ranah
Deretan Rumah Gadang Tua di Padang Ranah
Menelusuri Keunikan Kota Tambang Sawahlunto
Menelusuri Keunikan Kota Tambang Sawahlunto